Bersama Masyarakat Adat Nusantara Meraih Magsaysay Award
Berkat perjuangan dan pengabdiannya menggeluti dan membela hak-hak masyarakat adat, Abdon Nababan, meraih penghargaan bergengsi, Magsaysay Award 2017. Kabar menggembirakan itu, diterima Abdon dari Ramon Magsaysay Award Foundation di Manila, akhir Juli lalu.
“Dalam surat pemberitahuan dari Ramon Magsaysay Award Foundation di Manila, saya disebutkan terpilih sebagai penerima Ramon Magsaysay Award 2017, untuk kategori Community Leadership,” ungkapnya, Selasa (25/7/2017).
Aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon mengaku, informasi itu diperoleh dirinya secara mendadak. Dia tak menyangka akan mendapat pengharagaan dari lembaga bergengsi, yang memiliki visi dan misi dalam penyebarluasan keteladanan integritasnya, dalam menjalankan pemerintahan, kegigihan dalam memberikan pelayanan umum, serta idealisme praktis dalam suatu lingkungan masyarakat yang demokratis itu.
“Seremoni penerimaan award-nya akan digelar pada 31 Agustus 2017, di Manila, Filipna,” ujar Abdon. Sebelumnya, dari Indonesia, tercatat dua tokoh besar memperoleh award ini, yakni Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, saat menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) pada 1993 dan Syafi’i Maarif saat menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah) pada 2008 lalu.
Terlepas dari penghargaan yang patut disyukurinya, Abdon yang dikenal dengan konsisten membela hak masyarakat adat Nusantara itu, memang sangat pantas meraih penghargaan tersebut. Dia bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) selama 20 tahun berjuang untuk mengembalikan tanah ulayat masyarakat agar kembali kepada masyarakat itu sendiri.
Perjalanannya berjuang bersama AMAN, dilakukannya sejak organisasi masyarakat adat terbesar itu berusia 4 tahun. Ia saat itu sudah menjadi sekretaris jenderal (Sekjen), memimpin dan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat selama 12 tahun dari 16 tahun berdirinya AMAN.
Siapa Abdon ?
Pria berperawakan sedanag itu, kelahiran Tano Batak, 2 april 1964, tumbuh besar dalam lingkungan masyarakat adat Batak, Sumatera Utara. Jalan panjangnya memperjuangkan hak masyarakat adat, dimulai dengan keterlibatannya dalam gerakan aktivisme lingkungan pada masa kuliah. Idealisme yang kuat sebagai aktivis mahasiswa yang tumbuh dalam rezim Orde Baru membuat Abdon muda kala itu memilih untuk melanjutkan menjadi aktivis lingkungan selepas kuliahnya.
“Pada masa itu, masa jaya Soeharto. Sebagai aktivis mahasiswa, mencari pekerjaan itu seperti menyerah pada rezim,” ujar mantan anggota pecinta alam Lawalata IPB ini.
Tak hanya berkegiatan di Lawalata IPB, Abdon juga saat kuliah sempat bergabung dengan Yayasan Mojopahit di Mojokerto yang mengurusi tuna wisma, tuna karya dan tuna susila. Selulus kuliah dari Fakultas Peternakan IPB, ia kembali bergelut dalam gerakan lingkungan dengan menjadi koordinator program hutan di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
Ketika di Walhi itu, dirinya banyak bergerak mengurusi masalah hutan, khususnya yang berkaitan dengan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) oleh pemerintah yang mengakibatkan banyak kerusakaan hutan. Dengan tanggung jawab itu, ia banyak berkeliling dari hutan ke hutan. Saat itulah dirinya mulai bersentuhan dengan masyarakat yang tinggal mendiami hutan dan masalah yang mereka hadapi.
“Saat saya fokus ke HPH, saya menyadari bahwa HPH bukan tempat yang kosong tapi ada masyarakat yang saat itu belum ada diistilahkan (disebut) masyarakat adat,” terangnya.
Selama bergelut di lapangan itulah, Abdon berpikir bahwa masalahnya bukan hanya soal hutan dan lingkungan, namun juga soal manusia. Seiring berjalannya waktu, Abdon menemukan kenyataan bahwa isu dalam gerakan lingkungan hidup sangat terkait dengan manusia dan budaya.
Atas pertimbangan itulah, Abdon kemudian memilih keluar dari Walhi pada medio 1993. Pada tahun itu pula, bersama beberapa kawannya, mendirikan Yayasan Sejati yang fokusnya bukan hanya melihat berbagai kasus hutan di Indonesia sebagai masalah lingkungan, namun juga masalah budaya. Dalam perjalanannya bersama Yayasan Sejati, Abdon semakin banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh adat yang ditingkat lokal sudah melakukan perlawan terhadap HPH dan tambang.
“Jauh sebelum saya bertemu mereka, sebenarnya mereka sudah berjuang, sudah demo. Masyarakat adat itu merasa terjajah oleh hadirnya izin-izin di wilayah adat mereka,” kata Abdon.
Izin-izin resmi yang dikeluarkan pemerintah tersebut, menurut Abdon, membuat masyarakat adat selalu dalam pihak yang lemah. Mereka jadi sulit membawa kasusnya ke meja pengadilan. Kalau melakukan blokade atau menutup basecamp, mereka yang ditangkapi tentara.
Tekad Abdon semakin bulat untuk mengurusi masyarakat adat, adalah ketika ternyata kampung halamannya di tano Batak juga terjadi konflik akibat tanah adat yang dijadikan lahan konsesi ke perusahaan PT Inti Indorayon Utama oleh Departemen Kehutanan.
Awalnya, menurut Abdon, ia tidak merasa menjadi bagian masyarakat adat, saya merasa sebagai aktivis LSM, peneliti yang membantu masyarakat adat. “Tapi ketika nasib yang sama saya alami, saya punya kesadaran kenapa saya harus menempati posisi aktivis kalau ternyata saya menjadi korban? Saat itu saya semakin serius mengurusi masyarakat adat, karena ini bukan gerakan mengurusi orang lain, namun gerakan yang menyangkut nasib saya, nasib kampung saya, nasib saudara-saudara saya,” jelas pria yang fasih berbahasa Batak ini.
Berjuang Bersama Masyarakat Adat
Pada masa itu gerakan lingkungan hanya dimotori oleh segelintir kaum inlektual mantan aktivis mahasiswa yang tidak mau kerja ke pemerintah yang akhirnya membentuk LSM. Mereka yang sedikit itu, tidak memiliki basis konstituensi yang bisa digerakan untuk melawan pengusakan lingkungan. Ini juga, menurut Abdon, untuk membantu gerakan lingkungan agar gerakan lingkungan tidak dianggap sebagai gerakan kegenitan intelektual tapi gerakan yang punya konstituen dilapangan.
Masalah berikutnya adalah belum adanya istilah penyebutan untuk masyarakat yang ada di dalam atau sekitar hutan itu sejak lama dan telah memiliki adat istiadat sendiri. Istilah masyarakat adat baru benar-benar disepakati pada tahun 1993, pada pertemuan Jaringan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) di Tana Toraja.
“Wacananya (penamaan masyarakat adat) sudah lama ada, namun kesepakatannya baru saat itu. Jadi sudah jangan pakai lagi kata lain, misalnya masyarakat hukum adat. Kalau istilah itu,seolah-olah hanya masalah urusan hukum, padahal ada budaya, ekonomi dan lainnya. Dan agar juga tidak dijajah sarjana hukum saja, jadi antropolog bisa masuk, sosiolog, ahli politik bisa, cakupannya lebih luas dan lebih holistik,” terang inisiator Forest Watch Indonesia ini.
Abdon melanjutkan, berbicara masyarakat adat sebenarnya terkait empat hal. Pertama, bahwa sebuah kelompok masyarakat bisa disebut masyarakat adat jika memiliki identitas adat; kedua, wilayah adat; ketiga, memang masih hidup dengan sistem pengetahuan dan spiritual; dan keempat, adanya pranata adat yang mencakup aturan adat dan susunan lembaga adat.
Dalam pertemuan JAPHAMA yang berlangsung di Tana Toraja 1993, disepakati permintaan tokoh adat yang hadir agar LSM menjadi fasilitator diadakannya Kongres tingkat nasional. Sempat diupayakan berkali-kali, namun selalu gagal saat rezim Orde Baru masih bekuasa. Baru setelah kejatuhan Orba, Kongres berhasil digelar pada tahun Maret 1999.
Kongres inilah yang menjadi tanda berdirinya Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN). Abdon yang saat kongres menjabat sebagai wakil ketua panitia dan merupakan masyarakat adat dari tano Batak kemudian dipercaya menjadi Sekretaris Pelaksana (Sekpel) menggantikan sekertaris pelaksana yang terpilih saat kongres yang ternyata bukan berasal dari masyarakat adat.
Memimpin AMAN sebagai Sekpel dalam rentang 1999-2013, kepemimpinan Abdon sempat digantikan pada empat tahun periode berikutnya. Namun karena merosotnya kualitas organisasi saat itu, dirinya kembali diminta maju memimpin AMAN pada 2007. Posisinya saat itu bukan lagi Sekpel, namun menjadi Sekretaris Jendral (Sekjen)sesuai perubahan struktur oganisasi yang dilakukan AMAN.
Kapabilitas Abdon yang baik selama memimpin AMAN membuat dirinya begitu dipercaya kalangan masyarakat adat, sehingga pada periode berikutnya Abdon kembali dipercaya mengemban jabatan Sekjen hingga Maret 2017. Saat ini, Abdon memang telah menyerahkan suksesi kepemimpinan AMAN kepada Ruka Simbolinggi, namun dirinya masih dipercaya menjabat sebagai Perwakilan Dewan Adat Nasional region Sumatera sekaligus Wakil Ketua Dewan Adat nasional AMAN.
Sekalipun tidak lagi menjabat sebagai Sekjen, Abdon mengaku masih ada saja masyarakat adat yang menelponnya untuk melaporkan adanya kejadian di tempat mereka. “Saya selalu mengangkat telepon dari mereka (masyarakat adat), tengah malam sekalipun karena saya membayangkan mereka tengah malam turun dari gunung hanya untuk menelpon saya. Tidak mungkin saya tidak mengangkat telpon. Paling setelahnya saya bilang ‘habis lapor ke saya, lapor ke Sekjen (yang sekarang menjabat) juga ya’,” kata bapak dua anak ini.
Masa-masa menjadi Sekjen AMAN diakui Abdon memang menjadi masa hidupnya yang paling produktif. Saat ini, sekalipun masih terlibat dalam beberapa organisasi baik nasional maupun internasional, dirinya bisa sedikit melakukan hobi yang selama ini sulit tersalurkan.
“Kalau mengikuti hobi, saya ingin jalan-jalan lagi. Sebagai Sekjen AMAN memang jalan namun kan naik pesawat. Saya enggak pernah lagi motret dan buat catatan riset. Sebagai sekjen kan waktunya sebentar,belum sempat bencengkrama harus sudah pulang,” kata penerima penghargaan Elinor Ostrom 2015 ini.
Berupaya Membuat Bangga Orang Tua
Lahir dan besar dalam lingkungan masyarakat adat, Abdon sempat mengalami kesulitan dimasa-masa awal dirinya memutuskan berkarier pada gerakan masyarakat melalui Lembaga Sosial Masyarakat (LSM). Kesulitan itu muncul bukan kerena penolakan keluarga akan pilihannya, namun lebih kepada ketidak tahuan mereka akan apa yang sebenarnya dikerjakan oleh Abdon.
“Bapak saya guru, ibu saya petani, saya dari lingkungan masyarakat adat yang kalau disebut keluar dari kampung , yang dinamakan pekerjaan itu jadi PNS mengabdi pada negara atau menjadi karyawan swasta, sementara saya keduanya tidak,” terang Abdon.
Ketidak tahuan keluarga mengenai LSM yang pada masa Orde Baru, membuat Abdon harus terus menjelaskannya khususnya kepada kedua orang tuanya. Jelas ini bukan hal yang mudah karena bukan semata menerangkan pekerjaan, namun juga menjawab jumlah gaji, siapa yang membayar, dan pekerjaannya seperti apa.
Namun satu hal yang disadarinya bahwa bagaimanapun orang tuanya memiliki keinginan untuk bisa merasakan kebanggaan kepada anak yang dibesarkan, Abdon pun mencari cara bagaimana membuat orang tuanya bisa bangga meski tidak tahu persis apa yang dia kerjakan.
Nilai lebih pekerjaannya saat itu yang bergerak pada bidang lingkungan yang isunya global, membuat Abdon cukup sering bepindah kota bahkan negara. Dari situ dirinya memiliki inisiatif untuk mengirimkan kartu pos dari setiap tempat yang ia kunjungi kepada Bapaknya di kampung.
“Saya menghibur Bapak dengan mengirim kartu pos dari setiap kota yang saya datangi, sehingga ketika Bapak saya menerima, dia bisa dengan bangga bercerita bahwa anaknya sedang di Amerika, sedang disini disana. Jadi sebenanya yang saya berikan bukan penjelasan tapi memberikan bahwa saya ini melakukan tugas diberbagai tempat,” kenang Abdon yang sampai sekarang masih aktif diberbagai organisasi nasional mapun internasional.
Seiring tumbangnya rezim orde baru dan LSM menjadi entitas yang baru, perlahan kedua orang tuannya mulai menyadari juga apa yang dikerjakannya adalah pekerjaan yang penting.
“Perlahan bahwa ternyata organisasi yang dibangun anak saya selama ini melawan pemerintah yang menindas, bermanfaat buat bangsa. Jadi ada kebangaan buat orang tua saya,” pungkasnya.
M Riz
Referensi : greeners.co dan rmol.co
BERITA
Tinggalkan Microsoft Demi Membangun Kampung Halaman
Sebenarnya, mimpi Muhammad Choirul Amri sudah tercapai ketika bekerja di Microsoft pada 2013 lalu. Tapi ia malah memutuskan keluar dari perusahaan itu untuk membangun kampung halamannya, Desa Kuniran, Ngawi, Jawa Timur.
Ya, hal ini spontan saja mengundang tanya dari banyak orang? Apa yang dipikirkan dia? Apalagi Microsoft adalah perusahaan global ternama.
Mengapa dirinya lebih memilih berjuang membuat kampungnya itu menjadi desa wisata?
Choirul tak sedang bercanda. Saking seriusnya, ia berencana untuk mengintegrasikan Embung Kuniran, Cagar Budaya Lumbung Padi, sanggar karawitan setempat, dan peternakan kambing.
Baca Juga:
- Pemuda Disabilitas Pendengaran yang Diminta Jokowi Jadi Staf Khusus Presiden
- Pembalap Jogja Hasil Didikan Valentino Rossi
- Penggerak Literasi dengan Aplikasi dan Taman Baca di Malang
Area-area tersebut dapat menjadi tujuan wisatawan lokal dan mancanegara untuk merasakan kehidupan asli desa Indonesia atau hanya sekadar berswafoto.
Kata dia, persoalan di kampungnya itu sebenarnya sederhana. Ia pun mengaku menemukan hal itu saat dirinya membantu budidaya lele.
Menurutnya, warga desa memiliki kemampuan untuk mengembangkan desa. Tetapi mereka tidak memiliki pendamping dan pengawas yang dapat memberikan masukan atas apa yang harus dilakukan.
Hingga akhirnya pada Oktober 2017, ia bersama warga membentuk kelompok sadar wisata (pokdarwis). Kelompok itu berkomitmen untuk memperbaharui tampilan Desa Kuniran.
Nah, salah satunya dengan membuat menara untuk swafoto di Embung Kuniran, salah satu aset utama desa tersebut.
Choirul Amri kaget. Warga ternyata antusias dan mampu mengumpulkan dana sendiri. Mereka juga membangun menara itu dengan keterampilan sendiri.
Choirul pun akhirnya resmi mendirikan Rumah Inspirasi Nusantara pada Januari 2018. Rumah tersebut merupakan wadah kegiatan pemberdayaan masyarakat dan desa yang dilakukan di Ngawi.
BERITA
Penggerak Literasi dengan Aplikasi dan Taman Baca di Malang
Foto itu mungkin terpasang di salah satu dinding rumahnya. Foto saat dirinya diundang Presiden Joko Widodo untuk makan siang di Istana Negara. Momen itu pun jadi yang tak terlupakan bagi Santoso Mahargono, si pelopor GO READ.
Ya, kegigihannya dalam menggerakkan literasi membuahkan hasil. Pendiri sekaligus Ketua Forum Komunikasi Taman Baca Masyarakat Malang Raya ini mendapat apresiasi tinggi dari Presiden Jokowi.
Bahkan Santoso berkesempatan mengikuti sidang tahunan MPR dan DPR serta upacara bendera 17 Agustus di Istana Negara.
Baca Juga:
- Menyulap Pantai Serang Jadi Ladang Penghasilan Warga
- Pembalap Jogja Hasil Didikan Valentino Rossi
- Menyampaikan Suara Penyandang Difabel lewat Jalur Humor
Adapun soal undangan makan di Istana ia dapatkan setelah mengikuti pemilihan pustakawan berprestasi tingkat nasional. Saat itu, juara 1, 2 dan 3 diundang Presiden untuk makan siang bersama teladan-teladan lainnya, termasuk Paskibra dan Paduan Suara Gita Bahana.
Dalam gelatan yang digelar pada 9-19 Agustus di Jakarta, Santoso Mahargono mendapatkan juara II mewakili Provinsi Jawa Timur. Programnya membawanya terpilih mewakili Provinsi dengan menyisihkan 18 peserta lainnya.
Adapun program yang ia gagas adalah GO READ, layanan penyedia buku bagi masyarakat, utamanya yang berada di daerah pelosok Malang Raya. Kegigihannya di bidang literasi dihargai tinggi.
Sebelumnya, Santoso sendiri sudah mendapatkan penghargaan hingga diundang Mantan Gubernur Soekarwo yang dulu masih menjabat di Jatim.
BERITA
Pembalap Jogja Hasil Didikan Valentino Rossi
Pecinta balap motor boleh saja mengidolakan pembalap internasional macam Valentino Rossi. Namun Indonesia sebenarnya juga punya pembalap yang diidolakan. Dia adalah Galang Hendra Pratama.
Pebalap muda asal Yogyakarta ini digadang-gadang bisa mengharumkan Indonesia. Jalannya disebut-sebut tengah menuju ke sana.
Tanda-tandanya pun perlahan terlihat. Galang menjadi pebalap pertama Indonesia yang juara dalam salah satu seri Kejuaraan Dunia Supersport 300 (300-600 cc).
Tepatnya di Kejuaraan Balap Motor Dunia Superbike, yakni di Sirkuit Jerez, Spanyol, tahun lalu. Ia juga menang di Sirkuit Automotodrom Brno, Ceko, Juni tahun ini.
Baca Juga:
- Menyampaikan Suara Penyandang Difabel lewat Jalur Humor
- Menyulap Pantai Serang Jadi Ladang Penghasilan Warga
- Pemuda Disabilitas Pendengaran yang Diminta Jokowi Jadi Staf Khusus Presiden
Apresiasi pun berdatangan. Termasuk Muhammad Abidin, General Manager Divisi Pascapenjualan dan Departemen Motorsport PT Yamaha Indonesia Motor MFG yang merupakan tim pendukung Galang di Superbike.
”Ini hasil luar biasa karena Galang bersaing dengan pebalap-pebalap terbaik dari negara yang memiliki sejarah balap motor yang kuat, seperti dari Eropa dan Amerika Serikat (AS),” katanya.
Perlu diketahui, Galang adalah pebalap Indonesia yang paling dekat dengan kejuaraan balap motor paling bergengsi di dunia, MotoGP.
Pasalnya, kini ia sedang berkiprah di Kejuaraan Dunia Supersport 300, kelas terendah dari empat kelas yang dipertandingkan Superbike.
Tiga kelas di atasnya ialah Kejuaraan Dunia Superbike, Supersport, dan Piala PIM Superstock 1000.
Kejuaraan Superbike tersebut memiliki popularitas yang hanya kalah dari MotoGP. Umumnya, pebalap yang sukses di Superbike akan beralih ke MotoGP.
Sebut saja seperti Colin Edwards (Amerika Serikat) dan Nicky Hayden (Amerika Serikat). Nah, Galang punya prestasi cukup gemilang di Superbike.