“Kita Harus Membangun Jembatan Digital”
Ada semacam pemikiran universal tak tertulis yang mengatakan bahwa salah satu indikator negara maju adalah negara yang memiliki broadband terbaik. Beberapa kemudian mengistilahkannya broadband country. Pertanyaannya sekarang, sudahkah Indonesia menyandang gelar itu?
Sebagai negara kepulauan terbesar, pemerataan komunikasi menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Namun sayangnya, hal ini kerap dipandang kalah penting dalam hal prioritas. Membangun broadband bahkan dianggap sebagai beban karena yang dilihat hanya biayanya.
Kemudian sebuah data muncul. Setiap 10 persen dari pembangunan broadband, ternyata bisa mendorong 1 persen PDB Nasional. Ini artinya, broadband pun dapat mendorong kemajuan ekonomi sebuah bangsa secara signifikan.
Terkait hal ini, Pemimpin Redaksi Fakta.News, Koster Rinaldi, bersama tim redaksi Muhammad Riz dan Novianto, sengaja menjumpai Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), DR. Ismail. Meski gaungnya terdengar tak populer, siapa sangka apa yang dikerjakan olehnya bersama “pasukan digital”-nya memiliki peran yang sangat besar bagi perkembangan komunikasi nasional.
Ditemui di sela kesibukan di ruang kerjanya, beberapa waktu lalu, Ismail yang gemar membaca ini bercerita banyak mengenai apa yang negara butuhkan dan perlu lakukan untuk menjamin ketersediaan komunikasi hingga pelosok. “Kita harus bangun jembatan digital,” begitu katanya. Berikut petikan wawancaranya:
Belum banyak yang tahu apa itu SDPPI, padahal perannya begitu besar. Jadi apa itu SDPPI dan apa saja perannya?
Kami adalah Direktorat Jenderal yang mengurusi sumber daya dan perangkat, pos, dan informatika di bawah Kemkominfo. Yang dimaksudn dengan sumber daya (SD) di sini konteksnya adalah spektrum frekuensi radio.
Nah di sini kami melakukan manajemen. Spektrum-spektrum yang jumlahnya terbatas itu kami manage sejak pengalokasian; kami koordinasikan dengan internasional standard; melakukan perizinan; melakukan pengawasan; pengendalian, dan banyak lagi yang berhubungan dengan spektrum frekuensi radio.
Produk kami sendiri berupa perencanaan dalam bentuk tabel, alokasi, dan semacamnya. Untuk perizinan, ini kaitannya dengan bagaimana proses berjalannya, intinya semua aspek yang terkait pengelolaan spektrum.
Sementara “P” itu, perangkat. Perangkat ini yang dimaksud adalah sertifikasi. Jadi bagaimana menjamin perangkat yang beredar di Indonesia ini apakah sesuai dengan persyaratan teknis yang kita tetapkan. Kemudian bagaimana perangkat-perangkat itu menjaga kualitas keselamatan masyarakat dalam pemanfaatannya. Dan masih banyak lagi.
Sumber daya Spektrum terbatas?
Ya benar. Artinya harus digunakan sesuai peruntukannya. Sumber daya ini punya tiga sumbu untuk bisa digunakan, yakni waktu, area lokasi, dan frekuensinya sendiri. Ketiganya tidak boleh “tabrakan” satu sama lain.
Jadi misalnya kalau frekuensinya sama, waktunya sama, maka dia akan defrekuensi, enggak bisa dipakai. Tapi kalau frekuensinya sama, tempatnya sama, gantian penggunaannya, boleh. Atau waktunya sama, tapi tempatnya beda, satu di Medan (Sumut), satu di Papua, bisa juga. Yang jelas, tiga sumbu ini harus diatur agar bisa dioperasikan dengan baik.
Nah, karena ini adalah sumber daya alam yang terbatas, tentu ada prinsip ekonomi yang berlaku. Supply demand jadi isu, sehingga kita dalam mengalokasikannya harus berpedoman pada national interest atau kepentingan nasionalnya.
Kepentingan nasional seperti apa?
Yang menjadi kepentingan nasional itu yang kita dulukan dalam proses melakukan perencanaan, penataan, misalnya, nasional kita ingin membangun broadband, Indonesia menjadi negara yang mobile broadband, maka sumber daya ini kita arahkan semaksimal mungkin bisa men-support national broadband. Ini tentu membutuhkan spektrum frekuensi.
Namun karena spektrum bukan aset, jadi enggak bisa diklaim sebuah perusahaan bahwa ini aset dia. Ibaratnya “tanah”, itu berarti hak sewa, bukan hak milik. Dalam artinya, ada waktu dan kapanpun negara bisa mencabut kembali hak sewa itu. Kita lihat bagaimana pemakaiannya, berapa besar HP yang dibayar dan sebagainya. Itu jadi unsur untuk menjaga perizinan bisa tetap atau diperpanjang. Artinya juga, perusahaan tak bisa serta-merta menjual spektrum. Semua harus dikoordinasikan dulu sama kita yang menerbitkan lisensinya.
Lalu bagaimana menempatkan spektrum agar digunakan secara optimal?
Paling optimal itu ketika dia match dengan perencanaan internasional. Misalnya jika frekuensi ini kita gunakan untuk seluler, ya kita gunakan untuk seluler, trunking ya kita gunakan trunking, satelit ya kita gunakan untuk satelit.
Ini karena frekuensi butuh ekosistem, butuh support, butuh vendor dan segala macamnya. Kalau kita aneh sendiri, berbeda dengan internasional, maka bisa mahal jatuhnya nanti karena eksklusif.
Sementara International Standard itu?
Internasional standar itu ada forumnya, namanya WRC forum, ITU (Internasional Telekomunication Union). Setiap 4 tahun, WRC ini mengadakan rapat/sidang. Dalam sidang ada region yang dibagi, nah kita masuk dalam region Asia Pasific, region 3.
Lalu dibagi-bagi lagi peruntukkan untuk Asia Pasific itu mana yang untuk seluler, untuk satelit, dan seterusnya. Nah sekarang, kita tentukan national interest-nya, kemudian menentukan bagaimana supaya masuk di dalam ITU. Karena sudah sampai internasional, ya kita akan follow international standard, jangan sampai kita berbeda.
Tapi ini bukan seperti rebutan jatah ya. Di tiap negara kita ibaratnya sudah punya udara sendiri-sendiri. Jadi yang dibahas di sini adalah peruntukkannya untuk apa. Konteksnya di kita, karena kita negara kepualauan, ada dua isu di spektrum, yakni persoalan coverage dan persoalan kapasitas yang jadi pertimbangannya.
Jelasnya?
Kalo persoalan coverage, itu artinya band-band frekuensi yang rendah itu perlu kita perjuangkan untuk bisa meng-cover. Karena naturalnya, frekuensi itu kalau rendah akan menjangkau lebih jauh, kalau frekuensi tinggi berarti bicara kapasitas.
Misalnya Jakarta. Karena sudah padat, berarti bicaranya kapasitas yang artinya memakai frekuensi tinggi. Tapi kalau di rural area, jauh-jauh, seperti di Papua, Maluku, itu pakai band frekuensi rendah. Jadi kita dalam memperjuangkan ke WRC, melihat kecocokan dulu dengan kondisi geografis Indonesia.
Termasuk Satelit?
Masalah ini juga penting. Tidak banyak negara yang fokus pada masalah satelit. Namun karena Indonesia negara kepulauan, kita sangat memikirkannya. Sebab enggak bisa pulau-pulau yang kecil, apalagi yang sedikit penduduknya, kemudian kita bangun Optik. Invest-nya terlalu besar. Jadi, ibaranya itu satelit bagi kita adalah emas.
Apa saja permasalahan umum yang dihadapi SDPPI?
Ada beberapa alokasi band yang sejak dulu itu planning-nya tidak pas—atau sudah terlanjur digunakan untuk keperluan yang bukan pada tempatnya. Contohnya band-band frekuensi untuk militer. Ini bukan salahnya militer, tapi masalahnya planning yang sejak dulu sudah dipakai militer kita. Band-band militer yang dipakai ini ada sebagian yang cocoknya dipakai untuk komersial. Nah, sekarang kita sedang atur bagaimana caranya memindahkan atau migrasi dari band itu ke band yang komersial, tanpa merepotkan teman-teman di TNI.
Migrasi frekuensi… Sulitkah?
Ada semacam aturan dalam hal ini. Kalau mau memindahkan, atau ibaratnya “gusur” deh, pendatang baru ini harus menyiapkan gusurannya. Jadi kalau saya ibaratkan, bagaimana caranya membuat pindahan bisa nyaman dan jelas. Nah, refarming atau migrasi inilah yang cukup sulit.
Kami memang belum intensif membicarakan ini, namun sudah secara sporadis, termasuk sudah mulai bicarakan ke Kementerian Keuangan. Sebab ya tadi, kita ini kan butuh membuat “rumah susun” untuk “gusurannya”, jadi tentu saja butuh biaya.
Masalah lainnya?
Masalah berikutnya adalah jumlah operator yang ada itu agak banyak. Sementara spektrum hanya segitu saja. Sehingga kue yang dibagi itu agak banyak. Nah itu yang membuat spektrum setiap operator di kita terbatas.
Kami mencoba mendorong policy secara umum agar perusahaan-perusahaan ini bisa merger saja, bisa bergabung, sehingga jumlah yang ideal itu bisa tercapai.
Dibanding negara lain, oeprator kita banyak?
Betul. karena dulu standar untuk operator seluler itu hampir semua kita adopt. Maka solusi ke depan itu adalah merger. Nah lagi-lagi, karena ini bukan aset, maka merger ini butuh kepastian hukum. Kita buat bagaiamana teman-teman bisa merger dengan tenang. Jangan sampai dia mau merger, tapi frekuensinya ditarik, jadi harus ada skenario yang harus dibicarakan.
Selain itu, perihal “potong kue” ini juga enggak rapih. Jadi kita ingin potongannya pun kontinu, satu potongan enggak ada yang sisa, jadi dipakai optimal. Maka dari itu perlu refarming.
Pembicaraan dengan operator sendiri bagaimana?
Mereka memahami. Dari segi tujuannya mereka masuk, karena akan diuntungkan. Tapi tentu ada biayanya. Maka dari itu, mana biaya yang ditanggung operator, mana yang pemerintah, kita harus duduk bersama dulu.
Di samping itu, ada permasalahan berikutnya tentang antisipasi teknologi baru. Di beberapa area itu teknologi baru itu “nabrak” dengan apa yang sudah terlanjur kita alokasikan. Maka dari itu kita harus menyiapkan frkuensi untuk teknologi baru.
Contohnya?
Ambil contoh pada keretaapian. Dari dulu kita tidak pernah membayangkan kita punya kereta api cepat. Kita hanya punya yang biasa yang cukup bisa di-handling dengan standard pakai trunking atau tetra dengan band frekuensi rendah.
Tapi begitu kereta api cepat, itu standarnya beda. Standarnya dekat dengan GSMR (standar frekuensi kereta api cepat) yang kebutuhannya paling tidak 4-5 mega. Padahal alokasi GSMR itu adanya di alokasi mobile. Nah ini kita harus bisa menyelesaikan juga.
Jadi agar menjamin keselamatan kereta juga ya?
Nah soal itu ada lagi masalah PPDR (public protection Disaster Relief). Ini pun membutuhkan spektrum frekuensi. Untuk melakukan PPDR, butuh koordinasi yang secure yang spektrum frekuensinya tersedia—bahkan dia menuju ke broadband. Artinya kita juga butuh broadband communication.
Ambil contoh untuk mengantisipasi ajang besar, katakanlah Asian Games, atau event yang akan melibatkan banyak orang di satu titik, Ini butuh pengamanan. Sebut saja kalau ada orang bawa bom dan segala macamnya, untuk bisa di-detect cepat, kita membutuhkan spektrum.
Bagaimana dengan pertelevisian?
Masalah kita soal ini ada di migrasi dari analog ke digital TV. Band frekuensi yang sekarang sdigunakan TV-TV analog itu terlalu boros. Kalau kita bisa pindah ke digital, maka frekeunsi yang dibuthkan bisa lebih hemat.
Jadi sebenarnya ada suatu keuntungan digital di situ. Sebab ada sebagian frekuensi yang bisa digunakan untuk keperluan selain penyiaran. Artinya sudah kebutuhan penyiaran ter-cover ada sisa pula, ini efisiensi namanya. Ini yang namanya digital deviden.
Berapa sisa atau yang bisa dihemat itu?
Angkanya 112 megaheartz di band frekuensi. Itu kita bisa saving kalau pindah ke analog. 112 megahz ini berada di band 600-700-an. Ini band frekuensi yang sangat bagus untuk masalah coverage, jadi bagus untuk daerah rural dan sebagainya. Bahkan ini bisa juga men-support masalah PPDR yang tadi.
Bagaimana kabar soal lelang frekuensi 2,1 Gigaheartz?
Kemarin pemenangnya yang di 2,3, 30 mega sudah dimenangkan Telkomsel. Di luar ekspektasi ternyata harganya lumayan tinggi. Ini peruntukkannya untuk seluler. Untuk mengatasi masalah koneksi lambat dan sebagainya.
Di luar ekspektasi, memangnya tadi ekspektasinya berapa?
Rp360 miliar untuk 30 mega, tapi sekarang keluarnya jadi Rp1 triliun, hampir tiga kali lipat.
Sebagai regulator, tentu ada yang namanya keberpihakan dengan yang di pinggiran, di desa, Apa kebijakan spesial yang bisa menjangkau mereka di antara sisi komersil?
Ya begini. Saya setuju sekali. Ini sejalan dengan konsep Nawa Cita Presiden Joko Widodom bahwa kita harus membangun pinggiran, negara hadir di sana untuk melayani masyarakat. Maka kita pun punya prinsip, selain membangun jembatan fisik, tapi kita juga harus membangun jembatan digital.
Ini sangat penting karena membuka dan membuat rakyat kita merasa merdeka dengan komunikasi. Walaupun mereka berada di daerah yang sulit, kalau komunikasi sudah terbuka, maka dia bisa berkembang juga. Misalnya lewat e-commerce dan sebagainya.
Membangun broadband itu selama ini dianggap sebagai beban karena dilihat cost-nya. Nah sekarang mari kita melihatnya bahwa hal ini akan mendorong ekonomi. Tidak berpikiran ah ngapain sih dibangun broadband di sana (desa), untuk apa? Kan belum siap, belum ini-itu, dan lain-lain.
Justru tidak. Dengan kita membangun broadband di sana, berarti kita membangun orang di sana menjadi setara. Tidak lagi Jawasentris. Selain itu masalah pendidikan pun tersentuh karena kita membuka informasi yang sebenarnya juga mencerdaskan kehidupan bangsa. Kita bisa mencetak generasi berkualitas secara merata, sekaligus membangkitan ekonomi masyarakat.
Kontribusinya ke negara tinggi?
10 persen pembangunan broadband itu mendorong 1 persen PDB nasional.
Kalau negara lain bagaimana?
Kita coba belajar dari kasus Korea. Dulu ketika kita krisis moneter 1998, Korea pun sama dengan kita. Bahkan ingat tidak dulu mereka, masyarakatnya sampai menyumbang emas ke negara. Mereka ambruk juga saat itu.
Tapi saat itu Korea lalu bangkit secara cepat, dengan membangun broadband. Memang menyiapkan anggaran besar, tapi kemudian ekonominya tumbuh cepat. Jadi jatuhnya (krisis) bareng kita, tapi bangkitnya lebih cepat dengan strategi broadband ini.
Broadband country ini indikator sebuah negara maju. Jadi broabdband ini dianggap sebagai modal, bukan sebagai beban.
Lalu bagaimana strateginya?
frekuensi ini kita akan memberikan kemudahan-kemudahan untuk siapapun yang mau menyiapkan spektrum yang cocok untuk daerah rural. Kami open mind lah. Kita akan buat pengecualian kebijakan khusus untuk rural. Misalnya spektrum ini tidak cocok untuk daerah besar, tapi bisa diimplementasikan di daerah sana, maka kita akan siapakan kalau operator-operator itu mau menerapkan.
Jadi ada istilah dinetralkan. Semua spektrum tadi dinetralkan teknologinya. Bisa memilih teknologi terbaik. Bahkan kita juga menyiapkan spektrum khusus di aera itu.
Nah tidak kalah pentingnya dengan masalah satelit. Di daerah yang rural itu, kita akan melengkapi Palapa Ring Project yang akan dibangun sampai kota dan kabupaten. Itu untuk bisa meng-cover daerah-daerah.
Nah, semua tadi masih soal spektrum frekuensi. Bagaimana dengan perangkat?
Kita akan konsentrasi untuk men-support atau menjaga masyarakat dari perangkat-perangkat yang sampah., perangkat buangan, tidak sehat dan sebagainya. Kami akan memfilter itu, tapi memudahkan proses sertifikasinya. Jadi sudah sejak awal 2017 ini kita menerapkan satu sistem namanya SDOC (Safe Declaration of Confirmity).
Dulu kita itu selalu menguji alat-alat ini di laboratorium kita, yang diuji pasti lulus, karena dia sudah menggunakan international standard. Nah, ngapain kita menguji yang pasti lulus. Maka dari itu, kita berikan saja mereka kesempatan untuk membawa hasil ujinya dari negara atau lab yang kita akui dan terakreditasi. Hasil ujinya itu cukup dia declare sendiri. Jadi bisa segera di-deliver ke pasar.
Lalu bagaimana memastikan mereka tidak berbohong?
Kita tetap melakukan dulu apa yang namanya PMS (post market surveilence). Jadi ada pengecekan juga. Kalau dia gagal, dan terbukti bohong ada dokumen yang dipalsukan, maka punishment-nya berat. Bisa di-blacklist dan enggak bisa jualan lagi di Indonesia.
Metode ini bisa lebih cepat juga sampai ke masyarakat. Sebab sebelumnya ini bisa memakan waktu 2-3 bulan. Lifetime dari perangkat ini kan sangat cepat. Jadi kita intensif di PMS.
Soal local content?
Kita bersama Kementerian Perindustrian sudah menetapkan 30 persen dari perangkat 4G itu wajib memenuhi kandungan lokal. Yang dimaksud kandungan lokal itu 3, hardware-nya, aplikasi, dan komitmen investasi. Ini sudah berlaku selama dua tahun ini.
Dampaknya pun sudah terlihat, kita sudah mendorong penghematan belanja seluler. Dulu, dua tahun lalu, kita belanja sampai Rp3,5 miliar dolar seluler selama setahun. Sekarang sudah di bawah 1 miliar dollar. Karena dia sudah melakukan fabrikasi di Indonesia. Jadi sudah bisa menyerap lapangan kerja, kita bisa saving belanja negara juga.
BERITA
Reuni Alumni 212 Jelas Kapitalisasi Agama demi Kepentingan Politik
Jakarta – Reuni Alumni 212 yang bakal digelar awal Desember di Lapangan Monas Jakarta dianggap bentuk kapitalisasi agama demi kepentingan politik. Reuni tersebut seharusnya tidak diadakan lantaran tuntutan aksi 212 sudah diakomodasi.
Hal tersebut diungkapkan pengamat politik Lingkar Madani. Ia menilai kegiatan alumni 212 ini bukan murni kegiatan agama, melainkan kegiatan politik. Ia juga keheranan mengapa harus ada acara tersebut. Pasalnya, tuntutan aksi 212 sudah dipenuhi dengan Basuki Tjahaja Purnama dipenjara.
“Itu sudah jelas politik, enggak ada hubungannya lagi dengan agama, enggak ada hubungannya dengan dakwah, apa yang mereka tuntut sudah dipenjara kok. Apalagi gunanya, itu politik murni politik, murni untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah. Saya pikir mereka hanya mau mengapitalisasi agama ini. Mengapitalisasi agama terus-menerus untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah,” kata Ray kepada wartawan di D’Hotel, Jalan Sultan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (21/11).
Ray pun mengaku masih belum paham apa sebenarnya tujuan acara reuni alumni 212. Ia membandingkan dengan demonstrasi 1998 untuk menggulingkan rezim Soeharto dan Orde Baru. Usai berhasil menggulingkan, tak ada perkumpulan alumni maupun acara reuninya.
“Yang saya juga enggak mengerti tujuannya apa? Masak demonstrasi pakai alumni, alumni pakai reuni. Ada-ada saja. Yang besar sekali pun perjuangan 98 itu ya berhenti di 98. Waktu jatuh ya jatuh. Bahwa anggotanya membentuk kelompok-kelompok tertentu ya silakan saja. Enggak ada reuni 98 yang jatuhin soeharto, enggak ada,” imbuhnya.
Baca Juga:
BERITA
Kubu Jokowi Anggap Amien Rais Tidak Dewasa dalam Berpolitik
Jakarta – Kubu Joko Widodo-Maruf Amin menilai, pernyataan Amien Rais yang memaksa Muhammadiyah untuk memihak salah satu calon di pemilihan presiden menunjukkan sikap Amien Rais yang tidak dewasa dalam berpolitik.
Hal tersebut diungkapkan Juru Bicara Tim Kampanye Jokowi-Maruf Amin Ace Hasan Syadzily. Selain menunjukkan Amin Rais tidak dewasa, pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa sosok Amien Rais bukan negarawan tulen.
“Hanya karena beliau pendukung Prabowo-Sandi mau mendikte Muhamamdiyah mendukung paslon tertentu. Itu menunjukkan ketidakdewasaan politik sebagai politisi yang dikenal selalu menjaga demokrasi,” jelas Ace, seperti dikutip dari Merdeka.com, Rabu (21/11).
Justru, dengan paksaan dan desakan tersebut, suara Muhammadiyah malah enggan memilih Prabowo-Sandi. “Kalau terus menerus seperti itu, saya tidak yakin Prabowo mendapatkan dukungan dari Muhammadiyah,” tegasnya.
Sikap tersebut sama sekali tidak mencerminkan sosok negarawan. Politikus Partai Golkar ini menambahkan, sebagai negarawan, seharusnya Amien Rais menjaga agar ormas, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, tidak diseret ke ranah politik praktis.
“Sebetulnya secara organisasi Muhammadiyah dan NU tidak menunjukkan dukungan secara tegas, itu perlu terus dijaga bahwa citra ormas Islam tidak terseret ke dalam politik praktis hanya untuk kekuasaan semata,” tegasnya lagi.
Baca Juga:
BERITA
Penggunaan Teknologi VAR di Liga Champions Dipercepat?
Jakarta – Setelah sukses digunakan dalam beberapa turnamen FIFA, ternyata kehadiran teknologi Video Assistant Refree (VAR) disambut baik oleh sejumlah klub Eropa.
Video Asisten Wasit (VAR) kemungkinan besar akan segera diterapkan di ajang Liga Champions, tepatnya ketika memasuki babak knock out alias fase gugur di musim ini. Wacana tersebut langsung berasal dari Presiden UEFA Aleksander Ceferin dan Ketua Asosiasi Klub Eropa Andrea Agnelli.
Dilansir dari Soccerway, Selasa (20/11), sebelumnya VAR sendiri akan diberlakukan di Liga Champions mulai musim depan, namun belakangan wacana tersebut akan dipercepat dalam rangka untuk proses pengujian teknologi tersebut.
“Kami sudah mulai melakukan semua persiapan. [Kepala wasit UEFA] Roberto Rosetti dan timnya sangat bagus. Ada sudut pandang penting – wasit dan semua aspek teknis,” kata Ceferin dalam konferensi pers di Brussels.
“Saya mengharapkan laporan dalam seminggu atau lebih dan kemudian kita akan melihat kapan kita dapat menerapkannya. Pada musim depan yang terbaru,” sambungnya.
Senada dengan Ceferin, Agnelli yang notabene merupakan pemilik Juventus siap mendukung wacana UEFA untuk mempercepat penerapan VAR di ajang Liga Champions.
Baca Juga: