Connect with us

Cinta Terpaut Waktu

Oleh Lian Lubis

 

Bergegas, setengah berlari aku menuruni anak tangga Gunung Padang1. Berlomba dengan matahari yang  turun di Barat cakrawala. Sesekali aku menoleh ke belakang, gelap mengejarku.  Beberapa depa ke depan, sekitar sepuluh puluh anak tangga lagi, aku akan sampai di anak  tangga terakhir.

Ketika ku jejakkan kaki di anak tangga terkahir, gelap pun sempurna menyergapku. Bulan yang mengambang di atas sana seketika menyala. Ku arahkan lanngkah ke mata air suci di kaki gunung ini. Seekor katak yang berenang di kolam kecil air suci beradu pandang denganku. Kelopak matanya tak berkedip. Ku urungkan niat membasuh muka dan mengambil air sembahyang. Ku percepat langkah meninggalkan gunung ini.

Purnama mengikuti langkahku. Menerangi samar-samar jalan setapak yang berkelok. Sesekali masih kucuri pandang ke belakang; ke gunung itu. Shillouette-nya tegak bediri berwarna abu-abu menjulang berselimut halimun tipis; awan tipis yang serupa kembang gula harum manis.  Lengkingan suara burung malam dari  ketinggian puncaknya terdengar pilu, seperti memanggil ibu yang pergi jauh.

***

 “Dia menunggu mu”.

Aku hanya mendengar suara. Di dalam ruang dengar telingaku suara itu seperti berbisik. Bergema. Udara mewangi melati.

“Sejak petang tadi dia gelisah menunggumu. Tamu yang datang silih berganti menyalami, tidak menenangkannya. Katanya, dia tidak akan beranjak dari pelaminan jika kamu tidak datang ke pernikahannya. Dia juga tidak akan memasuki kamar pengantinnya jika kamu benar-benar tidak datang”.

Angin seketika mati. Wangi melati mengepungku. Menyesakkan dada. Purnama merah bercadar awan tipis turun perlahan ke balik bukit. Di sana samar terdengar gamelan degung mengalun mengiringi sinden melantunkan kawih pengantin.

***

Nyai Sadea2 perlahan melangkah sambil menjinjing selop kayunya; tak mungkin dikenakan di atas kerikil dan batang-batang kayu jati yang menyangga rel kereta api agar tetap kokoh beriringan. Kain kebaya yang masih membalut pinggul hingga betisnya membuat langkah Nyai Sadea seperti masih menari. Purnama menerangi rel kereta api yang ditapakinya.

Sejak terowongan3 selesai dibuat, Nyai Sadea selalu melintasinya bila malam pulang meronggeng. Dia selalu punya alasan untuk melewati trowongan itu meskipun tempatnya yang meronggeng tidak melwati trowongan kereta api itu.. Seperti kelinci yang bersembunyi di lubang, bagi ronggeng belia ini trowongan adalah tempatnya bersembunyi; tempat dia lari dari kegelisahan yang kadang tak dipahaminya.

Malam ini, mandor kompeni  yang menanggapnya untuk meronggeng. Bagi warga desa, mandor seperti dewa yang yang sangat dihormati dan ditakuti. Khabar yang terdengar, mandor akan ke Batavia. Ada pekerjaan baru menantinya di sana. Jadi, sebelum ke Batavia dia ingin berpesta dengan penduduk di desa dan meminta nyai meronggeng untuknya.

“Mang, nafas mandor bau cerutu busuk dan keringatnya bau keju tengik. Saya tadi hampir muntah”.

Mang Ujang yang selalu menemaninya pulang setiap kali selesai meronggeng, tidak segera menimpali.

“Mang, mandor tadi kayak kemasukan setan”.

Mang Ujang masih belum menyahut. Waktu nyai meronggeng, penonton yang juga penduduk desa, pejabat-pejabat kompeni dan para menak pribumi yang ikut berpesta, semuanya riuh rendah tertawa dan menyemangati mandor yang seperti  kerasukan; hingga  menjelang dini hari mandor terus menari  mengikuti gerakan pinggul nyai. Sesekali tangan mandor terlihat ditepiskan nyai dengan halus dalam gerakan ronggeng, agar tidak sampai meremas payudara atau bokongnya. Sangat jelas di mata Mang Ujang, mandor kompeni itu ingin menerkam nyai.

“Mang, masih adakah lelaki baik yang akan menikahiku nanti?”

Mang Ujang masih diam seperti purnama yang menggantung. Dia hanya mengikuti langkah kecil Nyai Sadea yang perlahan menapaki kerikil rel. Sesekali nyai berhenti mengencangkan balutan kainnya. Obor sabut kelapa di tangan Mang Ujang sebentar lagi disulut; mereka akan melewati trowongan yang dibuat mandor kompeni tadi. Hampir sepanjang 700 meter mereka harus menerobos kegelapan trowongan. Hatinya gelisah dan gundah.

Bukan sekali ini saja nyai bertanya. Hampir setiap malam saat mengantar nyai pulang, nyai selalu bertanya seperti itu padanya. Bagi Mang Ujang, nyai adalah ratu alit tempatnya mengabdi; usia mereka terpaut hampir 16 tahun.

Siang hari, Mang Ujang selalu menemani nyai yang masih suka bermain dan berlarian di dalam terowongan kereta api.  Menampung air yang merembes dan menetes deras dari dinding terowongan dengan daun pisang yang dibentuknya seperti cawan. Sesekali air dari cawan daun itu dibasuhkan ke wajahnya, kemudian nyai tertawa sambil berteriak kecil: dingin. Pipinya merah merona sehabis dia membasuh muka. Ujung-ujung rambutnya yang ikal panjang terurai ikut basah.

Pada malam-malam bila tidak meronggeng, kawih dan pupuh dilantunkan nyai hingga menjelang fajar. Diiringi  kecapi suling dengan pemain yang terkantuk-kantuk. Bulan pun meredupkan cahayanyanya bila Nyai Sadea menatapnya.

Mang Ujang terluka dan meradang setiap kali melihat Nyai Sadea meronggeng. Dalam kegelapan terowongan, wajah mandor yang seperti kerasukan tadi tergambar terang benderang di  mata Mang Ujang. Bukan mandor saja yang pernah dilihat Mang Ujang ingin menerkam nyai. Hampir semua lelaki di desa dan para menak pribumi ingin menerkan nyai. Kepala Mang  Ujang pun  berputar seperti gasing. Dadanya membara seperti tungku pandai besi. Bayangan  tubuh Nyai Sadea dari obor di tangan Mang Ujang meliuk-liuk dan menari di dinding terowongan.

Fajar belum lagi merekah, penduduk Desa Cibokor semuanya sudah terbangun. Setiap keluarga di desa itu, para ibu dan anak-anak berkumpul di tengah rumah. Ibu yang mempunyai bayi, menggendong dan mendekap bayinya erat-erat. Para lelaki dewasa berkumpul,  berkelompok-kelompok  memegang erat-erat parang panjang atau bambu runcing. Wajah-wajah  mereka tegang seperti benang gelasan yang baru kering. Khabar yang sampai ke desa, mandor dibunuh dan dipenggal kepalanya saat akan pulang ke rumah. Kepala mandor tidak ditemukan. Ayam jago pun sepertinya pun akan bersembunyi di kandang dan tidak akan membangunkan matahari di pagi ini.

Hingga menjelang siang, tak satu pun warga Desa Cibokor yang turun ke sawah dan ladang.  Hampir seluruh warga berkumpul di halaman rumah orang tua Nyai Sadea. Ronggeng alit itu belum pulang ke rumahnya. Para lelaki masih menggenggam parang dan bambu runcing. Beberapa lelaki Desa Cibokor yang mencari Nyai Sadea menyusuri trowongan kereta api hanya menemukan selendang nyai dan sisa obor Mang Ujang tergeletak di pinggir rel. Di dalam trowongan mereka mencium wangi melati dan samar terdengar degung mengalun lembut dibawa angin yang entah dari mana.

***

Suara itu kembali berbisik di telingaku.

“Dia masih menunggu mu di pelaminan. Tak beranjak sedikit pun. Kau lihat, rembulan pun turun dari atas sana. Seperti ingin menghibur dia yang gelisah menunggumu”.

Semerbak wangi melati menjemputku hingga ke halaman. Alunan gamelan degung dalam ketukan yang sangat lambat menuntun langkahku ke arahnya.  Dia tersenyum menyambutku.

“Telah lama aku menunggumu. Entah sudah berapa kali  kuntum melati dironce; aku tak ingat lagi. Purnama pun sudah menghampiri berkali-kali, kamu belum datang juga. Aku hampir yakin kamu tidak akan pernah datang”.

Suaranya yang bening menghentikan semua suara. Berkuntum-kuntum melati yang dironce di rambutnya seketika mekar sempurna. Wanginya pun berhamburan menyengat, memenuhi seluruh ruangan hingga hampir menghilangkan oksigen. Tamu-tamu yang sejak tadi gaduh dengan diri mereka sendiri, terdiam. Hening.

“Mereka yang menyalamiku, sudah tak kukenali lagi saat ini. Mereka datang dari kampung-kampung yang semakin jauh. Kamu lihat perempuan yang duduk di sudut sana. Ketika pertama kali menyalamiku dia masih remaja; rambutnya yang ikal panjang masih berwarna kelam. Malam ini dia datang untuk ketujuh kalinya dan kali ini dia membawa salah seorang cucunya”.

Perempuan itu terseyum menganguk kepadaku. Bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiriku. Jari jemarinyanya yang dibalut kulit serupa jeruk purut menggenggam erat tanganku. Dingin. Tamu yang lainnya mulai bergerak mengikuti, menyalamiku silih berganti sambil menunduk hormat. Gamelan degung masih mengalun mengiringi sinden melantunkan kawih tentang cinta yang terpaut waktu.

”Telah sangat lama aku menunggumu. Aku hampir yakin kamu tidak akan pernah datang.”

Dia berbisik dan sangat erat memelukku. Diakah yang tatapannya meredupkan rembulan?

Rembulan menggantung di atas kelambu.

Cahanya merah jingga menerangi kamar pengantin yang bertirai anyaman melati.

Bersisian dengan kepala yang terpenggal.

Kukatupkan repat-rapat kedua kelopak mataku.

Gamelan degung masih mengalun mengiringi sinden melantunkan kawih tentang cinta yang terpenggal waktu.

Nafasnya yang mewangi melati memenuhi rongga dadaku.

 

Gunung Padang, February 2015.

Catatan:

(1) Situs prasejarah peninggalan kebudayaan Megalitikum di Jawa Barat; kompleks punden berundak terbesar di Asia Tenggara. Terletak di perbatasan Dusun Gunung Padang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur; kira-kira 20 kilometer dari persimpangan kota kecamatan WarungKondang, antara Kota Kabupaten Cianjur dan Sukabumi. Luas kompleks “bangunan” kurang lebih 900 m², pada ketinggian 885 m dpl.

(2) Ronggeng terkenal dari Desa Cibokor, Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur Jabar; kisah tentang dirinya berkembang menjadi cerita mistis dan mitos yang dikaitkan dengan keberadaan Trowongan Lampegan. Nyai Sadea diceritakan hilang pada saat melintasi trowongan lampegan setelah pulang meronggeng dan dipercaya masyarakat  setempat Nyai Sadea telah diperistri mahluk halus.

(3) Trowongan kereta api pertama di Jawa Barat, diberi nama Lampegan. Banyak spekulasi berkaitan dengan nama Lampegan. Dibangun antara tahun 1879-1882 oleh perusahaan Kolonial Hindia Belanda SS (Staats Spoorwegen). Panjang trowongan sekitar 686 meter, berada di lintasan kereta api Bandung-Cianjur/Sukabumi tepatnya di Desa Cibokor Kecamatan Cibeber, Cianjur.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Reuni Alumni 212 Jelas Kapitalisasi Agama demi Kepentingan Politik

Oleh

Fakta News
Reuni Alumni 212

Jakarta – Reuni Alumni 212 yang bakal digelar awal Desember di Lapangan Monas Jakarta dianggap bentuk kapitalisasi agama demi kepentingan politik. Reuni tersebut seharusnya tidak diadakan lantaran tuntutan aksi 212 sudah diakomodasi.

Hal tersebut diungkapkan pengamat politik Lingkar Madani. Ia menilai kegiatan alumni 212 ini bukan murni kegiatan agama, melainkan kegiatan politik. Ia juga keheranan mengapa harus ada acara tersebut. Pasalnya, tuntutan aksi 212 sudah dipenuhi dengan Basuki Tjahaja Purnama dipenjara.

“Itu sudah jelas politik, enggak ada hubungannya lagi dengan agama, enggak ada hubungannya dengan dakwah, apa yang mereka tuntut sudah dipenjara kok. Apalagi gunanya, itu politik murni politik, murni untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah. Saya pikir mereka hanya mau mengapitalisasi agama ini. Mengapitalisasi agama terus-menerus untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah,” kata Ray kepada wartawan di D’Hotel, Jalan Sultan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (21/11).

Ray pun mengaku masih belum paham apa sebenarnya tujuan acara reuni alumni 212. Ia membandingkan dengan demonstrasi 1998 untuk menggulingkan rezim Soeharto dan Orde Baru. Usai berhasil menggulingkan, tak ada perkumpulan alumni maupun acara reuninya.

“Yang saya juga enggak mengerti tujuannya apa? Masak demonstrasi pakai alumni, alumni pakai reuni. Ada-ada saja. Yang besar sekali pun perjuangan 98 itu ya berhenti di 98. Waktu jatuh ya jatuh. Bahwa anggotanya membentuk kelompok-kelompok tertentu ya silakan saja. Enggak ada reuni 98 yang jatuhin soeharto, enggak ada,” imbuhnya.

Baca Juga:

Baca Selengkapnya

BERITA

Kubu Jokowi Anggap Amien Rais Tidak Dewasa dalam Berpolitik

Oleh

Fakta News
Bersikap toleran
Amien Rais.(Istimewa)
asasasasa

Jakarta – Kubu Joko Widodo-Maruf Amin menilai, pernyataan Amien Rais yang memaksa Muhammadiyah untuk memihak salah satu calon di pemilihan presiden menunjukkan sikap Amien Rais yang tidak dewasa dalam berpolitik.

Hal tersebut diungkapkan Juru Bicara Tim Kampanye Jokowi-Maruf Amin Ace Hasan Syadzily. Selain menunjukkan Amin Rais tidak dewasa, pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa sosok Amien Rais bukan negarawan tulen.

“Hanya karena beliau pendukung Prabowo-Sandi mau mendikte Muhamamdiyah mendukung paslon tertentu. Itu menunjukkan ketidakdewasaan politik sebagai politisi yang dikenal selalu menjaga demokrasi,” jelas Ace, seperti dikutip dari Merdeka.com, Rabu (21/11).

Justru, dengan paksaan dan desakan tersebut, suara Muhammadiyah malah enggan memilih Prabowo-Sandi. “Kalau terus menerus seperti itu, saya tidak yakin Prabowo mendapatkan dukungan dari Muhammadiyah,” tegasnya.

Sikap tersebut sama sekali tidak mencerminkan sosok negarawan. Politikus Partai Golkar ini menambahkan, sebagai negarawan, seharusnya Amien Rais menjaga agar ormas, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, tidak diseret ke ranah politik praktis.

“Sebetulnya secara organisasi Muhammadiyah dan NU tidak menunjukkan dukungan secara tegas, itu perlu terus dijaga bahwa citra ormas Islam tidak terseret ke dalam politik praktis hanya untuk kekuasaan semata,” tegasnya lagi.

Baca Juga:

Baca Selengkapnya

BERITA

Penggunaan Teknologi VAR di Liga Champions Dipercepat?

Oleh

Fakta News
var
Ilustrasi.(Foto: Istimewa)

Jakarta – Setelah sukses digunakan dalam beberapa turnamen FIFA, ternyata kehadiran teknologi Video Assistant Refree (VAR) disambut baik oleh sejumlah klub Eropa.

Video Asisten Wasit (VAR) kemungkinan besar akan segera diterapkan di ajang Liga Champions, tepatnya ketika memasuki babak knock out alias fase gugur di musim ini. Wacana tersebut langsung berasal dari Presiden UEFA Aleksander Ceferin dan Ketua Asosiasi Klub Eropa Andrea Agnelli.

Dilansir dari Soccerway, Selasa (20/11), sebelumnya VAR sendiri akan diberlakukan di Liga Champions mulai musim depan, namun belakangan wacana tersebut akan dipercepat dalam rangka untuk proses pengujian teknologi tersebut.

“Kami sudah mulai melakukan semua persiapan. [Kepala wasit UEFA] Roberto Rosetti dan timnya sangat bagus. Ada sudut pandang penting – wasit dan semua aspek teknis,” kata Ceferin dalam konferensi pers di Brussels.

“Saya mengharapkan laporan dalam seminggu atau lebih dan kemudian kita akan melihat kapan kita dapat menerapkannya. Pada musim depan yang terbaru,” sambungnya.

Senada dengan Ceferin, Agnelli yang notabene merupakan pemilik Juventus siap mendukung wacana UEFA untuk mempercepat penerapan VAR di ajang Liga Champions.

Baca Juga:

Baca Selengkapnya