Connect with us

Negara vs Hegemoni Neoliberalisme

Pertentangan pusat dan daerah akhir-akhir ini semakin marak dan menjadi ancaman perpecahan bangsa. Negara dalam hal ini pemerintah pusat, selama ini dianggap tidak adil dan sering menjadi kepanjangan tangan modal global dalam mengeksploitasi daerah. Kegagalan negara dalam perannya menyelesaikan konflik tidak terbatas hanya pada sektor ekonomi saja, namun juga pada sektor budaya dan kehidupan sosial lainnya.

Globalisasi bukanlah sekedar sebuah aktivitas ekonomi, dalam menciptakan pasar saja, akan tetapi dibalik globalisasi ini ada neoliberalisasi yang membawa kepentingan pasar global melakukan penetrasi ke pasar lokal. Inilah yang merupakan akar masalah konflik yang terjadi akhir-akhir ini seperti kejadian di Mesuji, Bima, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, Papua dan hampir dibeberapa tempat di Indonesia.

Hegemoni Neoliberalisme
Argumen paling umum terhadap fenomena globalisasi adalah, tidak ada satu negarapun yang dapat melepaskan diri dari pergaulan internasional, baik disebabkan kemampuan negara dalam mencukupi kebutuhannya maupun kepentingan pasar global untuk melakukan penetrasi produk, atau kebutuhan negara lain dan industri transnasional  akan bahan baku. Perubahan moda produksi turut merubah interaksi antar negara, penyediaan komoditi dan modal tidak lagi memperhatikan batas-batas negara.

Neoliberalisme yang selalu melekat dalam globalisasi adalah sebuah fenomena sosial politik yang dialamatkan kepada sekelomok penguasa dan intelektual di barat yang ingin menghidupkan kembali gagasan liberalisme klasik. Hegemoni neoliberalisme dengan kendaraan globalisasi ini mencoba menghapus batas-batas negara. Dan dalam rangka memperluas pasar dan mencari bahan baku murah maka pasar lokal seringkali berhadapan langsung dengan hegemoni neoliberalisme ini.

Hegemoni neoliberalisasi yang semakin menguat ini tidak saja menghapus batas-batas negara akan tetapi juga berusaha memperkecil peran negara. Asumsinya pasar bebas akan mencari titik kesetimbangan sendiri,  sehingga efisiensi akan meningkat, regulasi yang dibuat negara hanya akan membatasi fleksibilitas pasar. Seperti dikemukakan Lenni Brenner aktivis hak-hak sipil, bahwa kehidupan ekonomi dan politik berubah, dari skala nasional menjadi skala global. Negara bertujuan untuk mendukung akumulasi kapital dengan mengaitkan lokal ke global dan menciptakan lokasi yang ideal untuk akumulasi tersebut dalam set global.

Sementara pakar sosiologi dari University of California, Berkeley. Manuel Castell mengatakan, bahwa,  negara masih berperan dalam membentuk pasar melalui mediasi antara lokal dan global, dan mempengaruhi bagaimana aset khusus lokal dimobilisasi kedalam ekonomi global. Sedangkan pengamat social lainnya Immanuel Wallerstein mantan Kepala Pusat Studi Ekonomi, Sistem Sejarah dan Peradaban di Binghamton University, mengatakan, negara terintegrasi kedalam pasar melalui struktur perdagangan dan produksi internasional yang hirarkis.

Nah, kombinasi analisis diatas, merupakan proses market menuju pengorganisasian berbasis transnasional, dengan perdagangan, produksi dan finansial diorganisasikan melalui rantai komoditi global dalam ekonomi global yang terintegrasi. Pasar, negara dan masyarakat berada dalam hubungan hierarki dengan pasar yang diorganisasi secara transnasional. Jelas terlihat bahwa negara dipaksa mengambil peran sebagai kepanjangan tangan modal transnasional dan watch dog (penjaga) ideologi neoliberalisme tersebut

Persoalannya kini, adalah dominasi negara inti (Eropa Barat dan Amerika Utara) yang menguasai modal transnasional mampu mengkooptasi negara pinggiran dan menjadikan negara pinggiran hanya sebagai pasar dari produk global, dimana sumber daya alamnya terbuka seluas-luasnya untuk di eksploitasi. Dan dalam prakteknya globalisasi sering tercampur dengan internasionalisasi nilai-nilai barat yang didalamnya melekat neoliberalisme tersebut.

Praktek Neoliberalisme di Indonesia:
Pergantian pemerintahan tahun 1998 melalui gerakan sosial masyarakat yang sering dikenal sebagai Gerakan Reformasi 1998, merubah sistem pemerintahan yang otoriter menjadi sistem pemerintahan yang demokratis. Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah mengubah paradigma sentralisasi pemerintahan kearah desentralisasi dengan pemberian otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah.

Konsekwensinya secara langsung merubah hubungan pusat dan daerah. Otonomi yang besar pada daerah sekaligus membuka daerah berhadapan langsung dengan masyarakat global. Lemahnya aturan dan regulasi mengakibatkan banyaknya produk perundang-undangan yang dihasilkan justru melemahkan peran negara (pemerintahan pusat) dalam melindungi kepentingan nasional, sekaligus kepentingan lokal. Penguatan otonomi daerah ini juga menimbulkan ketegangan baru dengan pemerintahan pusat dan mengancam kedaulatan negara. Harmonisasi produk perundang-undangan gagal menjembatani kepentingan lokal sehingga banyak produk peraturan daerah yang bertentangan dengan undang-undang diatasnya.

Disatu sisi hegemoni neoliberalisasi dengan menumpang globalisasi, mampu mengintervensi produk perundang-undangan tersebut dan menjadikannya ramah terhadap kepentingan market global dan meninggalkan kepentingan nasional maupun lokal. Tidak saja peraturan daerah tetapi Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah di atasnya pun tidak luput dari pengaruh global ini. Peran rent seeker (pencari rente) lebih dominan daripada birokrasi pemerintahan dan mampu mengatur aparat negara, sehingga aturan dan regulasi dibuat sedemikian rupa untuk menguntungkan modal transnasional.

Aturan dan regulasi yang tidak memihak ini memunculkan ketegangan hubungan tidak saja pada hubungan pusat dan daerah, akan tetapi juga antara masyarakat dengan kelompok kepentingan di pusat dan daerah. Korupsi yang merajalela di jajaran birokrasi turut mempercepat proses perpindahan dan penguasaan aset-aset strategis ketangan modal global. Pengelola negara (pemerintah) sering sekali lebih senang mencari jalan mudah, pelobi (lokal dan global) dan rent seeker menjadi alat efektif penetrasi global.

Kondisi ini juga mengakibatkan konflik terbuka antara masyarakat dan perusahaan yang sebagian besar merupakan perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing), bagian dari struktur finansial transnasional. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi, 2012), mencatat setidaknya 22 tempat rawan konflik masyarakat melawan perusahaan pertambanan. Bukan saja potensi konflik diramalkan akan terjadi, akan tetapi di beberapa daerah konflik telah pecah dan menimbulkan korban jiwa seperti di Mesuji (konflik masyarakat dengan perusahaan perkebunan PMA); di Papua (Masyarakat dan pekerja dengan perusahaan pertambangan Freeport) dan Bima (Masyarakat dengan perusahaan pertambangan).

Pilihan terhadap desentralisasi, kini kesulitannya bukan saja dikarenakan kapasitas kelembagaan ataupun sumber daya manusia (sdm) yang terbatas,  akan tetapi peran yang dominan dari pelobi dan rent seeker, merupakan faktor kunci penyimpangan dari agenda besar negara menjadi agenda dalam kerangka kepentingan global semata. Secara teknis seringkali perencanaan ini dimulai dari kajian dengan menggunakan dana-dana hibah, yang merupakan entry point masuknya kepentingan global.

Salah satu prasyarat penting untuk mengatasinya, adalah melihat ulang tujuan kita bernegara, dan secara tegas melakukan koreksi kepada penyelenggara negara yang jelas-jelas berpihak, atau menjadi agen kepentingan global. Kondisi saat ini, memaksa kita merenungkan kembali cita-cita proklamasi yang bukan saja menjadi pedoman dalam upaya mensejahterakan bangsa akan tetapi berperan aktif  dalam pergaulan dunia yang berkeadilan. Rasanya cita-cita ini sudah lama ditinggalkan para penyelenggara negara saat ini. Mari menjaga republik tercinta ini.

Penulis: Ammarsjah Purba

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Kendati Rupiah Menguat, Pemerintah dan BI Harus Tetap Antisipatif

Oleh

Fakta News
Pemerintah dan BI
Rupiah menguat perkasa(Ilustrasi)

Kendati nilai tukar rupiah menguat sejak awal pekan ketiga November 2018, pemerintah dan BI (Bank Indonesia) harus tetap antisipatif. Nilai tukar valuta masih akan fluktuatif, karena pasar uang terus dibayang-bayangi oleh rencana bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (Fed), menaikkan suku bunga acuannya, Fed Fund Rate (FFR), hingga tahun 2019 mendatang.

Akhir pekan kedua November 2018, rupiah digambarkan sebagai valuta paling perkasa di Asia karena mengalami penguatan sampai 70 poin, atau 0,48% terhadap dolar AS. Pada Jumat (16/11), nilai tukar rupiah sudah memasuki level Rp 14.595 dan Rp 14.665.

Proses penguatan nilai tukar rupiah saat ini tentu tak bisa dilepaskan dari langkah BI menaikkan bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6%, belum lama ini. Namun, proses penguatan rupiah saat ini diasumsikan temporer.

Rupiah – dolar AS, pada dasarnya belum menemukan keseimbangan baru. Terutama karena Fed masih akan menaikkan bunga acuan ke level 3,25 persen hingga 2019, dari posisi dua persen saat ini.

Baca Selengkapnya

BERITA

Mencaci Maki Sekulerisme Tanpa Memahami Maknanya

Oleh

Fakta News

Sudah terjadi berlangsung lama kesalahan dalam pemahaman tentang apa makna sekulerisme. Namun sebagian justru memelesetkan pengertian sekuler dan menjelaskan pada orang yang nggak mengerti. Sekulerisme seolah-olah ingin membuat orang Islam tidak berpolitik. Hal ini tidaklah benar.

Sekulerisme itu adalah konsep yang memisahkan agama dengan kekuasaan politik atau negara, khususnya pada negara bangsa (nation state). Kalau di negara teokrasi mungkin agama dan politik kekuasaan negara bisa saja disatukan. Sayang negara agama yang murni di dunia itu tidak ada.

Islam pada waktu Nabi hidup dan kekhalifahan paska wafatnya Nabi mungkin bisa disebut “negara agama atau negara Islam”. Namun setelah itu “Eksperimen Kekuasaan di Madinah” dianggap gagal. Di Turki dicoba lagi dan juga gagal.

Negara Arab Saudi sendiri mengambil bentuk negaranya sebagai kerajaan dan bukan negara Islam, karena yang disebut dalam Quran adalah kerajaan. Pengertian khilafah berdasar Quran itu dimensi dan skalanya individual bukan dalam skala negara. Dan tatkala Nabi menjalankan eksperimen struktur kenegaraan di Madinah, luas Madinah sebenarnya hanya sebesar 2 kali Kecamatan Mampang.

Sekularisme tersebut dalam sub pemahamannya sering diartikan, yakni berarti pemisahan ambisi berkuasa/berpolitik (dalam kontek kekuasaan negara) dengan kewajiban orang dalam beragama. Nah kalau, dalam kontek negara, orang ingin agama dan kekuasaan disatukan itu tidak bisa dikatakan sekuler atau tidak sekuler. Tetapi penyatuan agama dengan politik (kenegaraan) demikian disebut totaliterianisme agama. Inilah yang dianut HTI, karena itu mereka juga anti demokrasi!

Baca Selengkapnya

BERITA

Gus Yaqut: Dosakah Membakar Bendera HTI?

Oleh

Fakta News
Gus Yaqut: Dosakah Membakar Bendera HTI ?
Gus Yaqut(Foto: Istimewa)

Berikut tulisan Ayik Heriansyah yang diberi judul Gus Yaqut: Dosakah Membakar Bendera HTI. Tulisan Ayik ini mencoba menafsirkan perspektif Gus Yaqut terkait video yang beredar di media sosial.

Seperti diberitakan, GP Ansor, induk dari Banser, angkat bicara soal itu. Ia menyatakan pembakaran sebenarnya dilakukan pada bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sekaligus untuk menjaga kalimat tauhid.

Baca Juga:

Gus Yaqut alias Yaqut Cholil Qoumas selaku Ketua Umum PP GP Ansor menyampaikan persepktifnya terkait kejadian ini. Ia bilang anggotanya melihat bendera tersebut sebagai simbol bendera HTI, ormas yang sudah dibubarkan pemerintah.

Gus Yaqut: Dosakah Membakar Bendera HTI ?

Bendera hitam putih yang kerap dibawa aktivis HTI merupakan simbol gerakan pemberontakan (bughat) terhadap daulah Islamiyah (NKRI). Itulah bendera Khilafah ala HTI yang terinspirasi oleh hadits-hadits Nabi Saw tentang liwa rayah. Liwa rayah merupakan bendera simbol kenegaraan kaum muslimin pada hubungan internasional saat itu. Di Indonesia umat Islam sepakat menggunakan bendera Merah Putih sebagai simbol kenegaraan mereka. Itulah liwa rayah kaum muslimin di Indonesia. Bendera pemersatu umat dari Sabang sampai Merauke.

Sebagai muslim/muslimah yang memiliki KTP, SIM dan Buku Nikah NKRI, makan minum, menggunakan mata uang Indonesia fasilitas jalan, bandara, pelabuhan, sekolah, rumah sakit, dsb udah seharusnya aktivis HTI mengusung bendera Merah Putih. Liwa rayah kita semua. Toh Nabi Saw sendiri tidak memerintahkan umatnya menggunakan liwa rayah hitam putih yang bertuliskan dua kalimat syahadat. Bukankah semua hadits tentang liwa rayah hanya bersifat khabariyah informatif tanpa ada qarinah (indikasi) wajib menggunakannya. Sesungguhnya Nabi Saw sudah tau, perihal bendera negara diserahkan kepada sepenuhnya kesepakatan umatnya.

Aksi pamer bendera HTI di wilayah NKRI menimbulkan kegaduhan, fitnah dan memecah belah umat Islam. Bukan hanya NU, Ansor dan Banser, ormas Islam lainnya pembentuk NKRI risih dengan bendera HTI. Sudah pasti tujuan HTI mendirikan Khilafah Tahririyah termasuk bughat. Setiap kegiatan dan atribut yang mengarah kepada bughat dihukumi haram. Sesuai kaidah ushul fiqih yang juga diadopsi HTI yang berbunyi: al-washilatu ila harami muharramah aw haramun.

Langkah-langkah Banser menindak peragaan bendera HTI tidak lain dan tidak bukan demi menjaga persatuan dan kesatuan umat, bangsa dan negara. Yang demikian itu sesuai dengan maqashidusy syariah yakni hifdzul umat, mujtama wa daulah. Inilah esensi dari penerapan syariah.

*Utsman Membakar al-Qur’an*
Pada saat terjadi perang irminiyah  dan perang adzrabiijaan, Hudzaifah Ibnul Yaman yang saat itu ikut dalam dua perang tersebut melihat perbedaan yang sangat banyak pada wajah qiraah beberapa sahabat. Sebagiannya bercampur dengan bacaan yanag salah. Melihat kondisi para sahabat yang beselisih, maka ia melaporkannya kedapa Utsman radhiyallahu ‘anhu. Mendengar kondisi yang seperti itu, Utsman radhiyalahu ‘anhu lalu mengumpulkan manusia untuk membaca dengan qiraah yang tsabit dalam satu huruf (yang sesuai dengan kodifikasi Utsman). (lihat mabaahits fi ‘ulumil Qur’an karya Manna’ al Qaththan: 128-129. Cetakan masnyuratul ashr al hadits).

Setelah Utsman radhiyallahu ‘anhu memerintahkan kepada sahabat untuk menulis ulang al Qur’an, beliau kemudian mengirimkan al Qur’an tersebut ke seluruh penjuru negri dan  memerintahkan kepada manusia untuk membakar al Qur’an yang tidak sesuai dengan kodifikasi beliau. (lihat Shahih Bukhari, kitab Fadhailul Qur’an bab jam’ul Qur’an, al Maktabah Syamilah)

Baca Selengkapnya