Hasil Lengkap Rekomendasi Munas dan Konbes NU 2017 Hasil Lengkap Rekomendasi Munas dan Konbes NU 2017
Mataram – Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU), yang digelar di Mataram, Nusa Tenggara Barat, dari 23 – 25 November 2017, akhirnya membuahkan sejumlah rekomendasi. Tentu saja rekomendasinya terkait sejumlah problem yang dihadapi bangsa Indonesia. Seperti apakah rekomendasinya? Berikut rekomendasi tersebut.
REKOMENDASI
MUSYAWARAH NASIONAL ALIM ULAMA
DAN KONFERENSI BESAR NAHDLATUL ULAMA
NTB, 23-25 NOVEMBER 2017
Latar Belakang
Indonesia tengah menghadapi berbagai ujian kebangsaan yang tercermin dari lunturnya nasionalisme, maraknya penggunaan sentimen SARA dalam kehidupan sosial-politik, menjamurnya radikalisme dan sektarianisme, serta maraknya korupsi dan terorisme yang berimpit dengan gejala kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan ekonomi.
NU melihat persoalan ketimpangan telah menjadi ancaman nyata bagi persatuan dan kesatuan nasional. Kekayaan dimonopoli segelintir orang yang menguasai lahan, jumlah simpanan uang di bank, saham perusahaan, dan obligasi pemerintah. Menurut World Bank (2015), Indonesia adalah negara ranking ketiga tertimpang setelah Rusia dan Thailand. Gini rasio mencapai 0,39 dan indeks gini penguasaan tanah mencapai 0,64. 1% orang terkaya menguasai 50,3 persen kekayaan nasional, 0,1% pemilik rekening menguasai 55,7% simpanan uang di bank. Sekitar 16 juta hektar tanah dikuasai 2.178 perusahaan perkebunan, 5,1 juta hektar di antaranya dikuasai 25 perusahaan sawit. Jumlah petani susut dari 31 juta keluarga tani menjadi 26 juta, dua pertiganya adalah petani yang terpuruk karena penyusutan lahan dan hancurnya infrastruktur pertanian. 15,57 juta petani tidak punya lahan. Meningkatnya ketimpangan secara nyata mengancam sendi-sendi kebangsaan karena selain faktor paham keagamaan, ketimpangan ekonomi adalah lahan subur berseminya ekstremisme dan radikalisme.
Radikalisme agama saat ini merupakan kecenderungan global yang terjadi bukan hanya pada masyarakat Islam, tetapi pada berbagai agama. Salah satu penyumbangnya adalah politik populisme yakni kecenderungan kelompok mayoritas menuntut privilese atas posisinya sebagai mayoritas. Di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, kelompok white supremacist merasa lebih berhak atas negara daripada kelompok lainnya. Di Asia, mayoritarianisme muncul dalam bentuk identitas kelompok agama. Di dalam kelompok mayoritas agama, muncul kelompok ekstrem yang mendorong terjadinya radikalisasi agama seperti ekstrem Buddha di Myanmar, ekstrem Hindu di India, dan militan Muslim di Timur Tengah dan Asia. Populisme dapat menjurus kepada terorisme atau eksklusivisme. Praktek eksklusivisme agama, meski tidak melakukan teror atau kekerasan, berpotensi menciptakan ketegangan masyarakat dan konflik antarumat Islam karena menuding kelompok lain sebagai pelaku bid’ah.
Indonesia dikenal sebagai negeri Muslim demokratis dengan ciri Islam moderat. Indonesia perlu mengekspor Islam Nusantara dengan partisipasi aktif sebagai penyeru perdamaian, toleransi, dan keadilan di ranah regional dan internasional. Indonesia perlu lebih aktif terlibat dalam penyelesaian isu kemanusiaan regional seperti kasus Rohingya di Myanmar.
Sebagai negeri dengan populasi terbesar keempat setelah China, India, dan Amerika, Indonesia diramalkan akan mengalami bonus demografi dengan penduduk usia produktif yang menggerakkan ekonomi dari sisi konsumsi dan produksi. Namun, gejala gizi buruk kronis (stunting) dapat membuyarkan bonus demografi menjadi bencana demografi. Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus stunting tertinggi di Asia dan menduduki posisi ke-17 dari 117 negara di dunia dengan 27,5% bayi di Indonesia mengalaminya (Data Kementerian Kesehatan 2016). Kasus stunting lebih banyak ditemukan pada masyarakat desa (42,1%) dengan status pendidikan rendah (41,8%). Selain oleh rendahnya kemampuan daya beli terhadap makanan bergizi, stunting juga disebabkan karena rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Stunting berdampak pada tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit, menurunnya produktivitas, yang pada gilirannya mengerem laju pertumbuhan ekonomi, meningkatnya kemiskinan, dan ketimpangan sosial.
Pemberdayaan harus dimulai dari pendidikan yang memartabatkan manusia. Pendidikan harus difasilitasi negara yang diperoleh sebagai hak dasar warga negara, bukan komoditas atau sektor jasa yang diperjualbelikan. Alokasi wajib 20% APBN untuk pendidikan patut diapresiasi, tetapi pemenuhan hak dasar warga dalam bidang pendidikan masih jauh panggang dari api. Kesenjangan mutu pendidikan dan kesenjangan mutu layanan bukan hanya terjadi antara sekolah negeri dengan swasta, sekolah umum dengan sekolah madrasah, tetapi juga kesenjanagan antara kota dan desa, Jawa dan luar Jawa. Kendatipun dana APBN yang dialokasikan untuk pendidikan sudah cukup besar, tetapi belum teralokasikan secara efektif sehingga belum menghasilkan pendidikan berkualitas. Menurut Bank Dunia (Oktober 2017), Indonesia masih butuh waktu 45 tahun untuk menyamai tingkat literasi negara-negara maju yang tergabung dalam OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) dan 75 tahun mengejar prestasi ilmu pengetahuan dan sains.
Pesantren adalah salah satu institusi tertua yang mengajarkan pendidikan karakter dan paham keagamaan yang ramah dan moderat. Jumlahnya kini mencapai 28.961 unit dengan jumlah santri mencapai 4.028660. Namun, pesantren belum mendapat tempat terhormat dalam sistem pendidikan nasional. Belum ada regulasi dan instansi khusus yang membidangi dan mengatur pendidikan pesantren dan lembaga keagamaan. NU menyambut baik terbitnya Peraturan Presiden No. 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang mengakomodasi aspirasi komunitas madrasah, tetapi konsepsi pendidikan karakter perlu secara khusus merujuk kepada pesantren sebagai role model sebagaimana dinyatakan oleh Ki Hadjar Dewantara (pendiri Taman Siswa) dan Dr. Soetomo (pendiri Boedi Oetomo) yang mengakui pesantren sebagai sistem ideal pendidikan karakter bangsa.
Rekomendasi
Berdasarkan pokok-pokok narasi di atas, Nahdlatul Ulama perlu mengeluarkan rekomendasi dalam sejumlah bidang.
Ekonomi dan Kesejahteraan
1. Pemerintah perlu mengawal agenda pembaruan agraria, tidak terbatas pada program sertifikasi tanah, tetapi redistribusi tanah untuk rakyat dan lahan untuk petani. Agenda pembaruan agraria selama ini tidak berjalan baik karena Pemerintah tidak punya komitmen kuat menjadikan tanah sebagai hak dasar warga negara. Pemerintah perlu segera melaksanakan program pembaruan agraria meliputi:
a. Pembatasan penguasaan tanah/hutan;
b. Pembatasan kepemilikan tanah/hutan;
c. Pembatasan masa pengelolaan tanah/lahan;
d. Redistribusi tanah/hutan dan lahan terlantar;
e. Pemanfaatan tanah/hutan dan lahan terlantar untuk kemakmuran rakyat;
f. Penetapan TORA (Tanah Objek Agraria) harus bersifat partisipatoris, melibatkan peran serta masyarakat, dan tidak bersifat top down;
g. Data TORA harus akurat;
h. Perlu dibentuk Badan Otorita ad hoc yang bertugas mengurus restrukturisasi agraria;
i. Perlu dukungan instansi militer dan organisasi masyarakat sipil.
2. Pemerintahan perlu memberikan perhatian lebih kepada pembangunan pertanian dengan mempercepat proses industrialisasi pertanian dengan menempuh sejumlah langkah yang dimulai dengan pembagian lahan pertanian dan pencetakan sawah baru, peningkatan produktivitas lahan, perbaikan dan revitalisasi infrastruktur irigasi, proteksi harga pasca panen, perbaikan infrastruktur pengangkutan untuk mengurangi biaya logistik, dan pembatasan impor pangan, terutama yang bisa dihasilkan sendiri di dalam negeri. Pemerintah perlu menjalankan program pro-petani sepertipemberdayaan koperasi petani, kredit usaha petani, asuransi petani (menghadapi ekternalitas dan perubahan iklim), peningkatan kapasitas petani, inovasi teknologi pertanian, penciptaan pasar dan nilai tambah komoditas, penciptaan lahan pertanian, riset pertanian, dan menyiapkan lahirnya petani-petani baru.
3. Pemerintah perlu konsistem menempuh strategi pembangunan ekonomi inklusif yang menciptakan link antara makroekonomi dan mikroekonomi, antara sektor penghasil barang dan sektor jasa, antara pasar modal dan pasar riil, antara perbankan dengan sektor usaha dan usaha mikro kecil menengah (UMKM), antara daratan dan lautan, antara kota dan desa, antara Kawasan Indonesia Barat (KIB) dan Kawasan Indonesia Timur (KIT).
4. Pemerintah perlu mengendalikan liberalisasi perdagangan dengan mengerem perkembangan bisnis retail di tingkat kecamatan/desa karena berpotensi merampas lapak ekonomi rakyat. Menjamurnya bisnis ritel modern di berbagai pelosok negeri telah menjadi ancaman bagi usaha warung-warung kecil di daerah.
5. Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang diarahkan untuk penguatan dan perlindungan kegiatan perekonomian sektor informal agar tidak rentan terhadap ekternalitas (penertiban, penggusuran, volatilitas harga dan lainnya). Sektor informal terbukti mampu menyelematkan perekonomian nasional di saat krisis, tetapi tidak punya daya tawar di hadapan institusi perbankan, lembaga keuangan non-bank, produsen, dan pemerintah sehingga tidak punya jaminan kelangsungan usaha.
6. Pemerintah perlu mendukung program ekonomi warga melalui kebijakan dan anggarandengan: (i) melakukan perluasan kesempatan kerja untuk mengurangi pengangguran dan ketimpangan dengan menciptakan iklim usaha mikro-menengah-besar yang kondusif dan meningkatkan kualitas angkatan kerja khususnya yang menyasar santri; (ii) menjaga stabilitas harga dengan intervensi pasar dan daya beli masyarakat dengan optimalisasi dana desa untuk pemberdayaan ekonomi warga, program padat karya dan program cash-transfer; (iii) memberikan kemudahan izin, akses permodalan dan perlindungan harga kepada produsen lokal skala menengah-kecil baik yang formal maupun yang informal; (iv) mendukung langkah-langkah NU dan organisasi sosial dalam upaya pemberdayaan ekonomi warga, baik dari sisi anggaran maupun program.
Pencegahaan dan Penanggulangan Radikalisme
1. Pemerintah perlu bersikap dan bertindak tegas untuk mengatasi persoalan radikalisme dengan tetap mengedepankan pendekatan kemanusiaan. Karena itu, diperlukan strategi nasional (STRANAS) yang komprehensif meliputi aspek agama, pendidikan, politik, keamanan, kultural, sosial-ekonomi, dan lingkungan berbasis keluarga.
2. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama perlu mengambil peran lebih aktif sebagai leading sector dalam strategi nasional penanganan radikalisme agama, terutama mengawasi perkembangan aliran keagamaan dan mengembangkan sistem respons dini terhadap aliran keagamaan yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Pemerintah perlu menjadikan pendidikan sebagai garda depan pencegahan radikalisme melalui penguatan pendidikan karakter berwawasan moderatisme dalam implementasi kurikulum, peningkatan kapasitas tenaga pendidik, dan pengelolaan program strategis seperti bidik misi dan LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan).
4. Revitalisasi Pancasila sebagai falsafah bangsa dengan mengoptimalkan peran UKPPIP (Unit Kerja Presiden untuk Pembinaan Ideologi Pancasila) dalam pemantapan ideologi Pancasila di lingkungan aparatur sipil negara (ASN), kementerian dan lembaga-lembaga negara (K/L), BUMN, dan TNI/Polri.
5. Partai politik dan politisi harus berhenti menggunakan sentimen agama dalam pertarungan politik praktis. Memainkan sentimen agama untuk perebutan kekuasaan 5 tahunan merupakan tindakan tidak bertanggungjawab yang dapat mengoyak kelangsungan hidup bangsa.
6. Aparat penegak hukum harus menjamin hak konstitusional warga negara dan tidak tunduk kepada tekanan kelompok radikal, serta tegas menindak terhadap:
a. setiap tindakan pelanggaran hukum yang mengatasnamakan agama, terutama ujaran kebencian (hate speech) dan hasutan untuk melakukan kekerasan (incitement to violence) agar tidak semakin lepas kendali.
b. Penggunaan sentimen agama dalam pertarungan politik praktis oleh partai politik dan politisi agar dapat menjadi efek jera.
7. Organisasi-organisasi Islam Indonesia perlu memperkuat jaringan Islam moderat yang selama ini sering dijadikan teladan dunia Islam dan role model bagi masyarakat dunia.
Kesehatan dan Kesejahteraan
1. Pemerintah perlu melakukan upaya-upaya promotif pencegahan dan penanggulangan masalah gizi khususnya stunting di seluruh wilayah Indonesia demi masa depan generasi bangsa yang lebih berkualitas.
2. Pemerintah perlu melakukan sinergi lintas sektor dan lintas program agar tercipta keterpaduan upaya penanggulangan stunting. Pemerintah perlu bekerjasama dengan kelompok-kelompok masyarakat dalam upaya pencegahan stunting.
3. Mengajak lembaga dan organisasi keagamaan untuk secara aktif mengkampanyekan pencegahan stunting terutama pada 1000 hari pertama kehidupan (sejak anak dalam kandungan sampai anak usia 2 tahun) dan mendorong upaya peningkatan kesehatan dan gizi bagi masyarakat Indonesia.
4. Mengajak kiai dan ulama seluruh Indonesia untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang gizi ibu dan gizi anak melalui berbagai kegiatan dakwah.
5. Menyerukan kepada masyarakat untuk memastikan pemberian gizi terbaik bagi ibu hamil dan anak terutama masa usia di bawah 2 tahun, dengan memperhatikan asupan gizi selama kehamilan, Inisiasi Menyusu Dini (IMD), pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan dan melanjutkan pemberian ASI selama 2 tahun serta pemberian makanan pendamping ASI padat gizi sejak bayi berusia 6 bulan.
6. Pemerintah perlu memperhatikan secara serius terhadap kaum disabilitas dengan menyediakan berbagai akses dan kemudahan di segala bidang agar mereka bisa mendapat kesempatan seperti orang normal pada umumnya.
Pendidikan
1. Pemerintah perlu melakukan kebijakan afirmatif dengan segera membuat UU tentang Pesantren dan Lembaga Pendidikan Keagamaan sebagaimana termuat dalam Ketetapan DPR RI Nomor 7/DPR-RI/II/2016 -2017 tentang Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2017 nomor rut 43. Regulasi tersebut perlu mengatur peningkatan mutu pesantren dan lembaga pendidikan agama agar dapat berperan lebih aktif dalam menangkal ekstremisme dan radikalisme.
2. Pemerintah perlu membentuk Kementerian Urusan Pesantren sebagai langkah promotif memajukan pesantren dan pendidikan keagamaan melalui kebijakan, program, dan anggaran.
3. Melakukan revisi dan revitalisasi UU nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memungkinkan upaya peningkatan mutu guru tidak dihambat oleh UU Otonomi Daerah.
4. Pemerintah perlu menindaklanjuti Perpres No. 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) melalui kebijakan operasional dan anggaran di sekolah dan madrasah tanpa membeda-bedakan sekolah negeri dan swasta.
5. Pemerintah perlu membuat metode dan aplikasi pendidikan untuk kaum disabilitas.
Politik Dalam Negeri dan Internasional
1. KPK:
a. KPK masih diperlukan keberadaannya dan perlu dilindungi dari serangan berbagai pihak, karena itu Pemerintah perlu mengonsolidasikan kekuatan aparatur pemerintahan dan partai-partai pendukung pemerintah untuk ikut dalam barisan penegakan dan penguatan pemberantasan korupsi oleh KPK.
b. Pengawasan yang ketat terhadap politik uang (money politics) dan korupsi terhadap pelaksanaan pilkada oleh semua pihak dengan melibatkan secara intensif lembaga-lembaga penegak hukum termasuk KPK.
c. Memberi sanksi berat kepada siapa saja yang terlibat dalam politik uang dan korupsi dalam pelaksanaan Pilkada.
d. Memperketat persyaratan dan kriteria track record dan success story calon Kepala Daerah yang bersih dari korupsi dan telah memiliki pengalaman melakukan perbaikan lembaga-lembaga tertentu yang berorentasi pada keterbukaan, kejujuran, dan keadilan.
e. Melibatkan lembaga-lembaga masyarakat atau masyarakat sipil secara formal dalam pelaksanaan pilkada 2018 dengan tujuan untuk mereduksi politk uang dan korupsi.
2. Myanmar
a. Pemerintah perlu mengambil sikap lebih tegas kepada pemerintah Myanmar atas perlakuannya yang tidak patut bukan hanya kepada etnis Rohignya, tetapi juga kepada suku-suku minoritas lain yang tertindas di Myanmar. Indonesia perlu memanfaatkann posisinya untuk menekan negara-negara anggota ASEAN agar lebih bersikap tegas terhadap semua aksi kekeasan dan pemusnahan etnis tersebut.
b. Indonesia perlu memelopori agar ASEAN mengambil inisiatif mendesak PBB dan negara-negara demokrasi internasional memberikan sanksi lebih berat kepada Myanmar dan menghentikan aksi semua kekerasn, penindasan dan penghapusan etnis Rohingya.
3. Arab Saudi:
a. Pemerintah perlu mencermati dinamika perubahan politik yang sedang terjadi di Arab Saudi dan mendorong agar dinamika ini mengarah kepada moderatisme Islam sebagaimana yang telah menjadi arus besar Islam Indonesia.
b. Nahdlatul Ulama menyambut baik keinginan Arab Saudi yang ingin kembali ke Islam moderat dan mengajak pemerintah Arab Saudi bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia menciptakan dialog yang sehat dan terbuka untuk perdamaian Timur Tengah dan dunia.
Ditetapkan di: Bengkel, Labuapi, Lombok Barat, NTB
Pada tanggal: 5 Rabiul Awwal 1439 H/24 November 2017 M
Tim Rekomendasi
1. Masduqi Baidlawi (koordinator)
2. Alissa Wahid
3. Ahmad Suaedy
4. M. Kholid Syeirazi
5. Anggia Ermarini
6. Arifin Junaidi
Ping
BERITA
Reuni Alumni 212 Jelas Kapitalisasi Agama demi Kepentingan Politik
Jakarta – Reuni Alumni 212 yang bakal digelar awal Desember di Lapangan Monas Jakarta dianggap bentuk kapitalisasi agama demi kepentingan politik. Reuni tersebut seharusnya tidak diadakan lantaran tuntutan aksi 212 sudah diakomodasi.
Hal tersebut diungkapkan pengamat politik Lingkar Madani. Ia menilai kegiatan alumni 212 ini bukan murni kegiatan agama, melainkan kegiatan politik. Ia juga keheranan mengapa harus ada acara tersebut. Pasalnya, tuntutan aksi 212 sudah dipenuhi dengan Basuki Tjahaja Purnama dipenjara.
“Itu sudah jelas politik, enggak ada hubungannya lagi dengan agama, enggak ada hubungannya dengan dakwah, apa yang mereka tuntut sudah dipenjara kok. Apalagi gunanya, itu politik murni politik, murni untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah. Saya pikir mereka hanya mau mengapitalisasi agama ini. Mengapitalisasi agama terus-menerus untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah,” kata Ray kepada wartawan di D’Hotel, Jalan Sultan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (21/11).
Ray pun mengaku masih belum paham apa sebenarnya tujuan acara reuni alumni 212. Ia membandingkan dengan demonstrasi 1998 untuk menggulingkan rezim Soeharto dan Orde Baru. Usai berhasil menggulingkan, tak ada perkumpulan alumni maupun acara reuninya.
“Yang saya juga enggak mengerti tujuannya apa? Masak demonstrasi pakai alumni, alumni pakai reuni. Ada-ada saja. Yang besar sekali pun perjuangan 98 itu ya berhenti di 98. Waktu jatuh ya jatuh. Bahwa anggotanya membentuk kelompok-kelompok tertentu ya silakan saja. Enggak ada reuni 98 yang jatuhin soeharto, enggak ada,” imbuhnya.
Baca Juga:
BERITA
Kubu Jokowi Anggap Amien Rais Tidak Dewasa dalam Berpolitik
Jakarta – Kubu Joko Widodo-Maruf Amin menilai, pernyataan Amien Rais yang memaksa Muhammadiyah untuk memihak salah satu calon di pemilihan presiden menunjukkan sikap Amien Rais yang tidak dewasa dalam berpolitik.
Hal tersebut diungkapkan Juru Bicara Tim Kampanye Jokowi-Maruf Amin Ace Hasan Syadzily. Selain menunjukkan Amin Rais tidak dewasa, pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa sosok Amien Rais bukan negarawan tulen.
“Hanya karena beliau pendukung Prabowo-Sandi mau mendikte Muhamamdiyah mendukung paslon tertentu. Itu menunjukkan ketidakdewasaan politik sebagai politisi yang dikenal selalu menjaga demokrasi,” jelas Ace, seperti dikutip dari Merdeka.com, Rabu (21/11).
Justru, dengan paksaan dan desakan tersebut, suara Muhammadiyah malah enggan memilih Prabowo-Sandi. “Kalau terus menerus seperti itu, saya tidak yakin Prabowo mendapatkan dukungan dari Muhammadiyah,” tegasnya.
Sikap tersebut sama sekali tidak mencerminkan sosok negarawan. Politikus Partai Golkar ini menambahkan, sebagai negarawan, seharusnya Amien Rais menjaga agar ormas, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, tidak diseret ke ranah politik praktis.
“Sebetulnya secara organisasi Muhammadiyah dan NU tidak menunjukkan dukungan secara tegas, itu perlu terus dijaga bahwa citra ormas Islam tidak terseret ke dalam politik praktis hanya untuk kekuasaan semata,” tegasnya lagi.
Baca Juga:
BERITA
Penggunaan Teknologi VAR di Liga Champions Dipercepat?
Jakarta – Setelah sukses digunakan dalam beberapa turnamen FIFA, ternyata kehadiran teknologi Video Assistant Refree (VAR) disambut baik oleh sejumlah klub Eropa.
Video Asisten Wasit (VAR) kemungkinan besar akan segera diterapkan di ajang Liga Champions, tepatnya ketika memasuki babak knock out alias fase gugur di musim ini. Wacana tersebut langsung berasal dari Presiden UEFA Aleksander Ceferin dan Ketua Asosiasi Klub Eropa Andrea Agnelli.
Dilansir dari Soccerway, Selasa (20/11), sebelumnya VAR sendiri akan diberlakukan di Liga Champions mulai musim depan, namun belakangan wacana tersebut akan dipercepat dalam rangka untuk proses pengujian teknologi tersebut.
“Kami sudah mulai melakukan semua persiapan. [Kepala wasit UEFA] Roberto Rosetti dan timnya sangat bagus. Ada sudut pandang penting – wasit dan semua aspek teknis,” kata Ceferin dalam konferensi pers di Brussels.
“Saya mengharapkan laporan dalam seminggu atau lebih dan kemudian kita akan melihat kapan kita dapat menerapkannya. Pada musim depan yang terbaru,” sambungnya.
Senada dengan Ceferin, Agnelli yang notabene merupakan pemilik Juventus siap mendukung wacana UEFA untuk mempercepat penerapan VAR di ajang Liga Champions.
Baca Juga: