Connect with us

Bukan Diplomat Pejambon Biasa

Nara Masista RakhmatiaFoto: ABC News

Tepat setahun lalu, di bulan yang sama, warganet ramai membicarakan namanya. Ia diperbincangkan karena keberaniannya memarahi pemimpin 6 negara yang saat itu mengecam Indonesia.

Dengan lantang, ia membalas dan membacakan protes keras Indonesia atas tudingan pelanggaran HAM oleh enam negara di Kepulauan Pasifik yakni; Kepulauan Solomon, Vanuatu, Nauru, Kepulauan Marshall, Tuvalu dan Tonga. Sudah ingat? Ya, dia adalah Nara Masista Rakhmatia.

Nara yang saat itu berusia 33 tahun, memang hanya bertugas membacakan pernyataan pemerintah Indonesia di Sidang Umum PBB. Namun di situlah Indonesia kemudian dipandang dan disegani karena ketegasannya. Pujian pun membanjiri Nara dan menginspirasi banyak pemuda menjadi lebih berani menentang negara yang melecehkan Indonesia.

Lalu, siapakah Nara Masista Rakhmatia?

Di Pejambon, sebutan populer untuk markas Kementerian Luar Negeri, Nara adalah diplomat eselon empat dengan jabatan panjang: Kepala Sub Bagian Program dengan Organisasi Regional di Satuan Kerja Biro Dukungan Strategis Pimpinan. Namun, jabatan itu masihlah belum apa-apa di tengah galaksi birokrasi. Di atasnya masih banyak: eselon yang lebih tinggi, level atase, konsul, sampai duta besar. Belum lagi yang tertinggi, Menteri Retno Marsudi, sebagai atasannya langsung.

Namun, Nara—yang kini berusia 35 tahun—adalah fenomena tersendiri bagi “satuan” diplomatik. Bila Raden Ajeng Kartini melegenda karena ketajaman pena dan pemikirannya, Nara berhasil mencuri perhatian dunia—sesuatu yang menjadikannya spesial di antara koleganya—dengan caranya tersendiri dan di usia yang relatif muda.

Popularitas Nara memang terjadi saat momen itu datang, setahun yang lalu. Dalam UN General Assembly Hall, Ruang Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tempat keramat yang jadi mimpi-mimpi setiap calon diplomat. Saat itu pun menjadi sidang pertamanya di sana.

Menetap di New York sejak 2014, Nara awalnya bertugas sebagai Sekretaris III Perwakilan Tetap Indonesia, sebelum belakangan dapat promosi sebagai Sekretaris II. Nah, pada September tahun lalu itu, giliran dia mewakili Indonesia dalam pembahasan soal penerapan pembangunan berkelanjutan.

Suasana sidang kala itu seketika tegang. Terutama setelah enam negara Pasifik, yaitu Solomon, Vanuatu, Nauru, Marshall, Tuvalu dan Tonga, bergantian melayangkan pukulan keras, menyindir apa yang mereka gambarkan sebagai pelanggaran HAM yang sistematis di Papua.

Nara balas membeli pukulan keras itu. Dia meminta izin kepada pemimpin sidang untuk menggunakan hak jawab resmi. Dengan kertas di tangan, dia membacakan sikap Jakarta. Parasnya yang muda nan cantik tak dapat menyembunyikan ketajaman suaranya.

“Komitmen HAM Indonesia tak perlu dipertanyakan lagi. Indonesia adalah pendiri Dewan HAM PBB,” katanya mengecam sikap negara-negara Pasifik yang dia gambarkan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dan menggunakan forum PBB untuk mendorong agenda domestik.

Beberapa paragraf setelahnya tak ubahnya peluru senapan otomatis. “Pernyataan politik mereka dirancang untuk mendukung kelompok separatis yang konsisten mengganggu ketertiban umum dan melakukan serangan teroris bersenjata terhadap masyarakat sipil dan aparat keamanan,” katanya lagi.

Kalimat penutupnya lebih berkelas. Mengutip pepatah dan sambil mengangkat telunjuk kanannya, dia bilang, “Ketika seseorang mengarahkan telunjuknya pada orang lain, jari jempolnya otomatis menunjuk pada wajahnya sendiri.”

Boom. Pidato itu seketika membangkitkan simpati banyak orang di media sosial. Di Facebook, hanya dalam hitungan jam, ratusan ribu orang memberi komentar dan jempol. Di YouTube, video rekaman pidato Nara berkembang biak di banyak kanal. Setidaknya, ada selusin lebih video serupa. TV, koran, dan majalah tak mau ketinggalan mengulas. Namun, tak ada satupun yang pernah mewawancarainya secara langsung. Seluruh informasi tentang siapa dia, foto-fotonya, dan aktivitasnya sebagai perempuan diplomat muda bersumber dari akun-akun pribadinya di media sosial, semisal Facebook dan Instagram. Nara memang tertutup.

Nara juga seperti enggan bercerita banyak. Mungkin dia tak ingin momen emas di New York itu dianggap sebagai prestasi pribadi. Beberapa kali, dalam sejumlah wawancara dengan media, dia seperti sengaja memilih menggunakan kata “kami”. Dia menyebut pidatonya tempo hari telah melewati proses baku, termasuk atas izin atasan dan sesuai dengan konteks diplomasi serta posisi politik Indonesia.

Khusus respons yang keras atas negara-negara kepulauan di Pasifik, dia bilang itu semata reaksi. “Posisi Indonesia terkait Papua sudah jelas. Saya hanya mengulangi saja apa yang sudah disampaikan oleh Indonesia sebelumnya,” katanya. Saat itu, ia mungkin tak menduga bahwa rekaman pidatonya itu ternyata viral.

Bagi Nara, besarnya perhatian warga itu menjadi isyarat keinginan banyak orang melihat Indonesia menjadi bangsa yang besar dan sejajar dengan bangsa-bangsa asing. “Mungkin kepercayaan diri itu yang harus ditumbuhkan,” katanya. “Saya suka mengajak orang untuk ‘speak up’, memberanikan diri berbicara, tapi pastikan dulu faktanya benar,” tambahnya lagi.

Tahun ini, Nara menyelesaikan tugasnya di Amerika Serikat dan kembali ke Jakarta. Alumnus Program Studi Hukum Internasional di Universitas Indonesia itu menggambarkan ritme kerjanya di Kementerian cukup mengasyikkan dan banyak memberi ruang akomodasi bagi diplomat perempuan.  Meski demikian, dia mengakui bahwa perempuan dalam dunia diplomat punya tantangan tersendiri. Setidaknya, mereka harus bisa menyelaraskan tugas dan kehidupan keluarga.

Bagi Nara, diplomat adalah profesi sekaligus pilihan hidup. “Sejak belajar di Universitas Indonesia, saya ingin bekerja pada bidang yang sesuai. Saya juga punya idealisme demi kebaikan yang lebih besar. Jadi, saya dari dulu ada keinginan untuk terjun ke dunia internasional, tapi tidak untuk cari keuntungan,” katanya berpesan agar perempuan yang ingin berkarier di dunia diplomasi perlu mengawali usahanya dengan sebanyak-banyaknya mengenali negeri sendiri.

“Jangan lupa, saat jadi diplomat, jangan takut berbicara untuk Indonesia,”

-Nara Masista Rakhmatia-

Novianto

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Tinggalkan Microsoft Demi Membangun Kampung Halaman

Oleh

Fakta News
Choirul Amri Tinggalkan Microsoft demi bangun Desa Kuniran di Ngawi
Choirul Amri(Foto: Dok. Pribadi)

Sebenarnya, mimpi Muhammad Choirul Amri sudah tercapai ketika bekerja di Microsoft pada 2013 lalu. Tapi ia malah memutuskan keluar dari perusahaan itu untuk membangun kampung halamannya, Desa Kuniran, Ngawi, Jawa Timur.

Ya, hal ini spontan saja mengundang tanya dari banyak orang? Apa yang dipikirkan dia? Apalagi Microsoft adalah perusahaan global ternama.

Mengapa dirinya lebih memilih berjuang membuat kampungnya itu menjadi desa wisata?

Choirul tak sedang bercanda. Saking seriusnya, ia berencana untuk mengintegrasikan Embung Kuniran, Cagar Budaya Lumbung Padi, sanggar karawitan setempat, dan peternakan kambing.

Baca Juga:

Area-area tersebut dapat menjadi tujuan wisatawan lokal dan mancanegara untuk merasakan kehidupan asli desa Indonesia atau hanya sekadar berswafoto.

Kata dia, persoalan di kampungnya itu sebenarnya sederhana. Ia pun mengaku menemukan hal itu saat dirinya membantu budidaya lele.

Menurutnya, warga desa memiliki kemampuan untuk mengembangkan desa. Tetapi mereka tidak memiliki pendamping dan pengawas yang dapat memberikan masukan atas apa yang harus dilakukan.

Hingga akhirnya pada Oktober 2017, ia bersama warga membentuk kelompok sadar wisata (pokdarwis). Kelompok itu berkomitmen untuk memperbaharui tampilan Desa Kuniran.

Nah, salah satunya dengan membuat menara untuk swafoto di Embung Kuniran, salah satu aset utama desa tersebut.

Choirul Amri kaget. Warga ternyata antusias dan mampu mengumpulkan dana sendiri. Mereka juga membangun menara itu dengan keterampilan sendiri.

Choirul pun akhirnya resmi mendirikan Rumah Inspirasi Nusantara pada Januari 2018. Rumah tersebut merupakan wadah kegiatan pemberdayaan masyarakat dan desa yang dilakukan di Ngawi.

Baca Selengkapnya

BERITA

Penggerak Literasi dengan Aplikasi dan Taman Baca di Malang

Oleh

Fakta News
Santoso Mahargono dan GO READ
Santoso Mahargono(Foto: Istimewa)

Foto itu mungkin terpasang di salah satu dinding rumahnya. Foto saat dirinya diundang Presiden Joko Widodo untuk makan siang di Istana Negara. Momen itu pun jadi yang tak terlupakan bagi Santoso Mahargono, si pelopor GO READ.

Ya, kegigihannya dalam menggerakkan literasi membuahkan hasil. Pendiri sekaligus Ketua Forum Komunikasi Taman Baca Masyarakat Malang Raya ini mendapat apresiasi tinggi dari Presiden Jokowi.

Bahkan Santoso berkesempatan mengikuti sidang tahunan MPR dan DPR serta upacara bendera 17 Agustus di Istana Negara.

Baca Juga:

Adapun soal undangan makan di Istana ia dapatkan setelah mengikuti pemilihan pustakawan berprestasi tingkat nasional. Saat itu, juara 1, 2 dan 3 diundang Presiden untuk makan siang bersama teladan-teladan lainnya, termasuk Paskibra dan Paduan Suara Gita Bahana.

Dalam gelatan yang digelar pada 9-19 Agustus di Jakarta, Santoso Mahargono mendapatkan juara II mewakili Provinsi Jawa Timur. Programnya membawanya terpilih mewakili Provinsi dengan menyisihkan 18 peserta lainnya.

Adapun program yang ia gagas adalah GO READ, layanan penyedia buku bagi masyarakat, utamanya yang berada di daerah pelosok Malang Raya. Kegigihannya di bidang literasi dihargai tinggi.

Sebelumnya, Santoso sendiri sudah mendapatkan penghargaan hingga diundang Mantan Gubernur Soekarwo yang dulu masih menjabat di Jatim.

Baca Selengkapnya

BERITA

Pembalap Jogja Hasil Didikan Valentino Rossi

Oleh

Fakta News
Galang Hendra Pratama Hasil didikan Rossi
Galang Hendra Pratama

Pecinta balap motor boleh saja mengidolakan pembalap internasional macam Valentino Rossi. Namun Indonesia sebenarnya juga punya pembalap yang diidolakan. Dia adalah Galang Hendra Pratama.

Pebalap muda asal Yogyakarta ini digadang-gadang bisa mengharumkan Indonesia. Jalannya disebut-sebut tengah menuju ke sana.

Tanda-tandanya pun perlahan terlihat. Galang menjadi pebalap pertama Indonesia yang juara dalam salah satu seri Kejuaraan Dunia Supersport 300 (300-600 cc).

Tepatnya di Kejuaraan Balap Motor Dunia Superbike, yakni di Sirkuit Jerez, Spanyol, tahun lalu. Ia juga menang di Sirkuit Automotodrom Brno, Ceko, Juni tahun ini.

Baca Juga:

Apresiasi pun berdatangan. Termasuk Muhammad Abidin, General Manager Divisi Pascapenjualan dan Departemen Motorsport PT Yamaha Indonesia Motor MFG yang merupakan tim pendukung Galang di Superbike.

”Ini hasil luar biasa karena Galang bersaing dengan pebalap-pebalap terbaik dari negara yang memiliki sejarah balap motor yang kuat, seperti dari Eropa dan Amerika Serikat (AS),” katanya.

Perlu diketahui, Galang adalah pebalap Indonesia yang paling dekat dengan kejuaraan balap motor paling bergengsi di dunia, MotoGP.

Pasalnya, kini ia sedang berkiprah di Kejuaraan Dunia Supersport 300, kelas terendah dari empat kelas yang dipertandingkan Superbike.

Tiga kelas di atasnya ialah Kejuaraan Dunia Superbike, Supersport, dan Piala PIM Superstock 1000.

Kejuaraan Superbike tersebut memiliki popularitas yang hanya kalah dari MotoGP. Umumnya, pebalap yang sukses di Superbike akan beralih ke MotoGP.

Sebut saja seperti Colin Edwards (Amerika Serikat) dan Nicky Hayden (Amerika Serikat). Nah, Galang punya prestasi cukup gemilang di Superbike.

Baca Selengkapnya