Bersikap Bijak untuk Memahami Akar Masalah Konflik Rohingya
Saat ini banyak yang bertanya mengenai peristiwa konflik Rohingnya di Myanmar. Sebenarnya apa yang terjadi di sana?
Beberapa hari ini berita soal Rohingnya sangat mengemuka di berita Regional dan Internasional, tapi lebih ramai lagi di berita nasional dan telah berdampak banyaknya pertanyaan teman-teman di tanah air tentang Myanmar dan Rohingnya.
Untuk itu saya sebagai orang yang kini tinggal di Yangon, Myanmar, sangat ingin berbagi sudut pandang dan beberapa fakta peristiwa terkait isu Rohingnya tersebut. Saya pernah secara langsung mengunjungi tempat kejadian pada peristiwa 9 Oktober 2016, termasuk berkunjung ke pemukiman etnis Rohingnya, untuk melakukan wawancana bersama beberapa duta besar dan kepala perwakilan PBB di Myanmar. Tulisan ini merupakan highlight saja, dan akan saya susun juga pembahasan per-topik selanjutnya sebagai bagian penjelasan dari tulisan pertama ini.
Sejak tahun lalu, sebenarnya konflik Rohingnya di Rakhine State atau negara bagian Rakhine, sudah mengemuka dan menjadi perhatian dunia internasional, ASEAN dan negara-negara Islam (OKI). Bahkan, sejak awal tahun ini, Pemerintah Myanmar telah membentuk Advisory Commission yang dipimpin oleh mantan Sekjen PBB Kofi Anan. Bahkan beberapa tahun sebelumnya (2012), juga sudah ada persoalan tentang Rohingnya sehingga Indonesia kebanjiran pengungsinya.
Isu Rohingnya, memang memang persoalan yang menahun di Myanmar yang belum terselesaikan hingga saat ini, karena masalahnya sangat komplek dan tidak sesederhana yang dibayangkan masyarakat di tanah air. Sejak persoalan kewarganegaraan dari etnis ini, tidak dapat terakomodasi dengan baik dalam UU Kewarganegaraan Myanmar (Burma), Etnis Rohingnya juga terjerembab pada konflik horizontal dengan etnis Arakan yang menjadi suku mayoritas di Rakhine State.
Konflik tersebut, kemudian memuncak pada saat terjadinya kasus pemerkosaan dan pembunuhan antar dua kelompok etnis tersebut pada tahun 2012. Bahkan dalam konflik itu, melibatkan tokoh agama. Padahal konflik itu, sebenarnya juga berakar pada soal social economy, poverty dan etnisitas.
Etnis Rohingnya ini, secara umum tidak seberuntung Etnis Bengali yang sudah hidup nyaman sebagai warga negara sejak jaman kolonial Inggris. Asal muasal wilayah mereka, ada yang menyebut sama dan berasal dari campuran Bangladesh dan Pakistan Timur. Namun jelasnya kedua etnis ini bukan penduduk asli wilayah Myanmar (Burma).
Etnis Bengali, telah secara bebas hidup secara social ekonomi dan bebas menganut agama, dan bahkan banyak yang menganut agama Islam. Yang beragama Islam, mereka bebas melakukan peribadatan dan banyak masjid yang didirikan di kota besar di Myanmar. Sampai dengan Idul Adha kemarin saja, mereka masih menjalankan ibadah Shalat Ied dan berqurban tanpa ada gangguan dari pemerintah maupun masyarakat yang beragama lain.
Secara umum, konflik etnik di Myanmar tidak hanya terjadi di Rakhine State saja. Myanmar masih menyimpan konflik antar etnis di beberapa State (di 7 Negara Bagian). Bagi kita bangsa Indonesia, yang telah mendahului proses demokratisasi dan penataan kelembagaan negara, serta desentralisasi serta pengedepanan supremasi hukum, akan sedikit terheran jika mellihat struktur kenegaraan dan persoalan pemerintahan di Myanmar. Sebagai contoh, kita tidak biasa membayangkan bahwa di Myanmar ada tentara lokal atau tentara etnis di negara bagiannya, di samping tentara nasionalnya.
Contoh lainnya, bahwa sumber daya manusia (SDM) Kepolisian termasuk militer Myanmar masih belum mempunyai kapasitas yang memadai baik dari pengetahuan, pengalaman, perlengkapan operasional untuk menghadapi dan menangani setiap konflik antar etnis tersebut. Sehingga untuk menghadapi situasi darurat di Myanmar, tentara nasional (Tatmadaw) lah yang mengambil peran (kendali) pada setiap penanganan konflik di beberapa bagian di negaranya, sementara polisi berada langsung di bawah komando tentara.
Seperti kita ketahui dan kita alami juga, di negara kita dulu, kalau tentara yang turun artinya yang dilakukan adalah upaya represif yang kadang mengabaikan dampak sosial yang diakibatkannya. Bukan semata mata tindakan penegakan hukum, meskipun dalam beberapa keterangan resmi ada juga upaya penegakan hukum bagi kelompok yang melawan apabila tertangkap.
Pertanyaan yang sering muncul adalah, kenapa justru ketika Myanmar memasuki era demokratisasi, peristiwa-peristiwa penanganan konflik dengan pendekatan militeristik masih dilakukan. Padahal Daw Aung San Suu Kyi (DASSK) sebagai pemimpin de Facto Myanmar saat ini, adalah penerima nobel perdamaian.
Saya ingin menjelaskan terlebih dahulu latar belakang politiknya. Pasca kemenangan pemilu yang kedua di Myanmar, pemerintahan militer Myanmar akhirnya menyetujui proses demokratisasi dan memberikan kekuasaan kepada pemenang pemilu pada tahun 2015. DASSK merupakan pemimpin yang dicintai rakyat Myanmar, menang 80 persen lebih dalam pemilu, namun dia terhambat menjadi presiden karena status kewarganegaraan anaknya yang berkewarganegaraan Inggris. Infra dan supra struktur politik di Myanmar, akhirnya bersepakat untuk menempatkan DASSK sebagai State Counsellor, struktur baru sebagai pemimpin de facto yang berkuasa di samping struktur formal yang menurut konstitusi.
Proses demokratisasi Myanmar, sudah dibuka dan dimulai namun proses transisi nya belum bisa terlaksana. Karena itulah, pemenang pemilu 2015, tidak bisa melakukan reformasi yang signifikan sebab peran militer dalam pemerintahan masih terasa kuat, militer masih menjadi bagian dari parlemen dan memiliki hak veto.
Sikap militer ini, sebuah sikap yang sangat istimewa untuk memveto setiap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakan “pengendali real” keamanan negara. Sementara DASSK sebagai pemimpin pemerintahan sipil, belum punya instrumen aparatur keamanan yang kompeten sebagaimana di negara-negara demokratis lainnya. Reformasi keamanan di Myanmar, jelas belum berjalan.
Ada satu nama penting dalam politik Myanmar yang tidak terlalu banyak muncul, namun dia merupakan tokoh penting, yang masih memiliki pengaruh kuat dalam manajemen pemerintahan sipil Myanmar saat ini, sehingga Parlemen perlu untuk bernegosiasi apabila hendak mengambil suatu kebijakan. Tokoh ini adalah tokoh kunci di Militer Myanmar saat ini yakni Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Senior Jenderal Min Aung Hlaing. Sebagai pimpinan tertinggi unsur militer dan memiliki suara mutlak di parlemen, tentunya akan sangat berpengaruh terhadap keputusan yang akan diambil oleh State concellor terutama dalam hal penanganan masalah gangguan keamanan.
Jenderal Ming Aung Hlaing, adalah tokoh militer yang tentunya memiliki kedekatan dengan pemerintah lama, dan saat ini sangat berperan untuk menjalankan pengaruh militer dalam politik nasional Myanmar. Dialah salah satu tokoh penting yang membuat poros Myanmar – China, di mana pada saat pemerintahan terdahulu, sebelum masuk dalam keanggotaan ASEAN, Myanmar adalah negara proxy RRC, dan China juga banyak memberi bantuan langsung kepada Myanmar. Sejarah ini, tidak bisa dinegosiasikan dalam konstelasi politik nasional maupun regional Myanmar.
Dari fakta ini, ada beberapa analisis yang signifikan kenapa isu Rohingnya menjadi membesar. Alasannya, karena terdapat permasalahan bahwa konflik ini ditangani oleh Militer yang akhirnya seperti tanpa kendali dan tidak sesuai dengan standar HAM dan SOP Penanganan Konflik yang jelas.
Lebih lanjut dalam konteks isu konflik Rohingya yang terjadi pada Agustus 2017 ini, pada dasarnya kejadiannya tidak berdiri sendiri. Runtutan peristiwa sejak akhir 2016, memberi warna hingga peristiwa terakhir.
Penjelasannya seperti ini. Pasca konflik etnis 2012, Etnis Rohingnya hidup dalam kamp-kamp di beberapa wilayah di Negara Bagian Rakhine, mereka hidup dalam pengawasan aparatur wilayah, meraka memiliki masalah kemiskinan dan terhambat pembangunannya karena status kewarganegaraanya yang tidak diakui. Di tengah situasi tersebut muncul kelompok solidaritas seperti Rohingnya Solidarity Organization (RSO), yang kemudian saat ini berubah bentuk menjadi Arakan Rohingnya Salvation Army (ARSA) yang sipimpin oleh Atta Ulla atau Abu Amar yang memiliki ibu Rohingnya dan bapak Pakistan anggota Taliban.
Kelompok-kelompok ini, melakukan gerakan radikal dengan melakukan serangkaian serangan baik kepada aparatur keamanan maupun warga lainnya dan mulai bergulir secara simultan pada akhir 2016 lalu. Pada akhir tahun 2016, mereka menyerang pos-pos polisi dan membunuh beberapa polisi, kemudian dibalas dengan serangan oleh aparat keamanan (polisi dan tentara).
Namun apa daya tentara dan polisi itu, ternyata kalah banyak dan terkepung dan terjadi kontak senjata dan menewaskan puluhan aparat. Pasca kejadian ini, aparatur keamanan Myanmar menilai situasi sudah tidak kondusif, hingga mereka melakukan operasi khusus dan berdampak pada jatuhnya korban warga Rohingya, karena mereka menyerang beberapa kampung yang dijadikan tameng oleh kelompok Radikal. Jumlah korban masyarakat sangat banyak, dan terindikasi juga terjadi pelanggaran HAM oleh tentara dan polisi Myanmar pada saat operasi militer tersebut. Dari kejadian itu, berdampak terjadinya eksodus pengungsi ke Bangladesh utamanya.
Peristiwa di awal Oktober 2016 tersebut, mengekskalasi dan Pemerintah Myanmar mengambil sikap untuk membuat tim pencari fakta dan bahkan membentuk Komisi Penasehat yang dipimpin oleh Kofi Anan. DASSK seperti ingin netral, tak ingin menyalahkan militer namun juga tidak mau kehilangan muka karena terjadi pelanggaran dalam pemerintahan demokrasi yang tengah dipimpinnya.
Sementara PBB secara terpisah telah memberikan perhatian terhadap peristiwa ini, dan telah membentuk tim pencari fakta. Namun hasil tim pencari fakta PBB secara tegas ditolak, karena mereka melakukan investigasi di kamp pengungsi yang ada di Bangladesh, hingga akhirnya Tim itu tidak diberikan visa untuk masuk Myanmar.
Penolakan hasil Tim PBB oleh pemerintah Myanmar atas saran dari National Security Advisor (NSA) tersebut, diamini dan diikuti oleh sikap Panglima Militer Min Aung Hlaing dan juga oleh kelompok masyarakat lainnya, tidak terkecuali dari kelompok agama. Bahkan mereka mendukung upaya, bahwa warga Rohingnya agar tetap tidak diberikan status kewarganegaraan Myanmar. Padahal salah satu saran dari Kofi Anan adalah, untuk mengurangi dan meredam konflik mereka perlu diberi status kewarganegaraan. Hingga kini perdebatan solusi pemberian kewarganegaraan ini terus bergulir, solusi hukum, social dan keamanan masih terus menjadi bahasan di pemerintah Myanmar.
Bahkan dalam beberapa kesempatan pemerintah mensinyalir, bahwa eskalasi konflik terjadi karena isu Rohingnya telah ditunggangi kelompok teroris, sebab ada fakta bahwa penyerangan kepada aparatur keamanan Myanmar dipimpin oleh ekstrimis yang ada di Afghanistan, dan telah terjadi pergeseran isu internasional, di mana konflik etnis ini telah berkembang menjadi konflik agama.
Aparatur Keamanan Myanmar mengidentifikasi, ada 10 organisasi yang berafiliasi dengan Mujahidin dan ISIS jaringan Andaman Sea yang terkait dalam penyerangan pos-pos aparatur keamanan Myanmar. Bahkan ada fakta, bahwa sesama muslim pun jadi sasaran pembunuhan.
Pasca kegagalan PBB mencari fakta dalam peristiwa Rohingnya di akhir tahun 2016, kemudian PBB menunjuk Ketua Tim Pencari Fakta yang baru, yakni telah dilakukan pembicraan intensif dengan Dewan HAM PBB untuk menunjuk Marzuki Darusman. Nah belum lagi upaya itu dilakukan, meletus peristiwa baru.
Dalam konstelasi yang demikian itu, terjadi antiklimaks pencarian fakta dan terjadi blunder baru yang kemudian terjadi pada akhir Juli 2017. Dan yang fantastis di bulan Agustus 2017, terjadi serangan secara sistematis pada lebih dari 10 pos polisi dan 1 markas tentara di wilayah Rakhine State Bagian barat daya. Serta lagi-lagi jatuh korban terlebih dahulu di pihak aparatur keamanan, kemudian diikuti dengan operasi militer yang mengakibatkan jatuhnya puluhan korban baik dari aparat, penduduk Myanmar maupun kelompok etnis Myanmar. Dampaknya, terjadi arus pengungsian lagi ke negara terdekat, maupun pengungsian masyarakat lokal yang menghindarkan diri dari daerah konflik.
Myanmar saat ini masih menggunakan pendekatan kedaulatan negara dalam menyelesaikan konflik, sementara pendekatan HAM dan perspektif keamanan regional belum menjadi perhatian penuh. Saya melihat ini, juga disebabkan oleh kondisi politik domestik Myanmar yang belum stabil dan ajeg untuk menjalankan seluruh prinsip-prinsip demokrasi. Peristiwa ini, telah menggugah kemanusiaan kita semua namun perlu pertimbangan yang bijaksana dan lebih cermat dalam mengambil jalan sikap kita, sehingga tidak gegabah memperlebar isu dan menimbulkan konflik baru.
Di tengah situasi yang demikian itu, banyak pihak memfaatkan isu Rohingnya sesuai dengan kepentingannya. Indonesia sejak lama telah melakukan pendekatan kepada pemerintah Myanmar dan melakukan diplomasi non-megaphone dalam menyikapi isu Rohingnya. Jalan yang diambil, adalah secara simultan memberikan bantuan kemanusiaan yang diberikan kepada masyarakat Rakhine. Karena sangat disadari, di lapangan persoalan kemiskinan menjadi persoalan inti. Jalan ini merupakan kompromi dari pilihan politik luar negeri Indonesia.
Tidak hanya di situ saja, bahwa bantuan kemanusiaan Indonesia yang dikordinasikan dalam Aliansi Kemanusiaan Indonesia-Myanmar, telah melibatkan stakeholders yang lebih luas, yakni tidak hanya pemerintah saja namun juga organisasi keagamaan dan kemanusiaan, ada Mer-C, Dompet Duafa, Muhamadiyah, NU, DarutTauhid, PMI, Walubi, PKPU dkk.
Secara pro-aktif, Indonesia juga melakukan double track diplomasi, yakni tidak hanya mengirimkan bantuan kemanusiaan, namun juga melakukan appeal (tekanan) agar pemerintah Myanmar sebagai kawan baik bisa mengambil langkah yang tepat dan tidak meruncingkan keadaan, agar terjaga stabilitas keamanan regional.
Berbeda dengan Negara tetangga kita Malaysia, Malaysia memang telah mengambil sikap untuk membawa persoalan ini secara organizational ke OKI, dan secara eksplisit menyatakan kecaman kepada Myanmar. Namun sangat disayangkan, Malaysia menggandeng isu Islam dalam konflik Rohingnya ini. Myanmar balik menuduh Perdana Menteri Malaysia menggunakan isu Islam, untuk menaikan Grade Pemerintahannya yang tengah terpuruk di dalam negeri.
Saya jadi tergelitik juga, kalau di tanah air justru isu Rohingnya digeser jadi sentimen keagamaan (Islam) yang diusung oleh beberapa organisasi-organisasi yang tidak memahami secara utuh apa yang sebenarnya terjadi disana. Dan ada yang meminta pemutusan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Myanmar. Pertanyaannya, “Apakah dengan pemutusan hubungan kita bisa menyampaikan pesan masyarakat Indonesia atau menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada kelompok rohingnya maupun masyarakat yang membutuhkan disana?”.
Setiap orang punya pendapat dan cara menyampaikan pendapat, tapi apabila kita secara realistis mengedepankan fakta dan keadilan, maka langkah atau upaya yang akan kita lakukan benar-benar menjadi efektif. Isu Rohingnya, adalah isu kemanusiaan. Indonesia, PBB, OKI ASEAN telah turun melihat persoalan ini secara komprehensif, baiknya kita tak ikut-ikutan memperuncing keadaan dengan dasar penilaian yang cuma berdasarkan berita-berita yang tidak terklarifikasi, dan belum tentu kebenarannya.
Prinsipnya, kita bersepakat agar peristiwa-peristiwa yang merupakan tragedi perikemanusiaan ini agar segera dihentikan oleh seluruh pihak yang berkonflik di Myanmar. Kecaman kita, tentunya tak hanya kepada pemerintah saja, namun juga kepada kelompok Rohingnya supaya tidak melakukan tindakan yang anarkis juga.
Berilanlah kesempatan kepada pemerintah Myanmar, untuk mempertimbangkan dan melaksanakan berbagai rekomendasi dari utusan pemerintah Indonesia sebagai negara sahabat, tanpa kita berprasangka buruk terlebih dahulu agar suara kita, pesan kita, dan bantuan kemanusiaan kita dapat didengarkan dan dapat diterima daripada opsi pemutusan hubungan diplomasi, yang merupakan langkah diplomasi drastis apabila ada pelanggaran permasalahan prinsip “antar dua negara”.
Demikian tulisan ini disampaikan untuk mengajak kita kembali kepada sifat bangsa kita yang santun, bijaksana, peduli dengan ketertiban dunia dengan menghormati hak kedaulatan Myanmar.
Salam damai untuk kita semua.
Ito Sumardi
Dubes RI untuk Myanmar
BERITA
Reuni Alumni 212 Jelas Kapitalisasi Agama demi Kepentingan Politik
Jakarta – Reuni Alumni 212 yang bakal digelar awal Desember di Lapangan Monas Jakarta dianggap bentuk kapitalisasi agama demi kepentingan politik. Reuni tersebut seharusnya tidak diadakan lantaran tuntutan aksi 212 sudah diakomodasi.
Hal tersebut diungkapkan pengamat politik Lingkar Madani. Ia menilai kegiatan alumni 212 ini bukan murni kegiatan agama, melainkan kegiatan politik. Ia juga keheranan mengapa harus ada acara tersebut. Pasalnya, tuntutan aksi 212 sudah dipenuhi dengan Basuki Tjahaja Purnama dipenjara.
“Itu sudah jelas politik, enggak ada hubungannya lagi dengan agama, enggak ada hubungannya dengan dakwah, apa yang mereka tuntut sudah dipenjara kok. Apalagi gunanya, itu politik murni politik, murni untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah. Saya pikir mereka hanya mau mengapitalisasi agama ini. Mengapitalisasi agama terus-menerus untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah,” kata Ray kepada wartawan di D’Hotel, Jalan Sultan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (21/11).
Ray pun mengaku masih belum paham apa sebenarnya tujuan acara reuni alumni 212. Ia membandingkan dengan demonstrasi 1998 untuk menggulingkan rezim Soeharto dan Orde Baru. Usai berhasil menggulingkan, tak ada perkumpulan alumni maupun acara reuninya.
“Yang saya juga enggak mengerti tujuannya apa? Masak demonstrasi pakai alumni, alumni pakai reuni. Ada-ada saja. Yang besar sekali pun perjuangan 98 itu ya berhenti di 98. Waktu jatuh ya jatuh. Bahwa anggotanya membentuk kelompok-kelompok tertentu ya silakan saja. Enggak ada reuni 98 yang jatuhin soeharto, enggak ada,” imbuhnya.
Baca Juga:
BERITA
Kubu Jokowi Anggap Amien Rais Tidak Dewasa dalam Berpolitik
Jakarta – Kubu Joko Widodo-Maruf Amin menilai, pernyataan Amien Rais yang memaksa Muhammadiyah untuk memihak salah satu calon di pemilihan presiden menunjukkan sikap Amien Rais yang tidak dewasa dalam berpolitik.
Hal tersebut diungkapkan Juru Bicara Tim Kampanye Jokowi-Maruf Amin Ace Hasan Syadzily. Selain menunjukkan Amin Rais tidak dewasa, pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa sosok Amien Rais bukan negarawan tulen.
“Hanya karena beliau pendukung Prabowo-Sandi mau mendikte Muhamamdiyah mendukung paslon tertentu. Itu menunjukkan ketidakdewasaan politik sebagai politisi yang dikenal selalu menjaga demokrasi,” jelas Ace, seperti dikutip dari Merdeka.com, Rabu (21/11).
Justru, dengan paksaan dan desakan tersebut, suara Muhammadiyah malah enggan memilih Prabowo-Sandi. “Kalau terus menerus seperti itu, saya tidak yakin Prabowo mendapatkan dukungan dari Muhammadiyah,” tegasnya.
Sikap tersebut sama sekali tidak mencerminkan sosok negarawan. Politikus Partai Golkar ini menambahkan, sebagai negarawan, seharusnya Amien Rais menjaga agar ormas, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, tidak diseret ke ranah politik praktis.
“Sebetulnya secara organisasi Muhammadiyah dan NU tidak menunjukkan dukungan secara tegas, itu perlu terus dijaga bahwa citra ormas Islam tidak terseret ke dalam politik praktis hanya untuk kekuasaan semata,” tegasnya lagi.
Baca Juga:
BERITA
Penggunaan Teknologi VAR di Liga Champions Dipercepat?
Jakarta – Setelah sukses digunakan dalam beberapa turnamen FIFA, ternyata kehadiran teknologi Video Assistant Refree (VAR) disambut baik oleh sejumlah klub Eropa.
Video Asisten Wasit (VAR) kemungkinan besar akan segera diterapkan di ajang Liga Champions, tepatnya ketika memasuki babak knock out alias fase gugur di musim ini. Wacana tersebut langsung berasal dari Presiden UEFA Aleksander Ceferin dan Ketua Asosiasi Klub Eropa Andrea Agnelli.
Dilansir dari Soccerway, Selasa (20/11), sebelumnya VAR sendiri akan diberlakukan di Liga Champions mulai musim depan, namun belakangan wacana tersebut akan dipercepat dalam rangka untuk proses pengujian teknologi tersebut.
“Kami sudah mulai melakukan semua persiapan. [Kepala wasit UEFA] Roberto Rosetti dan timnya sangat bagus. Ada sudut pandang penting – wasit dan semua aspek teknis,” kata Ceferin dalam konferensi pers di Brussels.
“Saya mengharapkan laporan dalam seminggu atau lebih dan kemudian kita akan melihat kapan kita dapat menerapkannya. Pada musim depan yang terbaru,” sambungnya.
Senada dengan Ceferin, Agnelli yang notabene merupakan pemilik Juventus siap mendukung wacana UEFA untuk mempercepat penerapan VAR di ajang Liga Champions.
Baca Juga: