“Bahaya, Jika Aparatur Sipil Negara Masuk ke Sistem Politik”
Jakarta – Bagi seorang aktivis yang kemudian terjun menjadi birokrat, tentunya akan merasa kesulitan di awal-awal ketika ia menyesuaikan diri di lingkungan kerjanya. Idealismenya selalu membuat sikapnya bertentangan dengan nuraninya. “Di awal-awal menyesuaikan diri itu penting, namun tidak meninggalkan cita-cita ideal seperti yang tertanam ketika masih menjadi aktivis, untuk melakukan perubahan mental di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN) ke arah yang lebih baik lagi,” tutur Indra Iskandar, seorang birokrat di Sekretariat Negara yang berasal dari kalangan aktivis itu.
Banyak persoalan selama Indra menjalani tugasnya di birokrasi. Bahkan, seperti karena persoalan sentimen kelompok perguruan tinggi yang bekerja di lingkungannya, karier pun dan keahlian pun terlibas hanya oleh kepentingan kelompok tidak membuatnya surut untuk terus mengabdi.
“Ujung-ujungnya, perubahan mental ASN yang seharusnya menjadi pendorong pekerjaan lebih baik, efisien dan cepat pun, jadi dikorbankan,” tutur Indra ketika diwawancarai M Riz, Koster Rinaldi dan Toa dari dev.fakta.news/v03, sepekan lalu di Jakarta.
Nah, bagaimana sikap seorang aktivis ketika terjun di kalangan birokrat? Sikap seperti apa yang harus ditunjukkan ketika muncul sentiment kelompok di lingkungan kerjanya? Berikut ini petikan wawancaranya.
Sebagai seorang aktivis yang lalu terjun ke birokrat, apakah ada kendalanya?
Pasti ada. Bagi aktivis yang tadinya berkegiatan yang penuh idealis, mengkritisi setiap kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat, kemudian kami masuk ke dalam sistem, sementara dalam sistem itu kami tidak bisa menghindari apa yang disebut subordinasi. Masalahnya, jika kami masuk kedalam sistem kami harus beradaptasi dengan sistem itu.
Selain itu, dalam kelembagaan birokrasi itu, ada jenjang di dalam kepemerintahan. Orang yang baru masuk, dalam tahap staf kemudian ada jenjang tangga-tangga ke depan yang naik terus secara alamiah. Memang, pertama kali kami masuk sebagai staf ada situasi dimana kami dilematis, misalnya hal-hal yang dulu dalam dunia aktivisme itu adalah sesuatu yang ideal tetapi ketika masuk ke dalam sistem birokrasi itu tidak seperti apa yang dibayangkan.
Dulu kami membayangkan waktu mengkritik pemerintah, kami berfikir kalau 1 atau 2 hari bisa selesai, setelah masuk ke dalam sistem ternyata tidak sesederhana itu. Merubah cara berfikir itu yang bikin kami sering gagap. Tapi kalau bertekad untuk menyelesaiakan satu cita-cita seperti dulu saat masih menjadi aktivis, yah mau gak mau harus dihadapi dengan satu tekad ketika ada perubahan, sesuatu yang ‘ideal’ itu bisa terwujudkan.
Selama ini kesulitan pola pikir dasar, sehingga ada kendala yang sulit untuk direalisasikan?
Sebenarnya, tidak seburuk yang kami pikirkan atau sedramatis yang kami duga. Karena, pada saat masuk ada juga yang masuk dengan pola pikir pragmatis dengan cita-cita pragmatis juga. Alasannya, karena pada saat di kampus itu pola pikiran pragmatis sudah ada maka yang punya idealisasi seperti kami yang ingin merubah sesuatu, dimulai dengan merapihkan sesuatu hal-hal kecil yang nantinya akan berefek kepada sesuatu hal yang besar.
Sudah ada yang terwujud? Misalkan perubahan-perubahan itu yang sudah tersampaikan atau sudah berhasil mengubah sesuatu ketika masuk birokrat?
Banyak juga. Sesuatu kemudian berubah secara alamiah, ternyata cita-cita untuk mewujudkan sesuatu yang ideal itu bisa terwujudkan, misalkan secara teknis ketika saya ditempatkan di unit Sekretariat Negara (Setneg), pola kerja untuk pengadaan barang dan jasa dilakukan secara manual dan tertutup, kemudian atas dasar semangat beberapa teman yang ingin melakukan idealisasi di kantor itu kami buat SOP, walaupun waktu itu payung hukumnya secara nasional belum ada.
Kalau sekarang kan standar pengadaan barang dan jasa secara nasional kan sudah ada, seperti lelang elektronik dan macam-macam, dulu itu kan 15 – 20 tahun yang lalu belum ada. Sehingga, inovasi-inovasi seperti itu bisa keluar karena banyak teman punya cita-cita yangg sama tentang Indonesia ke depan dan juga tentang birokrasi ke depan.
Disamping itu, selama 10 tahun belakangan ini ada semangat reformasi birokrasi, walaupun semangatnya masih formal atau masih normatif, tapi semangat untuk berfikir dari hal-hal kecil seperti ini sudah bisa dimulai sesuatu untuk ke depannya, dan sekarang di lingkaran birokrasi di Setneg sudah tertib. Dan, tidak hanya di Setneg sekarang pun di lembaga kepresidenan sudah sangat tertib, mungkin meskipun itu tidak terekspos tetapi bisa menjadi contoh birokrasi di tempat-tempat lain.
Jadi, kendala apa yang dihadapi para aktivis yang terjun di birokrasi itu, kesulitan menyesuaikan dirinya, karena person yang dihadapinya, pimpinannya, atau sistemnya yang belum ada?
Bisa semuanya. Kami itu berhadapan dengan yang namanya mentalitas orang-orang yang masih berpikiran lama dan juga sistemnya sendiri memang belum mendukung ke arah sana. Jadi, kami berhadapan pada 2 situasi pada menghadapi sistem dan juga menghadapi budaya yang sudah ada;
Jadi untuk mengatasi kesulitan itu bagaimana caranya?
Perlu kesabaran. Jadi seperti yang saya sampaikan tadi pada saat ada di dunia aktivis, sesuatu pekerjaan bisa diselesaikan 2 – 3 hari, tapi pada saat sudah masuk dalam 2 – 3 hari itu tidak mungkin bisa, butuh kesabaran juga yah, karena yang harus dihadapi itu situasi besar, paragdima yang sudah bertahun-tahun.
Ketika Anda masuk itu berapa tahun bisa berubah?
Saya rasa sih ketika sejak saya masuk, itu baru terasa efektif setelah 5 tahun. Setelah itu baru kami mengajak teman-teman lain masuk pada tahun kedua ketiga berikutnya. Sejak itu semangatnya sudah mulai sama, walaupun tidak semuanya sama, tapi sebagian besar sudah berubah.
Perubahan mental seperti itu di birokrat, berpengaruh besar tidak terhadap sistem?
Memang berpengaruh sih, tapi semangat ini kan bukan hanya di lingkungan kerja saja. Era pemerintahan saat ini, juga melakukan percepatan untuk suatu keadaan lebih baik. Kalau mau lebih tegas lagi dalam pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), ini sangat serius sehingga semangat itu juga mulai berimbas pada yang lain, mungkin bukan untuk teman-teman yang lain itu punya kesadaran atau enggak tetapi semangat itu gaungnya itu atmosfinya, itu membuat semua untuk berpikir pada persaingan yang terbuka (meritokrasi).
Jadi siapapun yang punya kreativitas tinggi pasti akan muncul. Jadi , yang punya semangat/mentalitas dan idealisme yang tinggi pasti secara alamiah akan lebih unggul dari teman-temandengan pola pikir lama. Mereka pasti tertinggal, dan ini secara alamiah tidak bisa dihindari.
Apakah sentiment perguruan tinggi, seperti suatu lembaga pimpinannya dari universitas tertentu, maka banyak alumninya yang diberi kedudukan di lembaga itu, bukankah hal ini akan mengganggu proses revolusi mental?
Sebenarnya, isunya bagaimana aktivis yang ingin melakukan perubahan masuk kedalam suatu birokrasi itu tidak ada pengelompokan seperti basis universitas, basis agama, dan lain-lain. Artinya, tak mengenal sentimen suatu perguruan tinggi. Di perguruan tinggi teman-teman yang masuk juga mempunyai semangat idealisme, lalu teman-teman yang basisnya bukan aktivis juga mempunyai semangat idealisme yang sama, kami yang mempunyai semangat yang sama belasan tahun yang lalu pasti memiliki wawasan yang lebih.
Yang agak sulit switchnya, kebiasaan dulu ketika kami di dunia aktivis kami berpikir segala sesuatunya itu egaliter, dalam manajemen itu gak ada yang egaliter, ada hirarkinya. Tetapi bagi aktivis seperti saya walaupun sudah ada hirarki, saya memberi kebebasan berkreasi kepada staf di bawah dan tidak terlalu membatasi, sehingga itu terasa seperti keluarga sekali.
Teman-teman yg berangkat dari dunia aktivis,menganggap hirarki itu adalah sesuatu yang dipandang menghambat dan itu mungkin jadi kendala untuk percepatan-percepatan, karena hirarki itu di satu sisi baik untuk tidak anarkis, tetapi di sisi lain itu juga jadi satu kendala.
Inovasi sudah bisakah diterima dengan baik di lingkungan birokrat?
Ada sebagian, jadi tugas seorang aktivis di dunia birokrasi adalah menjadikan birokrasi sebagai kata benda bukan kata sifat. Idiom jadi birokrat itu salah, sehingga birokrat menjadi sesuatu yang negatif. Padahal justru yang harus disadari sekarang oleh teman-teman aktivis itu, adalah memelihara semangat melakukan perubahan dimanapun dia berada, dan dilakukan dengan konsisten.
Pertama, kalau dia (aktivis) itu di luar sistem, kan dia tidak bisa melakukan perubahan. Kedua, dia harus bisa menjadi teladan dan inspirasi bagi lingkungannya, bahwa birokrasi itu harus menjadi mesin dari keputusan-keputusan politik sehingga dia harus loyal kepada pimpinan politiknya, jika tidak loyal maka bisa terjadi kekacauan di dalamnya.
Maka, teman-teman walaupun sudah masuk k edalam birokrasi sikap konsisten itu harus tetap terjaga. Disamping itu, yang tidak bisa dihindari dia hidup di suatu sistem atau komunitas yang butuh kesabaran untuk melakukan perubahan.
Artinya sekarang masih terjadi kendala meskipun sistem itu sudah berubah, walaupun masih ada mental birokrat berbasis perguruan tinggi atau berbasis partai?
Itu ada, karena memang gak bisa dihindari, karena dalam kehidupan ini tidak hitam putih, tidak semua baik dan hal buruknya yang harus dihindari. Kalau visi dan kepentingannya bukan untuk kebaikan kantor maka pasti bisa disimpulkan ada hidden agenda.
Latar belakang masuk ke Setneg dulu apa?
Dulu background saya kan di Tata Kota Pemda DKI Jakarta. Pada saat itu beberapa tahun di DKI ada perubahan-perubahan reformasi, Gus Dur jadi Presiden. Karena pernah hidup di dunia aktivis, maka Gus Dur pun merekrut kami.
Namun, karena saat itu bukan di setneg atau lingkungan pemerintahan pusat tetapi provinsi dengan fokus pada Peraturan Pemerintah dan perundang-undangan. Saat Gus Dur masuk, banyak melakukan pembenahan-pembenahan.
Saat awal-awal reformasi itu, birokrasi masih mencari bentuk. Pada saat Gus Dur lengser, saya melakukan pilihan apakah kembali lagi ke Pemda DKI atau terus di Setneg, tetapi beberapa pejabat Setneg meminta untuk terus bertahan dan bergabung disitu, itulah prosesnya. Padahal basis keilmuan saya teknik sipil, jadi untuk menambah pengetahuan saat di setneg,kuliah lagi di Administrasi Kebijakan Publik Universitas Indonesia.
Lalu, ke depannya birokrasi harus seperti apa?
Kedepannya, sebenarnya kekuasaan politik harus memahami birokrasi dan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan difungsikan secara professional sebagai mesin dan jangan dimasukkan ke dalam sistem politik saat itu. karena akan berbahaya.
Birokrasi itu siapapun pemimpin politiknya, harus loyal pada sistem, pada negara dan pemerintahan. Kedepannya, mungkin paradigma itu harus diperkuat, harus dibedakan mana political pointy mana professional pointy,
ASN itu, harus dikuatkan pada system professional pointy jangan dicampur baur ke political pointy. Pemerintah harus membuat benang merah jangan mencampur baurkan urusan professional ke dalam politik. ASN ke depan itu tidak semuanya bisa disalahkan ketika bekerja, jadi tergantung supirnya itu sendiri mau dibawa kemana, kan dalam ASN tersebut ada reward and punishment secara maksimal .Sekarang seperti di Setneg ada tunjangan kinerja, sehingga jika tidak sesuai tunjangan kinerja harus dievaluasi.
Lalu persoalan ASN eselon 1 diambil dari luar seperti apa?
Ini soal persepsi saja. ASN itu sekarang untuk beberapa kementerian jabatan eselon 1 diambil dari luar, han hal itu ada plus minusnya. Mungkin plusnya itu jabatan-jabatan strategis dari luar akan dapat tenaga2 profesional yang sudah bepengalaman dan ahli, tetapi kan seharusnya ada jenjangnya. Menurut persepsi saya, setiap jenjang itu ada wisdom-nya, kalau orang belum pernah melawati sesuatu jenjang dia akan mengalami masalah di jenjang berikutnya, karena dia belum pernah mengalami perintah atasan dan sebagainya.
Jadi di sini ada wisdom, meskipun orang itu mempunyai banyak skill assessment (keahlian) seperti komputernya, bahasa inggrisnya, dan lain-lain. Teteapi dia belum pernah merasakan asam garamnya naik jenjang tersebut. Dia belum pernah merasakan leadership atau pengalaman birokrasi, jadi dia belum mempunyai pengalaman birokrasi tetapi di harus membawahi beberapa eselon 2, eselon 3, yang banyak staf tetapi pengalaman itu yang masih kurang. Jadi ASN itu, mengevaluasi birokrat itu kurang kreatif dan kurang pengalamannya buat orang yang dari luar yang mau menduduki jenjang eselon 1. (***)
WAWANCARA
Tingkat Pengangguran Kita Terus Menurun
Pertumbuhan sektor manufaktur, pariwisata, dan makanan-minuman (mamin) dinilai sangat produktif dalam penyerapan tenaga kerja. Sebab, sektor ini mampu menyerap 60% tenaga kerja dari total angkatan ketenagakarjaan nasional dalam empat tahun terakhir. “Pada tahun 2015 jumlah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 7,31%, sendangkan pada 2018 turun menjadi 6,45%,” kata Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri dua pekan lalu.
Hanif menjelaskan, berdasarkan catatan Kemenaker, total jumlah penyerapan tenaga kerja baru di era Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sejak 2015-2018 mencapai 9,6 juta orang. Dimana pada sektor industri pengolahan menyerap 24,52%, retil besar, keci dan reparasi motor 11,1%, administrasi pemerintah/jaminan sosial 10,9%, konstruksi 10,88%, kegiatan jasa 7%, dan akomodasi-kuliner-rekreasi 4%.
Baca juga:
- Angka Kemiskinan Mampu Menembus Satu Digit
- Kontribusi Sektor Ekonomi Kreatif Terhadap PDB Sangat Besar
- Tahun Depan Pemerintah Bangun 10 PLBN Lagi di Wilayah Perbatasan
Meski angka pengangguran berada pada tren yang positif, namun Hanif mengakui bahwa capaian ini belum sepenuhnya dengan apa yang diharapkan. Pasalnya, pengangguran di pedesaan masih mengalami peningkatan sekitar 0,03%. Hal ini disebabkan banyak angkatan kerja baru bekerja secara informal di sektor pertanian. Dimana pada musim panen berakhir, para angkatan kerja ini akan mengnggur lagi.
Namun demikian, Hanif mengaku optimis, karena dengan adanya program dana desa dari Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmingrasi (Kemendes PDTT) yang didalamnya terdapat program padat karya, akan membuka peluang kesempatan kerja di pedesaan. “Jadi situasi naiknya pengangguran di desa menurut saya sifatnya tidak permanen,” imbuhnya kepada Ade Nyong dari Fakta.News.
BERITA
Angka Kemiskinan Mampu Menembus Satu Digit
Jakarta – Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, merupakan salah satu dari 9 poin agenda Nawacita. Hasilnya di era Presiden Jokowi, angka kemiskinan jadi satu digit. Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Sosial terus menggenjot Program Bantuan Sosial Pangan. Sebab, bantuan sosial dipercaya mampu mengeluarkan masyarakat dari garis kemiskinan.
Hal ini bukan hanya basa basi belaka. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada Maret 2018 lalu, menunjukan angka kemiskinan di Indonesia turun drastris, bahkan telah menembus single digit, yakni 9,82% atau setara dengan 25,95 juta orang. “Alhamdulillah, kontribusi bantuan sosial, angka kemiskinan mampu menembus satu digit,” kata Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita pekan lalu.
Baca juga:
- Kontribusi Sektor Ekonomi Kreatif Terhadap PDB Sangat Besar
- Tahun Depan Pemerintah Bangun 10 PLBN Lagi di Wilayah Perbatasan
- Pemekaran DOB Menunggu Putusan Presiden
Politisi Partai Golkar ini pun optimis, bahwa hingga akhir 2019, angka kemiskinan di Indonesia bisa turun hingga dibawah 9,5%. “Kalau kita tetap konsisten dan disiplin terhadap program-program yang ada di Kementerian Sosial, Insya’allah kami targetkan penurunan angka kemiskinan hingga akhir tahun 2019 nanti bisa turun menjadi 9,3 – 9,5%,” ungkapnya.
Kepada Ade Nyong dari Fakta.news, pria kelahiran Jakarta 49 tahun silam ini menjelaskan poin-poin apa saja yang menjadi bahan evaluasi dalam Program Bantuan Sosial Pangan sejauh ini. Berikut kutipannya.
Apa yang di evaluasi dari Kementerian Sosial bersama Dinsos seluhur Indonesia terkait penyaluran Bantuan Soasial Pangan ini?
Saya masih melihat dalam penyaluran BPNT, beberapa persoalan teknis di lapangan, harus diselesaikan di Tingkat Pusat. Baik oleh Kementerian Sosial maupun HIMBARA. Jadi rapat koordinasi ini merupakan forum untuk kita semua secara bersama-sama yang melibatkan HIMBARA, Bulog, serta Pemerintah Daerah yang khususnya Dinas Sosial untuk melakukan evaluasi-evaluasi supaya program-program, terutama program transformasi dari Bantuan Beras Sejahtera atau Rastra ke Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) ini bisa kita tuntaskan 100% pada awal tahun 2019.
WAWANCARA
Kontribusi Sektor Ekonomi Kreatif Terhadap PDB Sangat Besar
Kontribusi sektor ekonomi kreatif terhadap perekonomian nasional semakin nyata. Nilai tambah dari sektor ini pun terus meningkat. Bahkan, dari tahun ke tahun, pertumbuhan ekonomi kreatif berada di atas rata-rata pertumbuhan nasional. Mulai dari pertumbuhan sektor listrik, gas dan air bersih, pertambangan dan penggalian, pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, serta jasa-jasa dan industri pengolahan.
Baca juga:
- Upaya Lembaga Layanan Pemasaran-UMKM Wujudkan UMKM Naik Kelas
- Tahun Depan Pemerintah Bangun 10 PLBN Lagi di Wilayah Perbatasan
- Proses Rekonstruksi dan Rehabilitasi Infrastruktur Rampung Akhir 2019
Berdasarkan data Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), kontribusi ekonomi kreatif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sejak empat tahun terakhir terus mengalami kenaikan. Sebut saja ditahun ditahun tahun 2017 lalu, PDB sektor ekonomi kreatif menembus Rp1.009 triliun. “Kami proyeksikan tahun 2018 dan 2019 growth-nya akan konsisten,” ungkap Wakil Kepala Bekraf, Ricky J. Pesik kepada Fakta.news.
Tak hanya berkontribusi pada PDB saja, menurut Ricky, sekrot ekonomi kreatif ini juga sangat berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja yang cukup signifikan. “Sekarang posisinya 17,4 juta orang pekerja di sektor ekonomi kreatif,” kata pria jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Kepada Ade Nyong dari Fakta.news, Kamis pekan lalu di Rumah Bersama Pelayan Rakyat, Jalan Erlangga II, Nomor 2, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pria kelahirang 19 September ini berkenan membeberkan upaya Bekraf dalam mengembangkan sektor industri ekonomi kreatif dalam negeri. Berikut kutipan wawancaranya.
Bagaimana Anda melihat perkembangan dunia ekonomi kreatif saat ini dan seberapa besar potensi ekonomi kreatif di Indonesia?
Dari laporan terbaru kami, bahwa di 2017, kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB itu sudah tembus Rp1.000 triliun, tepatnya Rp1.009 triliun di 2017. Jumlah tenaga kerja juga meningkat cukup signifikan. Sekarang posisinya 17,4 juta orang pekerja di sektor ekonomi kreatif. Lalu ekspor-nya sekarang sudah USD 1,5 miliar. Dan pertumbuhan dari tahun sebelumnya, itu diatas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.
Jadi sangat menjanjikan dan kami proyeksikan memang tahun 2018 dan 2019 itu growth-nya akan konsisten. Jadi akan semakin signifikan-lah kontribusi ekonomi kreatif terhadap perekonomian nasional kita.