Biennale Jogja XIV 2017 dan Generasi Milenial
Dua hari lalu (10/12) Biennale Jogja XIV 2017 berakhir. Biennale kali ini mengusung tema STAGE OF HOPELESSNESS. Melalui elaborasi yang dilakukan untuk menjelajahi tahap-tahap yang membawa manusia dari ketidakpastian menuju harapan. Gelaran seni dua tahunan ini diyakini mendatangkan pengunjung cukup melimpah. Namun, apakah kesuksesan sebuah pameran hanya karena jumlah pengunjung?
Biennale Jogja adalah biennale internasional yang berfokus pada seni rupa, diadakan setiap dua tahun sejak 1988. Rangkaian kegiatan dalam Paralel Event dan Festival Equator juga digelar, menghadirkan sebuah refleksi singkat tentang gagasan, persiapan, dan pelaksanaan rangkaian acara tersebut. Festival Equator menggali ingatan-ingatan kita tentang momen kekacauan pernah atau yang mungkin sedang kita alami dalam hidup. Paralel Event mencoba melihat bagaimana kerja-kerja kolektif kebudayaan bisa jadi alternatif jalan untuk memunculkan harapan di tengah situasi kacau ini.
Pada Biennale 2017 juga terlibat tiga orang seniman asal Brasil yang melakukan residensi di Yogyakarta. Mereka adalah Daniel Lie, Rodrigo Braga, dan Yuri Firmeza. Daniel mengaku residensi ini memberi ruang untuk berkarya, dukungan dana, sehingga bisa mendedikasikan diri 100% pada karya. “Meskipun Indonesia dan Brasil terpisah jarak lebih dari 16. Ribu kilometer, banyak hal ternyata mirip.Meskipun saya orang asing, saya tidak merasa asing di sini,” kata Daniel.
Yuri Fermeza mengatakan amat terkesan dengandunia kesenian Yogyakarta, terutama skena musik eksperimental-independen: noise. Sementara Rodrigo Braga saat tiba di Yogyakarta sudah punya niat khusus mengunjungi wikayah Gunung Kidul. Ia tertarik dengan kekhasan aspek sosial dan lingkungannya, lebih spesifik lagi ia tertarik Pulung Gantung, yang merepresentasikan cara orang lokal berhadapan dengan masalah, kepercayaan, dan kematian. “Saya merasa mendapatkan semangat ketika berada di tengah-tengah alam dan masyarakat Gunung Kidul,” ujar Rodrigo.
Sehari menjelang penutupan pengunjung berjubel antre masuk ruang pameran di Jogja Nasional Museum (JNM). Panitia sibuk mengatur buka dan tutup pintu JNM. Tak kurang hari itu museum dikunjungi sekitar 4.000 orang. Total pengunjung selama penyelenggaraan Biennale Jogja 2017 sekitar 50.000 orang.
Menariknya kali ini jumlah pengunjungnya biennale adalah generasi milenial. Ada fenomena menarik terhadap pegunjung yang semuanya memegang gawai itu. Mereka datang dan berada di sekitar karya bukan untuk mengapresiasi karya, melainkan, apalagi kalau bukan berfotoria termasuk berselfie atau wefie.
Pada Biennale Jogja XIV tahun ini juga diberikan penghargaab Life Achievment kepada dua orang tokoh yang telah membuktikan komitmen, kontribusi, dedikasi dan karyanya selama puluhan tahun di bidang seni rupa.
Wiyadi adalah guru senirupa SMSR Yogyakarta sekaligus pelukis khusus wayang. Ia seorang seniman wayang beber yang lahir di Pacitan, tanggal 24 Maret 1948. Ia tinggal di Jl. Kluwih 6 Jomblang Karangbendo Banguntapan Bantul Yogyakarta. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara, ayahnya bernama Ki Sarwandi lahir 1913, meninggal pada usia 70 tahun, ibunya bernama Karsinem lahir pada 1917. Bakat seni ia peroleh dari ayahnya yang berlatar belakang seorang empu pembuat wayang kulit yang cukup terkenal di Pacitan. Tahun 1959 ia mulai menekuni pewayangan sejak masih duduk di sekolah Rakyat (sekarang SD) membantu ayahnya. Namun wayang beber sendiri mulai ia tekuni pada 1969.
Penghargaan lainnya kepada perupa bermukim di Bandung yaitu Sunaryo. Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) adalah sebuah ruang dan organisasi nirlaba yang bertujuan mendukung pengembangan praktik dan pengkajian seni dan kebudayaan visual di Indonesia. Dididirikan pada 1998 oleh Sunaryo, SSAS aktif menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada edukasi publik. Dengan arahan & dukungan dari Yayasan Selasar Sunaryo, fokus utama SSAS adalah pada penyelenggaraan program-program seni rupa kontemporer, melalui pameran, diskusi, residensi & lokakarya.
TASS
BERITA
Reuni Alumni 212 Jelas Kapitalisasi Agama demi Kepentingan Politik
Jakarta – Reuni Alumni 212 yang bakal digelar awal Desember di Lapangan Monas Jakarta dianggap bentuk kapitalisasi agama demi kepentingan politik. Reuni tersebut seharusnya tidak diadakan lantaran tuntutan aksi 212 sudah diakomodasi.
Hal tersebut diungkapkan pengamat politik Lingkar Madani. Ia menilai kegiatan alumni 212 ini bukan murni kegiatan agama, melainkan kegiatan politik. Ia juga keheranan mengapa harus ada acara tersebut. Pasalnya, tuntutan aksi 212 sudah dipenuhi dengan Basuki Tjahaja Purnama dipenjara.
“Itu sudah jelas politik, enggak ada hubungannya lagi dengan agama, enggak ada hubungannya dengan dakwah, apa yang mereka tuntut sudah dipenjara kok. Apalagi gunanya, itu politik murni politik, murni untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah. Saya pikir mereka hanya mau mengapitalisasi agama ini. Mengapitalisasi agama terus-menerus untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah,” kata Ray kepada wartawan di D’Hotel, Jalan Sultan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (21/11).
Ray pun mengaku masih belum paham apa sebenarnya tujuan acara reuni alumni 212. Ia membandingkan dengan demonstrasi 1998 untuk menggulingkan rezim Soeharto dan Orde Baru. Usai berhasil menggulingkan, tak ada perkumpulan alumni maupun acara reuninya.
“Yang saya juga enggak mengerti tujuannya apa? Masak demonstrasi pakai alumni, alumni pakai reuni. Ada-ada saja. Yang besar sekali pun perjuangan 98 itu ya berhenti di 98. Waktu jatuh ya jatuh. Bahwa anggotanya membentuk kelompok-kelompok tertentu ya silakan saja. Enggak ada reuni 98 yang jatuhin soeharto, enggak ada,” imbuhnya.
Baca Juga:
BERITA
Kubu Jokowi Anggap Amien Rais Tidak Dewasa dalam Berpolitik
Jakarta – Kubu Joko Widodo-Maruf Amin menilai, pernyataan Amien Rais yang memaksa Muhammadiyah untuk memihak salah satu calon di pemilihan presiden menunjukkan sikap Amien Rais yang tidak dewasa dalam berpolitik.
Hal tersebut diungkapkan Juru Bicara Tim Kampanye Jokowi-Maruf Amin Ace Hasan Syadzily. Selain menunjukkan Amin Rais tidak dewasa, pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa sosok Amien Rais bukan negarawan tulen.
“Hanya karena beliau pendukung Prabowo-Sandi mau mendikte Muhamamdiyah mendukung paslon tertentu. Itu menunjukkan ketidakdewasaan politik sebagai politisi yang dikenal selalu menjaga demokrasi,” jelas Ace, seperti dikutip dari Merdeka.com, Rabu (21/11).
Justru, dengan paksaan dan desakan tersebut, suara Muhammadiyah malah enggan memilih Prabowo-Sandi. “Kalau terus menerus seperti itu, saya tidak yakin Prabowo mendapatkan dukungan dari Muhammadiyah,” tegasnya.
Sikap tersebut sama sekali tidak mencerminkan sosok negarawan. Politikus Partai Golkar ini menambahkan, sebagai negarawan, seharusnya Amien Rais menjaga agar ormas, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, tidak diseret ke ranah politik praktis.
“Sebetulnya secara organisasi Muhammadiyah dan NU tidak menunjukkan dukungan secara tegas, itu perlu terus dijaga bahwa citra ormas Islam tidak terseret ke dalam politik praktis hanya untuk kekuasaan semata,” tegasnya lagi.
Baca Juga:
BERITA
Penggunaan Teknologi VAR di Liga Champions Dipercepat?
Jakarta – Setelah sukses digunakan dalam beberapa turnamen FIFA, ternyata kehadiran teknologi Video Assistant Refree (VAR) disambut baik oleh sejumlah klub Eropa.
Video Asisten Wasit (VAR) kemungkinan besar akan segera diterapkan di ajang Liga Champions, tepatnya ketika memasuki babak knock out alias fase gugur di musim ini. Wacana tersebut langsung berasal dari Presiden UEFA Aleksander Ceferin dan Ketua Asosiasi Klub Eropa Andrea Agnelli.
Dilansir dari Soccerway, Selasa (20/11), sebelumnya VAR sendiri akan diberlakukan di Liga Champions mulai musim depan, namun belakangan wacana tersebut akan dipercepat dalam rangka untuk proses pengujian teknologi tersebut.
“Kami sudah mulai melakukan semua persiapan. [Kepala wasit UEFA] Roberto Rosetti dan timnya sangat bagus. Ada sudut pandang penting – wasit dan semua aspek teknis,” kata Ceferin dalam konferensi pers di Brussels.
“Saya mengharapkan laporan dalam seminggu atau lebih dan kemudian kita akan melihat kapan kita dapat menerapkannya. Pada musim depan yang terbaru,” sambungnya.
Senada dengan Ceferin, Agnelli yang notabene merupakan pemilik Juventus siap mendukung wacana UEFA untuk mempercepat penerapan VAR di ajang Liga Champions.
Baca Juga: