Ringkasan Hasil Seminar dan FGD “Bisikan Dari Jogja: Refleksi, Evaluasi, dan Rekomendasi Bidang Kebudayaan Tiga Tahun Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla”
Selama tiga tahun (2014-2017) masa pelaksanaan tugasnya, Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) telah berhasil mendorong bangsa Indonesia menuju ke arah kemerdekaan penuh dengan segala capaian maupun kekurangannya. Kegiatan Seminar dan FGD (Focused Group Discussion) “Bisikan dari Jogja: Refleksi, Evaluasi, dan Rekomendasi Bidang Kebudayaan Tiga Tahun Pemerintahan Joko-Widodo-Jusuf Kalla” tanggal 21 – 22 Oktober 2017 di Yogyakarta yang dikelola oleh Pusdema (Pusat Kajian Demokrasi dan HAM) Universitas Sanata Dharma dan Penerbit Galangpress bersama berbagai elemen masyarakat yang lain merupakan upaya untuk mencermati se-kritis dan se-objektif mungkin atas capaian dan kelemahan tersebut dalam bentuk refeleksi, evaluasi, serta rekomendasi. Kegiatan ini merupakan salah satu wujud partisipasi dan sumbangsih masyarakat sipil (civil society) terhadap pelaksanaan tugas pemerintahan Jokowi-JK, dengan fokus pada bidang kebudayaan. Rumusan hasilnya adalah sebagai berikut.
- Budaya dan Ideologi Asing: Terdapat gejala munculnya ancaman terhadap eksistensi Indonesia sebagai sebuah Republik. Ancaman tersebut datang melalui budaya dan ideologi asing yang besifat a-historis tetapi populis, yang oleh kelompok-kelompok tertentu diimpor dan disebarkan melalui institusi-institusi publik maupun media sosial. Rekomendasi: Diperlukan tindakan pemerintah untuk secara aktif dan terencana menyikapi ancaman-ancaman kultural dan ideologis tersebut. Pemerintah perlu memperkuat kedudukan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Bila perlu dibentuk kantor urusan Pancasila tersendiri, dari tingkat pusat hingga daerah.
- Isu Primordial dalam Politik: Sering bahwa kampanye politik menggunakan isu-isu primordial-radikal agama serta isu bangkitnya kembali paham komunis. Rekomendasi: Perlu adanya peraturan KPU dan Panwaslu yang melarang penggunaan isu-isu primordial dan radikal di dalam kampanye. Perlu pula didorong setiap upaya untuk memahami sejarah bangsa secara lebih kritis dan terbuka.
- Budaya Toleransi: Terdapat gejala menyatunya sisa-sisa kekuatan rejim Orde Baru dengan kelompok-kelompok garis keras. Rekomendasi: Diperlukan pendidikan karakter yang anti-kekerasan, yang mendorong budaya toleransi, dan yang mengajarkan sikap terbuka terhadap keberagaman dalam masyarakat, termasuk keberagaman religius. Perlu pula melakukan pendidikan budaya toleransi mulai dari tingkat keluarga hingga institusi-institusi pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidkan menengah dan perguruan tinggi.
- Revolusi Mental: Seruan revolusi mental dari Presiden Jokowi tampak belum sepenuhnya terlaksana. Mentalitas lama untuk lebih mengutamakan kepentingan sendiri dan kelompok masih kerap terjadi. Terdapat pula gejala menyatunya kekuatan-kekuatan koruptif di masyarakat yang mengganggu jalannya penyelenggaraan negara. Rekomendasi: Perlunya menerjemahkan semangat revolusi mental dalam sebuah gerakan bersama untuk secara sistemik “memuliakan publik”, dimana kepentingan bersama lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi. Hal ini bisa ditempuh antara lain dengan memperkuat lembaga-lembaga penegakan hukum seperti KPK, Kejaksaan, Kepolisian, dan Kehakiman.
- Penyalahgunaan Perguruan Tinggi: Sering terjadi bahwa perguruan tinggi dan lembaga-lembaga pendidikan lain digunakan sebagai ajang penyebaran ajaran-ajaran agama yang memiliki kandungan ideologi dan doktrin radikal yang sangat kental, yang salah satu sumbernya adalah paham Wahabisme. Banyak mahasiswa yang menjadi sasaran penyebaran ajaran tersebut adalah para mahasiswa dari jurusan-jurusan eksakta. Rekomendasi: Perlunya menjadikan Pancasila sebagai “roh” sekaligus “rumah” bagi kegiatan-kegiatan mahasiswa di perguruan tinggi dan lembaga-lembaga pendidikan lain.
- Budaya Belajar: Paradigma pendidikan kita cenderung dibuat seragam dan linier dengan akibat melemahnya daya kritis, analitik, mandiri dan kreatif peserta-didik. Rekomendasi: Perlu dibuat kebijakan yang tegas dalam bidang kebudayaan di dunia pendidikan dengan fokus pada pembentukan academic community yang didasari oleh learning culture (budaya belajar).
- Dunia Seni: Peran seni dalam pembentukan karakter bangsa sangat penting. Seni juga bisa menjadi sarana berlatih untuk menghidupi cipta, rasa, dan karsa. Seni merupakan subyek pendidikan yang di dalamnya terdapat nilai-nilai lokal, penghargaan terhadap perbedaan dan sebagainya yang semuanya dapat membantu mengurangi atau mencegah hadirnya radikalisme dan intoleransi. Namun demikian hal itu kini masih sering terabaikan. Rekomendasi: Pemerintah perlu mendorong gagasan “seni sebagai panglima” bagi perubahan dalam masyarakat yang di dalamnya terdapat ruang kreasi, inovasi dan peradaban. Prinsipnya bukan “seni untuk seni” tetapi seni untuk meningkatkan martabat manusia. Terkait dengan hal ini negara juga perlu menolak setiap usaha untuk menggunakannya sebagai alat represi seni atau kesenian.
- Peran Desa: Upaya pemerintah Jokowi-JK dalam upaya meningkatkan peran desa cukup berhasil dan perlu diapresisasi. Namun demikian, tampak pula bahwa hal itu masih bisa dimaksimalkan. Perlu diingat bahwa desa merupakan salah satu ujung tombak dalam mewujudkan nilai-nilai keadilan sosial dan kemanusiaan, serta bagi setiap upaya untuk mendorong gerakan “pembangunan yang berkebudayaan”. Rekomendasi: Pendekatan industri yang masih sangat kuat dalam menangani masalah desa selama ini perlu diubah menjadi pendekatan post-industri, di mana segala daya-upaya yang ada diabdikan demi pemuliaan martabat manusia.
Demikian hasil refleksi, evaluasi, dan rekomendasi kami dari kegiatan Seminar dan FGD “Bisikan dari Jogja”. Semoga apa yang kami hasilkan ini tidak hanya akan berguna bagi pemerintahanJokowi-JK, melainkan juga nantinya berguna bagi masyarakat luas pada umumnya.
Sekian, terima kasih.
Yogyakarta, 22 Oktober 2017
Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif (Ketua Steering Committee)
Dr. Baskara T. Wardaya SJ (Ketua Organizing Committee)
BERITA
Reuni Alumni 212 Jelas Kapitalisasi Agama demi Kepentingan Politik
Jakarta – Reuni Alumni 212 yang bakal digelar awal Desember di Lapangan Monas Jakarta dianggap bentuk kapitalisasi agama demi kepentingan politik. Reuni tersebut seharusnya tidak diadakan lantaran tuntutan aksi 212 sudah diakomodasi.
Hal tersebut diungkapkan pengamat politik Lingkar Madani. Ia menilai kegiatan alumni 212 ini bukan murni kegiatan agama, melainkan kegiatan politik. Ia juga keheranan mengapa harus ada acara tersebut. Pasalnya, tuntutan aksi 212 sudah dipenuhi dengan Basuki Tjahaja Purnama dipenjara.
“Itu sudah jelas politik, enggak ada hubungannya lagi dengan agama, enggak ada hubungannya dengan dakwah, apa yang mereka tuntut sudah dipenjara kok. Apalagi gunanya, itu politik murni politik, murni untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah. Saya pikir mereka hanya mau mengapitalisasi agama ini. Mengapitalisasi agama terus-menerus untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah,” kata Ray kepada wartawan di D’Hotel, Jalan Sultan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (21/11).
Ray pun mengaku masih belum paham apa sebenarnya tujuan acara reuni alumni 212. Ia membandingkan dengan demonstrasi 1998 untuk menggulingkan rezim Soeharto dan Orde Baru. Usai berhasil menggulingkan, tak ada perkumpulan alumni maupun acara reuninya.
“Yang saya juga enggak mengerti tujuannya apa? Masak demonstrasi pakai alumni, alumni pakai reuni. Ada-ada saja. Yang besar sekali pun perjuangan 98 itu ya berhenti di 98. Waktu jatuh ya jatuh. Bahwa anggotanya membentuk kelompok-kelompok tertentu ya silakan saja. Enggak ada reuni 98 yang jatuhin soeharto, enggak ada,” imbuhnya.
Baca Juga:
BERITA
Kubu Jokowi Anggap Amien Rais Tidak Dewasa dalam Berpolitik
Jakarta – Kubu Joko Widodo-Maruf Amin menilai, pernyataan Amien Rais yang memaksa Muhammadiyah untuk memihak salah satu calon di pemilihan presiden menunjukkan sikap Amien Rais yang tidak dewasa dalam berpolitik.
Hal tersebut diungkapkan Juru Bicara Tim Kampanye Jokowi-Maruf Amin Ace Hasan Syadzily. Selain menunjukkan Amin Rais tidak dewasa, pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa sosok Amien Rais bukan negarawan tulen.
“Hanya karena beliau pendukung Prabowo-Sandi mau mendikte Muhamamdiyah mendukung paslon tertentu. Itu menunjukkan ketidakdewasaan politik sebagai politisi yang dikenal selalu menjaga demokrasi,” jelas Ace, seperti dikutip dari Merdeka.com, Rabu (21/11).
Justru, dengan paksaan dan desakan tersebut, suara Muhammadiyah malah enggan memilih Prabowo-Sandi. “Kalau terus menerus seperti itu, saya tidak yakin Prabowo mendapatkan dukungan dari Muhammadiyah,” tegasnya.
Sikap tersebut sama sekali tidak mencerminkan sosok negarawan. Politikus Partai Golkar ini menambahkan, sebagai negarawan, seharusnya Amien Rais menjaga agar ormas, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, tidak diseret ke ranah politik praktis.
“Sebetulnya secara organisasi Muhammadiyah dan NU tidak menunjukkan dukungan secara tegas, itu perlu terus dijaga bahwa citra ormas Islam tidak terseret ke dalam politik praktis hanya untuk kekuasaan semata,” tegasnya lagi.
Baca Juga:
BERITA
Penggunaan Teknologi VAR di Liga Champions Dipercepat?
Jakarta – Setelah sukses digunakan dalam beberapa turnamen FIFA, ternyata kehadiran teknologi Video Assistant Refree (VAR) disambut baik oleh sejumlah klub Eropa.
Video Asisten Wasit (VAR) kemungkinan besar akan segera diterapkan di ajang Liga Champions, tepatnya ketika memasuki babak knock out alias fase gugur di musim ini. Wacana tersebut langsung berasal dari Presiden UEFA Aleksander Ceferin dan Ketua Asosiasi Klub Eropa Andrea Agnelli.
Dilansir dari Soccerway, Selasa (20/11), sebelumnya VAR sendiri akan diberlakukan di Liga Champions mulai musim depan, namun belakangan wacana tersebut akan dipercepat dalam rangka untuk proses pengujian teknologi tersebut.
“Kami sudah mulai melakukan semua persiapan. [Kepala wasit UEFA] Roberto Rosetti dan timnya sangat bagus. Ada sudut pandang penting – wasit dan semua aspek teknis,” kata Ceferin dalam konferensi pers di Brussels.
“Saya mengharapkan laporan dalam seminggu atau lebih dan kemudian kita akan melihat kapan kita dapat menerapkannya. Pada musim depan yang terbaru,” sambungnya.
Senada dengan Ceferin, Agnelli yang notabene merupakan pemilik Juventus siap mendukung wacana UEFA untuk mempercepat penerapan VAR di ajang Liga Champions.
Baca Juga: