Apakah Benar Insiden “ Friendly Fire” di Tembagapura, Papua
Dalam operasi militer dimana saja hal yg paling di takuti tapi banyak terjadi adalah apa yang dikenal sebagai “Friendly Fire” yaitu tembakan oleh pasukan teman sendiri.
Saya dengan latar belakang militer yang panjang sangat memahami hal itu karena itu kejelasan situasi operasi harus benar benar di perhatikan dan di “update”.
Yang dihadapi setiap pasukan dalam situasi seperti di Tembagapura (diluar Mile 69 areal PT. Freeport Indonesia) sangat memungkinkan terjadinya hal ini semisal informasi intelejen yang tidak di share secara benar, baik karena masalah teknik komunikasi, up dating terlambat, atau yang lainnya.
Belum lagi masalah situasi medan (geografi) yang terkendala dengan alam baik kontur, cuaca, dan demografi maupun faktor yang lainnya, sehingga masalah identifikasi menjadi problem yang rumit.
Padahal kebijakan tembakan atau “weapon policy” harus didasarkan pada identifikasi positif, artinya yang akan di tembak jelas siapanya. Disini masalah muncul dan identifikasi positif yang paling tinggi adalah visual disamping komunikasi radio sebagai second identification (sebagai opsi kedua identifikasi).
Bagaimana kalau kabut? Atau sasaran berbaur dengan objek lain termasuk fihak netral atau masyarakat umum? Hal lain yang bisa di jadikan dasar adalah tindakan, aksi atau gerakan sasaran.
Kalau gerakannya disimpulkan sebagi “hostile act” (gerakan bermusuhan) maka tembakan bela diri bisa dilepaskan.
Tapi itupun tidak gampang manakala situasi yang kalut dan gambaran taktis yang kabur serta koordinasi gerak yang tidak jelas bisa menyebabkan kesalahan tembak.
Dapat kita lihat pada pengalaman-pengalaman beberapa negara yang mengakibatkan terjadinya “Friendly Fire” karena prosedur identifikasinya tidak sesuai dengan aturan pelibatan/ RoE yang telah ditetapkan:
Tahun 1994 – Operation Provide Comfort (OPC), para pilot dari pesawat tempur F-15 Angkatan Udara Amerika di bawah kendali pesawat dari USAF Airborne Warning and Control System (AWACS) salah mengidentifikasi dua pesawat helicopter Angkatan Darat Amerika (US Army) type UH-60 Black Hawk, dan dianggap pesawat helicopter Irak Mil Mi-24. Para pilot F-15 akhirnya menembak dan menghancurkan kedua helicopter tersebut, menewaskan seluruh awak dan penumpang sejumlah 26 orang, terdiri dari anggota militer dan sipil dari Amerika, Inggris, Perancis, Turki dan beberapa orang dari suku Kurdi.
Tahun 2009 – Perang Gaza (Gaza War), pada tanggal 1 Juni 2009 sebuah tank pasukan Israel menembak satu gedung yang dikuasai oleh pasukan Israel sendiri dan mengakibatkan 3 orang meninggal dan 20 orang terluka.Hal ini terjadi karena koordinasi melalui radio maupun identifikasi secara visual tidak digunakan secara optimal sesuai standard operasi yang ditentukan. Kembali lagi kita melihat bahwa insiden “Friendly Fire” ini sebagai akibat daripada tidak dipatuhinya “operational procedure” secara benar.
Tahun 2015 – Operation Impact, dimana sebuah tim Canadian Special Operation Regiment (Resimen Pasukan Khusus) dalm perjalanan menuju Observation Post (Pos Pengamatan), disalah identifikasi oleh pasukan yang membantu mereka yaitu Irak Kurdish yang akhirnya menewaskan sersan Andrew Joseph Doiron dan melukai 3 anggota lainnya. Kembali lagi masalah identifikasi yang kurang mendapat perhatian dalam operasi ini.
Tahun 2017 – Dalam Perang Sipil Syria, pada saat melawan pasukan ISIS di Utara Syria, dimana pesawat udara Amerika dilengkapi dengan koordinat yang salah mengakibatkan insiden penembakan udara terhadap pasukan demokratik Syria (Syria Democratic Forces/SDF) yang menelan korban 18 anggota SDF meninggal. Ini akibat koordinasi dan informasi yang tidak akurat.
Tahun 2017 – pada tanggal 31 Mei saat terjadinya Krisis Marawi di Philipina, dimana pesawat tempur ringan SIAI-Marchetti S.211 dalam pengeboman terhadap posisi teroris Maute yang membantu militant ISIS, salah membom pasukan Angkatan Darat Philipina yang berada dekat dengan posisi teroris tersebut. Akibatnya 11 anggota militernya sendiri tewas dan melukai 7 orang. Hal ini menunjukan identifikasi posisi teman dan koordinasi sangat lemah ataupun dapat dikatakan tidak ada.
Di medan tempur seperti apa yang telah diuraikan di atas, sering terjadi hal seperti ini yang mengakibatkan terjadinya “Friendly Fire” (penembakan oleh teman sendiri).
Manakala insiden Tembagapura terjadi diluar Mile 69 dan dinyatakan bahwa parameter-parameter operasi, yaitu koordinasi dalam perencanaan, berbagi informasi intelijen, aturan pelibatan yang jelas, joint planning (perencanaan terpadu) dan joint operation (operasi terpadu) serta Komando dan Pengendalian antara Polda dan Kodam XVII Cendrawasih pasti dilaksanakan dengan tajam dan baik maka diyakini bahwa semua itu dapat meminimalisir ataupun menghindari insiden “Friendly Fire”.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kejadian yang mengakibatkan kematian Brigadir Firman dan melukai Bripka Rumente, bukan akibat “Friendly Fire” tetapi oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sesuai penjelasan Pangdam XVII Cendrawasih Mayor Jenderal George E. Supit dan Kapolda Papua Irjen Pol Boy Rafli Amar. Hal ini penting untuk diluruskan, agar masyarakat awam tidak terjebak dalam berita-berita yang membingungkan.
Ambassador Freddy Numberi
Laksamana Madya TNI (purn).
BERITA
Reuni Alumni 212 Jelas Kapitalisasi Agama demi Kepentingan Politik
Jakarta – Reuni Alumni 212 yang bakal digelar awal Desember di Lapangan Monas Jakarta dianggap bentuk kapitalisasi agama demi kepentingan politik. Reuni tersebut seharusnya tidak diadakan lantaran tuntutan aksi 212 sudah diakomodasi.
Hal tersebut diungkapkan pengamat politik Lingkar Madani. Ia menilai kegiatan alumni 212 ini bukan murni kegiatan agama, melainkan kegiatan politik. Ia juga keheranan mengapa harus ada acara tersebut. Pasalnya, tuntutan aksi 212 sudah dipenuhi dengan Basuki Tjahaja Purnama dipenjara.
“Itu sudah jelas politik, enggak ada hubungannya lagi dengan agama, enggak ada hubungannya dengan dakwah, apa yang mereka tuntut sudah dipenjara kok. Apalagi gunanya, itu politik murni politik, murni untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah. Saya pikir mereka hanya mau mengapitalisasi agama ini. Mengapitalisasi agama terus-menerus untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah,” kata Ray kepada wartawan di D’Hotel, Jalan Sultan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (21/11).
Ray pun mengaku masih belum paham apa sebenarnya tujuan acara reuni alumni 212. Ia membandingkan dengan demonstrasi 1998 untuk menggulingkan rezim Soeharto dan Orde Baru. Usai berhasil menggulingkan, tak ada perkumpulan alumni maupun acara reuninya.
“Yang saya juga enggak mengerti tujuannya apa? Masak demonstrasi pakai alumni, alumni pakai reuni. Ada-ada saja. Yang besar sekali pun perjuangan 98 itu ya berhenti di 98. Waktu jatuh ya jatuh. Bahwa anggotanya membentuk kelompok-kelompok tertentu ya silakan saja. Enggak ada reuni 98 yang jatuhin soeharto, enggak ada,” imbuhnya.
Baca Juga:
BERITA
Kubu Jokowi Anggap Amien Rais Tidak Dewasa dalam Berpolitik
Jakarta – Kubu Joko Widodo-Maruf Amin menilai, pernyataan Amien Rais yang memaksa Muhammadiyah untuk memihak salah satu calon di pemilihan presiden menunjukkan sikap Amien Rais yang tidak dewasa dalam berpolitik.
Hal tersebut diungkapkan Juru Bicara Tim Kampanye Jokowi-Maruf Amin Ace Hasan Syadzily. Selain menunjukkan Amin Rais tidak dewasa, pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa sosok Amien Rais bukan negarawan tulen.
“Hanya karena beliau pendukung Prabowo-Sandi mau mendikte Muhamamdiyah mendukung paslon tertentu. Itu menunjukkan ketidakdewasaan politik sebagai politisi yang dikenal selalu menjaga demokrasi,” jelas Ace, seperti dikutip dari Merdeka.com, Rabu (21/11).
Justru, dengan paksaan dan desakan tersebut, suara Muhammadiyah malah enggan memilih Prabowo-Sandi. “Kalau terus menerus seperti itu, saya tidak yakin Prabowo mendapatkan dukungan dari Muhammadiyah,” tegasnya.
Sikap tersebut sama sekali tidak mencerminkan sosok negarawan. Politikus Partai Golkar ini menambahkan, sebagai negarawan, seharusnya Amien Rais menjaga agar ormas, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, tidak diseret ke ranah politik praktis.
“Sebetulnya secara organisasi Muhammadiyah dan NU tidak menunjukkan dukungan secara tegas, itu perlu terus dijaga bahwa citra ormas Islam tidak terseret ke dalam politik praktis hanya untuk kekuasaan semata,” tegasnya lagi.
Baca Juga:
BERITA
Penggunaan Teknologi VAR di Liga Champions Dipercepat?
Jakarta – Setelah sukses digunakan dalam beberapa turnamen FIFA, ternyata kehadiran teknologi Video Assistant Refree (VAR) disambut baik oleh sejumlah klub Eropa.
Video Asisten Wasit (VAR) kemungkinan besar akan segera diterapkan di ajang Liga Champions, tepatnya ketika memasuki babak knock out alias fase gugur di musim ini. Wacana tersebut langsung berasal dari Presiden UEFA Aleksander Ceferin dan Ketua Asosiasi Klub Eropa Andrea Agnelli.
Dilansir dari Soccerway, Selasa (20/11), sebelumnya VAR sendiri akan diberlakukan di Liga Champions mulai musim depan, namun belakangan wacana tersebut akan dipercepat dalam rangka untuk proses pengujian teknologi tersebut.
“Kami sudah mulai melakukan semua persiapan. [Kepala wasit UEFA] Roberto Rosetti dan timnya sangat bagus. Ada sudut pandang penting – wasit dan semua aspek teknis,” kata Ceferin dalam konferensi pers di Brussels.
“Saya mengharapkan laporan dalam seminggu atau lebih dan kemudian kita akan melihat kapan kita dapat menerapkannya. Pada musim depan yang terbaru,” sambungnya.
Senada dengan Ceferin, Agnelli yang notabene merupakan pemilik Juventus siap mendukung wacana UEFA untuk mempercepat penerapan VAR di ajang Liga Champions.
Baca Juga: