Batu Selendang Dayang Sumbi – Tahura Djuanda
Oleh Lian Lubis, Kepala Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda
Dikisahkan dalam sebuah legenda Sangkuriang, Dayang Sumbi yang sedang menebar helai-helai kain “boeh rarang” seketika terperajat dan berlari menuruni bukit mendengar Sangkuriang yang dengan penuh amarah berkali-kali berteriak menyebut namanya. Sementara para guriang, mahluk halus anak buah Sangkuriang, telah lebih dahulu berlarian ketakutan bersembunyi memasuki tanah karena menyangka hari telah mulai pagi –Kain putih hasil tenunannya yang bercahaya karena pertolongan Sang Hyang disangka cahaya fajar oleh para guriang.
Kemarahan Sangkuriang yang menyadari dirinya telah diperdaya memuncak ketika melihat Dayang Sumbi berlari menjauhinya. Dihentakkan kakinya berkali-kali ke tanah hingga memuntahkan isi perut bumi. Lava mengalir dari mulut gunung hingga ke dasar-dasar lembah dan sungai. Angin pagi yang berputar-putar kencang menerbangkan selendang jingga yang membalut leher Dayang Sumbi yang terus berlari. Selendang terjatuh ke dasar lembah, tersapu lava dan tertimbun tebing-tebing runtuh.
Ditemukan Agus Nana
Selendang yang terjatuh itu saat ini masih “tertinggal” di Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda. “Ditemukan” oleh Agus Nana, seorang anak Desa Maribaya pada 19 Mei 1983 ketika sedang mencari cacing tanah untuk umpan pancingnya. Selendang itu terhampar di tepi Sungai Cikapundung, berdekatan dengan Curug Lalai membeku dalam batuan lava yang mengeras. Berada sekitar empat kilometer atau satu jam berjalan kaki ke arah Utara dari kantor Balai Pengelolaan Tahura Djuanda.
27 tahun kemudian ketika telah berusian 38 tahun pada Tahun 2010, Agus Nana baru melaporkan “Selendang Dayang Sumbi” yang ditemukannya kepada Balai Pengelolaan Tahura Djuanda. “Waktu itu barangkali saya masih kecil (11 tahun), sehingga tidak berani memberitahukannya pada siapa-siapa apalagi melaporkannya pada Kantor Balai Tahura Djuanda”, begitu alasan Agus kenapa dia menyimpan rahasia penemuannya begitu lama. “Pada saat melaporkan pada kami, Agus Nana mengatakan dia menemukan “batu tulis” dengan hurup yang besar-besar, tapi saya melihatnya lebih mirip motif kulit di punggung buaya”, kata Agus Sulikhman saat dikonfirmasi.
Atas jasanya melaporkan “temuan” tersebut, Pada Tahun 2011 Agus Nana diangkat sebagai Tenaga Kontrak Pengamanan Aset Tahura Djuanda. Sebutan batu tulis kemudian berubah menjadi batu batik, namun akhirnya lebih populer sebagai Batu Selendang Dayang Sumbi. Ganjar –Petugas Tahura Djuanda yang waktu itu bersama-sama Tenny Setiawati dan Agus Sulikhman menerima laporan dari Agus Nana dan kemudian melaporkannya “temuan Agus Nana” ke Balai Arkeologi Bandung– mengatakan, sebutan Batu Selendang Dayang Sumbi pertama kali dicetuskan oleh Edi Sutardi yang waktu itu menjabat sebagai Kasubag TU Balai Pengelolaan Tahura Djuanda.
Bentuk dan pola batuan lava yang terlihat menyerupai selendang tentu tidak ada hubungannya dengan Legenda Sangkuriang –Legenda rakyat Jawa Barat tentang kisah cinta tragis antara Sangkuriang dan Dayang Sumbi serta asal usul terjadinya Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Burangrang, Gunung Bukit Tunggul, dan Danau Bandung– Namun, polanya yang seperti kain berlipat-lipat dengan permukaan yang bertekstur sangat halus, membuatnya terlihat seperti karembong (bhs. Sunda) atau selendang (bhs. Indonesia). Terdapat sekitar lima motif dengan ukuran yang berbeda-beda dengan lipatan panjang berujung lancip dan yang lebih pendek dengan lipatan-lipatan yang lebih besar. Jika terkena sinar matahari, hamparan batuan lava itu pun akan bener-benar terlihat seperti hamparan selendang sutra yang berkilat-kilat.
Saat ini, luas hamparan Batu Selendang Dayang Sumbi yang tersingkap diperkirakan sekitar 10 meter persegi dan ada masih bagian dari batuan lava tersebut yang tertimbun –Tahun 1992, batuan kava ini sempat tertimbun oleh reruntuhan tanah di atasnya saat pembuatan jalan setapak oleh Perhutani yang menggunakan alat-alat berat ringan– Sementara itu di dasar Sungai Cikapundung, bedekatan dengan batuan lava di atasnya, terdapat hamparan batu lava sejenis yang hanya bisa terlihat saat Sungai Cikapundung surut. Luas hamparanya belum diketahui, namun memiliki pola yang sedikit berbeda. Di beberapa bagian terlihat pola seperti riak air yang melingkar-lingkar.
Lava Pahoehoe
Selain bentuk dan polanya, yang juga sangat menarik dari temuan hamparan batuan lava ini adalah karakteristik lava yang diperkirakan sama dengan lava pahoehoe yang terdapat di Kepulauan Hawaii dan Islandia. Fenomena geologi yang bisa dikatakan anomali. Seperti yang dikatakan Budi Brahmantyo geolog ITB (cekunganbandung.blogspot.co.id), Indonesia yang dikenal sebagai zona subduksi yang biasanya menghasilkan lava andesitis yang lebih kental dan hampir tidak mungkin menghasilkan lava encer yang bersifat basaltik yang merupakan karakteristik khas gunung api di Hawaii.
Fenomena anomali batuan lava tersebut akan semakin terlihat bila dibandingkan dengan batuan lava lainnya yang berada di lapisan dinding dan “langit-langit” atas tebing pada ketinggian sekitar 6-7 meter dari hamparan batuan lava selendang Dayang Sumbi. Batuan lava pada dinding dan langit-langit tebing ini memiliki permukaan yang tajam-tajam berbentuk seperti pecahan-pecahan batok kelapa yang merupakan morfologi umum batuan lava yang berada di Indonesia.
Dalam konteks sejarah geologi, para geolog yang tergabung dalam Ikatan Ahli Gologi Indonesia Jabar-Banten yang pernah melaksanakan geowisata ke lokasi ini pada Bukan Maret 2014 menduga batuan lava Selendang Dayang Sumbi ini berasal dari lava Gunung Tangkuban Parahu yang meletus sekitar 90 ribu hingga 50 ribu tahun yang lalu. Namun, sebenarnya belum bisa dipastikan apakah lava yang membatu tersebut berasal dari lava Gunung Tangkuban Parahu atau dari gunung yang lebih tua yaitu Gunung Sunda. Bentuknya yang menyerupai kain yang berlipat-lipat, menimbulkan dugaan batuan lava yang mengeras ini memiliki fenomena pembentukan yang serupa dengan Lava Paoehoe yang banyak ditemukan di Kepulauan Hawaii.
Di Kepulauan Hawaii, kata “pahoehoe” yang dilafalkan dengan “pahoyhoy” (yang berarti “tali”) adalah batuan lava yang berbentuk seperti kain yang berlipat-lipat dengan permukaan yang relatif halus dan mengkilat. Selain di Hawaii batuan lava seperti ini juga terdapat di Islandia dan terbilang fenomena langka di dunia. Bisa jadi batu karembong atau bat selendang Dayang Sumbi temuan batuan lava pahoehoe pertama dan satu-satunya di Indonesia; hingga saat ini belum ada laporan/publikasi temuan batuan lava seperti ini di daerah lain kecuali di Tahura Djuanda. Hal ini dibenarkan okeh T. Bachtiar, geologist yang juga pernah melakukan penelitian sederhana tentang batuan lava ini.
Cerita Batu Selendang Dayang Sumbi memang telah didistorsi dari cerita “legenda aslinya”. Namun, siapa yang bisa menjaga legenda? Mencegahnya agar cerita tidak bergeser dan berkembang kemana-mana. Keberadaannya yang hanya satu-satunya di Indonesia tentu akan menimbulkan banyak penafsiran dan cerita yang bisa dikaitkaan dengan apa saja termasuk legenda. Dan, ini merupakan salah satu misteri yang belum terungkap yang ada di Tahura Djuanda.***
BERITA
Reuni Alumni 212 Jelas Kapitalisasi Agama demi Kepentingan Politik
Jakarta – Reuni Alumni 212 yang bakal digelar awal Desember di Lapangan Monas Jakarta dianggap bentuk kapitalisasi agama demi kepentingan politik. Reuni tersebut seharusnya tidak diadakan lantaran tuntutan aksi 212 sudah diakomodasi.
Hal tersebut diungkapkan pengamat politik Lingkar Madani. Ia menilai kegiatan alumni 212 ini bukan murni kegiatan agama, melainkan kegiatan politik. Ia juga keheranan mengapa harus ada acara tersebut. Pasalnya, tuntutan aksi 212 sudah dipenuhi dengan Basuki Tjahaja Purnama dipenjara.
“Itu sudah jelas politik, enggak ada hubungannya lagi dengan agama, enggak ada hubungannya dengan dakwah, apa yang mereka tuntut sudah dipenjara kok. Apalagi gunanya, itu politik murni politik, murni untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah. Saya pikir mereka hanya mau mengapitalisasi agama ini. Mengapitalisasi agama terus-menerus untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah,” kata Ray kepada wartawan di D’Hotel, Jalan Sultan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (21/11).
Ray pun mengaku masih belum paham apa sebenarnya tujuan acara reuni alumni 212. Ia membandingkan dengan demonstrasi 1998 untuk menggulingkan rezim Soeharto dan Orde Baru. Usai berhasil menggulingkan, tak ada perkumpulan alumni maupun acara reuninya.
“Yang saya juga enggak mengerti tujuannya apa? Masak demonstrasi pakai alumni, alumni pakai reuni. Ada-ada saja. Yang besar sekali pun perjuangan 98 itu ya berhenti di 98. Waktu jatuh ya jatuh. Bahwa anggotanya membentuk kelompok-kelompok tertentu ya silakan saja. Enggak ada reuni 98 yang jatuhin soeharto, enggak ada,” imbuhnya.
Baca Juga:
BERITA
Kubu Jokowi Anggap Amien Rais Tidak Dewasa dalam Berpolitik
Jakarta – Kubu Joko Widodo-Maruf Amin menilai, pernyataan Amien Rais yang memaksa Muhammadiyah untuk memihak salah satu calon di pemilihan presiden menunjukkan sikap Amien Rais yang tidak dewasa dalam berpolitik.
Hal tersebut diungkapkan Juru Bicara Tim Kampanye Jokowi-Maruf Amin Ace Hasan Syadzily. Selain menunjukkan Amin Rais tidak dewasa, pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa sosok Amien Rais bukan negarawan tulen.
“Hanya karena beliau pendukung Prabowo-Sandi mau mendikte Muhamamdiyah mendukung paslon tertentu. Itu menunjukkan ketidakdewasaan politik sebagai politisi yang dikenal selalu menjaga demokrasi,” jelas Ace, seperti dikutip dari Merdeka.com, Rabu (21/11).
Justru, dengan paksaan dan desakan tersebut, suara Muhammadiyah malah enggan memilih Prabowo-Sandi. “Kalau terus menerus seperti itu, saya tidak yakin Prabowo mendapatkan dukungan dari Muhammadiyah,” tegasnya.
Sikap tersebut sama sekali tidak mencerminkan sosok negarawan. Politikus Partai Golkar ini menambahkan, sebagai negarawan, seharusnya Amien Rais menjaga agar ormas, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, tidak diseret ke ranah politik praktis.
“Sebetulnya secara organisasi Muhammadiyah dan NU tidak menunjukkan dukungan secara tegas, itu perlu terus dijaga bahwa citra ormas Islam tidak terseret ke dalam politik praktis hanya untuk kekuasaan semata,” tegasnya lagi.
Baca Juga:
BERITA
Penggunaan Teknologi VAR di Liga Champions Dipercepat?
Jakarta – Setelah sukses digunakan dalam beberapa turnamen FIFA, ternyata kehadiran teknologi Video Assistant Refree (VAR) disambut baik oleh sejumlah klub Eropa.
Video Asisten Wasit (VAR) kemungkinan besar akan segera diterapkan di ajang Liga Champions, tepatnya ketika memasuki babak knock out alias fase gugur di musim ini. Wacana tersebut langsung berasal dari Presiden UEFA Aleksander Ceferin dan Ketua Asosiasi Klub Eropa Andrea Agnelli.
Dilansir dari Soccerway, Selasa (20/11), sebelumnya VAR sendiri akan diberlakukan di Liga Champions mulai musim depan, namun belakangan wacana tersebut akan dipercepat dalam rangka untuk proses pengujian teknologi tersebut.
“Kami sudah mulai melakukan semua persiapan. [Kepala wasit UEFA] Roberto Rosetti dan timnya sangat bagus. Ada sudut pandang penting – wasit dan semua aspek teknis,” kata Ceferin dalam konferensi pers di Brussels.
“Saya mengharapkan laporan dalam seminggu atau lebih dan kemudian kita akan melihat kapan kita dapat menerapkannya. Pada musim depan yang terbaru,” sambungnya.
Senada dengan Ceferin, Agnelli yang notabene merupakan pemilik Juventus siap mendukung wacana UEFA untuk mempercepat penerapan VAR di ajang Liga Champions.
Baca Juga: