Connect with us

Investasi “Do No Harm Policy” Mutlak di Papua

Laksamana Madya (Purn) Ambasador Freddy Numberi(Tokoh Masyarakat Papua)

Semua peristiwa dan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia lebih khusus Papua, sesungguhnya berakar pada upaya rakyat Papua untuk menuntut keadilan sejak awal integrasi dengan Indonesia  1 Mei 1963.  Keadilan ekonomi, politik, sosial dan budaya yang menjadi hak dasar (human rights) secara universal termasuk orang asli Papua (OAP) tidak pernah dipenuhi oleh negara Indonesia secara adil dan bermartabat serta diakui sebagai daulat rakyat Indonesia.

Kewajiban dasar (generic obligation) dalam memenuhi setiap hak asasi warga negara adalah dalil kehadiran (raison de’entre) sebuah negara. Manakala negara (baca Indonesia) tidak mampu menjalankan kewajibannya dan melindungi warganya (baca OAP), maka negara telah kehilangan makna eksistensinya dan jangan salahkan mereka karena kehilangan kepercayaan kepada pemerintah dan memprotes.

Respons pemerintah terhadap protes-protes damai yang ada melalui aparat keamanan dengan tindakan represif (kekerasan) kadang-kadang keluar dari Aturan Pelibatan (Rule of Engagement/ RoE) yang telah ditetapkan.  Dalam menghadapi masyarakat sipil pada masa damai bila tidak tepat,  menjadikan berbagai kasus pelanggaran HAM terus terjadi di Indonesia khususnya di Papua. Dapat kita lihat pada peristiwa – peristiwa seperti Semanggi Berdarah, Wamena Berdarah, Wasior Berdarah, Biak Berdarah, dan lain lain.

Bingkai penyelesaian setiap konflik maupun gejolak ketidakpuasan terhadap pemerintah berlabel represif dengan stigmatisasi “gerakan separatis”.  “Protes damai” untuk mencari keadilan yang bermartabat selalu ditafsir dengan gerakan separatisme. Ingatan penderitaan (memoria passionis) di Papua akibat kekerasan yang ada, menimbulkan trauma yang panjang dan ketidakpercayaan OAP terhadap pemerintah.

Kebijakan yang tepat dalam mencari solusi terhadap budaya kekerasan yang sudah berlangsung lebih dari 54 tahun  adalah “Do No Harm Policy” (Kebijakan Untuk Tidak Melakukan Kekerasan).  Bung Hatta mengatakan: “Demokrasi adalah terlaksananya dasar-dasar perikemanusian dan keadilan sosial.  Disebelah demokrasi politik harus pula berlangsung demokrasi ekonomi dan sosial. (Kompas,29 Nov 2017)

Keresahan dan konflik yang terus muncul dari waktu ke waktu di Papua mengindikasikan bahwa ada kebijakan kurang tepat atau sesuatu yang keliru terjadi disana.  Kasus-kasus konflik tanah (contoh: pasar “mama-mama” yang diresmikan Presiden Jokowi, dipalang karena  tanah ulayatnya belum dibayar pemerintah), dan gerakan radikal sekelompok masyarakat yang menentang dominasi pusat serta adanya resistensi OAP terhadap perusahaan asing yang beroperasi di Papua, karena tidak pernah ganti rugi yang wajar terhadap tanah ulayat mereka. (Freeport,BP,Petro China dll)

Investasi terbaik adalah kebijakan pemerintah yang dapat beradaptasi dengan budaya masyarakat setempat dan menghindari tindakan kekerasan secara berkelanjutan.  Prinsip “Do No Harm Policy” mengandung makna bahwa kebijakan yang dibuat merupakan solusi untuk mengatasi “memoria passionis” masa lalu agar tidak berlanjut  kedepan serta merupakan langkah awal untuk rekonsiliasi.  Dasar dari prinsip “Do No Harm Policy” adalah empati terhadap rakyat Papua seperti apa yang telah ditunjukan Presiden Jokowi dalam kunjungan lebih dari tiga kali ke Papua.

Presiden Jokowi peka terhadap penderitaan mereka akibat kekerasan masa lalu.  Presiden juga mengutuk peristiwa kekerasan yang terjadi seperti di Kabupaten Deiyai beberapa waktu lalu.  Ini semua di lakukan Presiden Jokowi karena kecintaannya terhadap Papua dan masyarakatnya. Kita tidak boleh patah semangat, namun harus terus bekerja… bekerja…dan bekerja untuk “memenangkan hati dan pikiran” (to win the heart and mind) saudara-saudara kita di Papua sebagai bagian utuh dari bangsa Indonesia.

Menggaris bawahi pendapat Profesor Thoby Mutis dalam bukunya yang berjudul Manajemen Kemajemukan (2008), sebuah keniscayaan, untuk mengelola kebhinekaan manusia Indonesia Visi 2030, sebagai berikut:  “Arti sebagai bangsa dan warga negara Indonesia menjadi kabur manakala dirasakan bahwa menjadi Indonesia hanya sebuah nama tanpa makna”.

Hal ini sangat memiliki makna yang dalam bagi Orang Asli Papua (OAP) bahwa menjadi Indonesia harus sejahtera, adil, bermartabat dan tidak didiskriminasi maupun dimarjinalisasi apalagi ditindas dengan cara-cara kekerasan.

Dengan demikian langkah yang sangat segera dan mutlak dilakukan adalah investasi kebijakan berupa “Do No Harm Policy” (Kebijakan untuk Tidak Melakukan Kekerasan) bagi Papua dan masyarakatnya dalam meraih Papua Tanah Damai sesuai amanat  Presiden RI. Ir.H. Joko Widodo.

Ambassador Freddy Numberi

(Tokoh Masyarakat Papua)

 

 

 

 

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Reuni Alumni 212 Jelas Kapitalisasi Agama demi Kepentingan Politik

Oleh

Fakta News
Reuni Alumni 212

Jakarta – Reuni Alumni 212 yang bakal digelar awal Desember di Lapangan Monas Jakarta dianggap bentuk kapitalisasi agama demi kepentingan politik. Reuni tersebut seharusnya tidak diadakan lantaran tuntutan aksi 212 sudah diakomodasi.

Hal tersebut diungkapkan pengamat politik Lingkar Madani. Ia menilai kegiatan alumni 212 ini bukan murni kegiatan agama, melainkan kegiatan politik. Ia juga keheranan mengapa harus ada acara tersebut. Pasalnya, tuntutan aksi 212 sudah dipenuhi dengan Basuki Tjahaja Purnama dipenjara.

“Itu sudah jelas politik, enggak ada hubungannya lagi dengan agama, enggak ada hubungannya dengan dakwah, apa yang mereka tuntut sudah dipenjara kok. Apalagi gunanya, itu politik murni politik, murni untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah. Saya pikir mereka hanya mau mengapitalisasi agama ini. Mengapitalisasi agama terus-menerus untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah,” kata Ray kepada wartawan di D’Hotel, Jalan Sultan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (21/11).

Ray pun mengaku masih belum paham apa sebenarnya tujuan acara reuni alumni 212. Ia membandingkan dengan demonstrasi 1998 untuk menggulingkan rezim Soeharto dan Orde Baru. Usai berhasil menggulingkan, tak ada perkumpulan alumni maupun acara reuninya.

“Yang saya juga enggak mengerti tujuannya apa? Masak demonstrasi pakai alumni, alumni pakai reuni. Ada-ada saja. Yang besar sekali pun perjuangan 98 itu ya berhenti di 98. Waktu jatuh ya jatuh. Bahwa anggotanya membentuk kelompok-kelompok tertentu ya silakan saja. Enggak ada reuni 98 yang jatuhin soeharto, enggak ada,” imbuhnya.

Baca Juga:

Baca Selengkapnya

BERITA

Kubu Jokowi Anggap Amien Rais Tidak Dewasa dalam Berpolitik

Oleh

Fakta News
Bersikap toleran
Amien Rais.(Istimewa)
asasasasa

Jakarta – Kubu Joko Widodo-Maruf Amin menilai, pernyataan Amien Rais yang memaksa Muhammadiyah untuk memihak salah satu calon di pemilihan presiden menunjukkan sikap Amien Rais yang tidak dewasa dalam berpolitik.

Hal tersebut diungkapkan Juru Bicara Tim Kampanye Jokowi-Maruf Amin Ace Hasan Syadzily. Selain menunjukkan Amin Rais tidak dewasa, pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa sosok Amien Rais bukan negarawan tulen.

“Hanya karena beliau pendukung Prabowo-Sandi mau mendikte Muhamamdiyah mendukung paslon tertentu. Itu menunjukkan ketidakdewasaan politik sebagai politisi yang dikenal selalu menjaga demokrasi,” jelas Ace, seperti dikutip dari Merdeka.com, Rabu (21/11).

Justru, dengan paksaan dan desakan tersebut, suara Muhammadiyah malah enggan memilih Prabowo-Sandi. “Kalau terus menerus seperti itu, saya tidak yakin Prabowo mendapatkan dukungan dari Muhammadiyah,” tegasnya.

Sikap tersebut sama sekali tidak mencerminkan sosok negarawan. Politikus Partai Golkar ini menambahkan, sebagai negarawan, seharusnya Amien Rais menjaga agar ormas, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, tidak diseret ke ranah politik praktis.

“Sebetulnya secara organisasi Muhammadiyah dan NU tidak menunjukkan dukungan secara tegas, itu perlu terus dijaga bahwa citra ormas Islam tidak terseret ke dalam politik praktis hanya untuk kekuasaan semata,” tegasnya lagi.

Baca Juga:

Baca Selengkapnya

BERITA

Penggunaan Teknologi VAR di Liga Champions Dipercepat?

Oleh

Fakta News
var
Ilustrasi.(Foto: Istimewa)

Jakarta – Setelah sukses digunakan dalam beberapa turnamen FIFA, ternyata kehadiran teknologi Video Assistant Refree (VAR) disambut baik oleh sejumlah klub Eropa.

Video Asisten Wasit (VAR) kemungkinan besar akan segera diterapkan di ajang Liga Champions, tepatnya ketika memasuki babak knock out alias fase gugur di musim ini. Wacana tersebut langsung berasal dari Presiden UEFA Aleksander Ceferin dan Ketua Asosiasi Klub Eropa Andrea Agnelli.

Dilansir dari Soccerway, Selasa (20/11), sebelumnya VAR sendiri akan diberlakukan di Liga Champions mulai musim depan, namun belakangan wacana tersebut akan dipercepat dalam rangka untuk proses pengujian teknologi tersebut.

“Kami sudah mulai melakukan semua persiapan. [Kepala wasit UEFA] Roberto Rosetti dan timnya sangat bagus. Ada sudut pandang penting – wasit dan semua aspek teknis,” kata Ceferin dalam konferensi pers di Brussels.

“Saya mengharapkan laporan dalam seminggu atau lebih dan kemudian kita akan melihat kapan kita dapat menerapkannya. Pada musim depan yang terbaru,” sambungnya.

Senada dengan Ceferin, Agnelli yang notabene merupakan pemilik Juventus siap mendukung wacana UEFA untuk mempercepat penerapan VAR di ajang Liga Champions.

Baca Juga:

Baca Selengkapnya