Connect with us

“Indonesia Butuh Seribu Rumah Edukasi Narkoba”

Pegiat Antinarkoba, Irjen Pol (Purn) Benny MamotoFoto: Novianto / Fakta.News

Narkotika dan obat-obatan terlarang atau yang biasa disebut Narkoba, hingga saat ini masih menjadi musuh dunia. Tak terkecuali Indonesia. Pemerintah pun terus mengampanyekan gerakan anti benda haram tersebut.

Perang terhadap pengedar dilantangkan. Darurat untuk menolong korban dan melindungi yang belum terjerat didengungkan. Namun narkoba seakan tak mengenal kata usai. Sadar terus berkembang, pemerintah tak lantas pasrah dalam lelah. Segala bentuk upaya terus dicari dan dicari, demi keberlangsungan hidup tiap generasi.

Benny Mamoto, mungkin memang hanya satu dari segelintir orang yang tak lelah.  Pria yang mengaku kerap sakit bila tak melakukan kegiatan ini pun memutuskan untuk tetap bergulat di dunia yang sama kala masih aktif sebagai Deputi Bidang Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN).

Salah satu upayanya adalah dengan mendirikan Wale Anti Narkoba, sebuah rumah edukasi yang berisi segala informasi mengenai narkoba. Menurutnya, dalam menghadapi “pembunuh” ini jangan hanya menyerukan perang terhadap narkoba, tapi juga tanggap darurat narkoba dengan melindungi yang belum terjerumus.

“Perang itu berarti terhadap pengedar. Darurat berarti menolong yang sudah menjadi korban dan melindungi yang belum terjerumus, demikian kata pria murah senyum berpangkat Irjen Pol (Purn) ini.

Lantas, seperti apakah Wale Anti Narkoba itu? Dalam bahasa setempat, Wale sendiri berarti rumah. Saat ini baru ada satu di Indonesia.

Untuk itu, redaksi Fakta.News sengaja mewawancara secara eksklusif pemegang rekor muri terbanyak se-Indonesia itu (34 buah). Meski baru mendarat dari Belitung, tak tertangkap sedikitpun raut lelah di wajahnya. Berikut petikan wawancaranya:

Jadi bagaimana Anda mendapatkan gagasan rumah edukasi ini?

Jadi saat itu saya masih aktif (di BNN). Selesai melakukan operasi penangkapan, saya berpikir, mau sampai kapan terus begini. Mau sampai kapan hanya nangkepin. Lalu saya teringat ketika pernah berkunjung ke Museum Narkoba di Chiang Saen, Provinsi Chiang Rai, Thailand—yang dulunya ladang opium.

Lalu saya juga pernah ke Museum Narkoba di tempat perang candu, di Beijing, Cina. Nah dari situ saya berpikir, ah kenapa konsepnya enggak kita terapkan di Indonesia. Terutama konsep museumnya. Apalagi di Indonesia jejak sejarah, rute, keterangan, dan segala bentuk informasi mengenai narkoba sangat minim. Begini saja deh, materinya saya bikin segala sesuatu dan informasi tentang narkoba.

Pada 2013, tibalah saat ingin merealisasikannya. Saya berpikir lagi, bagaimana supaya biayanya ringan. Lalu saya buat, bangunan semi permanen, ada batu bata, tapi bahan utama lainnya kayu, atap seng. Itu murah. Saat itu masih amatiran, belum melibatkan arsitek ataupun desain interior. Bikin sendiri saja. Jadi hanya sharing dengan tukang saja. Alurnya bagaimana, modelnya bagaimana, semua spontan.

Lalu saya juga melibatkan tim, terdiri dari anggota saya dan beberapa orang yang ikut sama-sama. Lalu akhirnya ikut menyusun materi dan segala macamnya. Memang yang sulit itu menyusun materinya, yakni tentang seluruh informasi mengenai narkoba.

Nah sudah begitu, kita mulai, akhirnya jadi dan diresmikan oleh Ibu MenkoPolhukam, Ibu Djoko Suyanto, bersama sejumlah istri wakil menteri lainnya. Dihadiri Pak Gorrys Mere, Deputi Pencegahan segala macam, setelah itu kunjungan mulai datang. Dulu namanya Wale Anti Narkoba, wale artinya rumah.

hall-if-opium

Museum Hall of Opium di Provinsi Chiang Rai

Respons masyarakat saat itu?

Pengunjung dari hari ke hari makin banyak. Saya tanya komentar yang datang, misalnya ke anak-anak. Bagaimana, Dik? Oh ngeri Om, saya enggak mau narkoba. Lalu ibu-ibu juga bilang, aduh Pak Benny terima kasih ya, anak saya akan saya bawa ke sini. Saya yakin kalau dia lihat, dia enggak akan terpengaruh.

Memang apa yang dilihat?

Di situ ada gambar-gambar dan keterangan kerusakan fisik, segala macam, tersimbolisasi ada peti mati juga, ada tengkorak, kemudian gambar-gambar lainnya. Namun tahun 2015 kebakaran. Saya curiga itu dibakar.

opium-war-museum

Opium war museum

Dibakar? Mengapa ada orang yang mau membakarnya?

Ya. Kenapa saya pikir sengaja dibakar, karena habis itu website kami juga di-hack. Api yang muncul juga bersamaan di beberapa titik. Pagar terlihat roboh seperti akibat dinaiki orang. Rumah itu dianggap akan mengganggu pemasaran narkoba. Ketika anak-anak berhasil diedukasi, narkoba enggak laku.

Tapi setelah kejadian itu saya sampaikan ke teman-teman, kita lawan, jangan menyerah. Saya kasih waktu satu minggu sudah harus terbangun kembali. Letaknya agak bergeser sedikit. Tepatnya di Gedung pertemuan. Saya sekat-sekat, sampai malam. Materi (yang berisi segala informasi tentang narkoba) juga kita print kembali, replika kita beli lagi. Dalam tempo seminggu, atau sekira setelah sepuluh hari, jam 11 malam, kita resmikan kembali.

Persis seperti semula?

Ada beberapa perubahan. Materinya kita sesuaikan dengan selera anak muda. Hingga saat ini sudah kita rombak tiga kali, kita lihat selera anak muda itu bagaimana sih. Baik itu bahasanya, tampilan desain grafisnya, dan lain-lain.

Kami juga bekerja sama dengan Polsek setempat. Untuk bersosialisasi juga. Saya ajak mereka approach kepala dinas pendidikan. Tingkat Kecamatan, tingkat Kabupaten, supaya anak-anak sekolah itu secara bergiliran diajak. Kita tunjukkan bahwa kita tidak kalah.

Mengapa Anda begitu ngotot membangun kembali?

Saat itu, penyalahguna narkoba, katakanlah di Sulawesi Utara saja, menyentuh 42.876 pemakai. Sulut sampai masuk ranking 9 dari 34 provinsi untuk jumlah pemakai Narkoba. Awalnya saya ingin membangun panti rehab. Tapi panti rehab lebih diperuntukkan bagi pengguna yang sudah terlanjur terjerumus. Sedangkan tujuan kita orang yang belum menjadi pemakai. Saya ingin menekan jumlah pemakai Narkoba di Sulut. Jadi siapapun yang datang ke sini, akan dijelaskan bahaya menggunakan Narkoba. Akhirnya, kita akan mengurangi jumlah pemakai melalui edukasi-edukasi seperti ini.

Nah, sekarang sudah ada 143 ribu anak-anak di Minahasa. Sementara rumah edukasi ini baru satu lokasi. Sedangkan untuk mengedukasi 140 juta penduduk yang berada dalam usia produktif dari 10-50 tahun, diperlukan 1000 rumah edukasi. Kabupaten Kota masing-masing satu. Ibu kota provinsi seperti DKI ini bisa 6-8 atau bahkan lebih. Akan lebih baik juga bila setiap perguruan tinggi bisa punya satu, sekolah-sekolah besar punya satu. Masing-masing wali kota buat satu-satu.

Jadi menurut Anda, rumah edukasi ini bisa menekan jumlah penyalahguna?

Saya hitung-hitung, jika se-Indonesia bergerak bersama, maka 140 juta orang itu akan teredukasi bersama. Jika berhasil, dalam tiga tahun, laju penyalahguna enggak akan seperti sekarang. Akan landai. Karena tiap ada orang mau nawarin, orang yang teredukasi akan takut, sudah tau kalau nanti akan begini, begitu. Ia juga tahu barangnya itu kaya begini, cara memasarkannya begini, jebakannya begini, tipu muslihatnya begini. Itu semua ada di rumah edukasi.

Juga merupakan cara yang murah dan efektif….

Ya. Saya ini sering ceramah. Itu kalau ceramah kira-kira 200 orang bahkan lebih. Durasinya dua jam, sebab kalau lebih, konsentrasinya pasti sudah pecah. Ini pun efektif juga.

Sebab model saya ceramah juga berbeda. Bukan lagi menjelaskan data, tapi dalam bentuk cerita. Misalnya siapa penggemar Raffi Ahmad. Kenapa dia pernah ditangkap? Di sini orang lebih tertarik. Lalu saya cerita mengapa seorang artis banyak yang menyalahgunakan. Karena dia kurang tidur, butuh istirahat, harus mengejar target.

Lalu saya cerita lagi. Apa yang dia konsumsi? Namanya metilon. Apa itu Metilon? Di situ orang sudah semakin tertarik mendengarkan. Nah tinggal kita masuk ke informasi mengenai jenis-jenis narkoba baru. Sekarang ini ada 60 jenis baru. Di dunia bahkan ada 600 jenis baru. Itu narkoba sintetis, bisa dibuat sesuai dengan permintaan pemesan. Saya sampaikan juga sekarang sudah banyak (narkoba) yang tidak alami lagi. Sudah susah menanam opium, ganja, karena pakai satelit bisa dibaca.

Nah, model ceramah seperti ini yang banyak disukai orang. Tapi itu hanya bisa mencakup 200 orang. Sudah begitu panitia harus selalu menyiapkan tempat, konsumsi, dan biaya-biaya lain. Sementara dengan rumah edukasi bisa berbeda. Pertama pengunjung pasti mendapat sertifikat. Penjelasan juga bisa komprehensif dan bisa terjadi dialog.

Di Cina dan Thailand namanya Museum Narkoba. Sedangkan yang Anda terapkan di sini adalah rumah edukasi…

(Museum) di sana memang lebih kepada jejak sejarah, museumnya, perang candu, alat-alatnya, peristiwa besarnya. ‘Jadi lebih ke museum’. Sedangkan kita, jejak sejarah itu tinggal di UI Salemba—yang dulu pernah jadi gudang candu. Itu masih ada, tapi sekarang sudah menjadi ruang kuliah. Sementara alat-alatnya yang digunakan zaman dulu sudah jarang, jejaknya susah. Jadi kalau menyebut rumah edukasi ini museum memang kurang tepat.

Kami mendaftar di Kemendikbud memang sebagai museum, tapi yang berkategori khusus. Satu-satunya di Indonesia. Kita lebih kepada konsep edukasi yang berarti menyiapkan selengkap mungkin secara komprehensif apa itu narkoba, jenisnya apa, alami itu apa, sintetis dan semisintetis itu apa, wujudnya bagaimana, alatnya seperti apa, dampak sesudah memakai itu seperti apa, kemudian bagaimana sih cara bandar merekrut konsumen, bagaimana modusnya merekrut kurir, bagaimana jalur peredarannya, kemudian hasil-hasil survei penyalahguna di tingkat sekolah, penyalahguna pengangguran atau pekerja, ada semua datanya di situ, termasuk rankingnya. Ada juga rehabilitasi itu apa sih, prosesnya bagaimana, assesment itu apa, hukumannya apa, semua kami sajikan. Jadi akan lebih pas jika namanya rumah edukasi. Namun bukan berarti kita tidak bisa membuatnya menjadi museum.

Dan Indonesia membutuhkan seribu rumah edukasi?

Kalau bicara soal apa yang dibutuhkan Indonesia, ini harus serius dan seimbang. Menekan pasokan, sekarang ini sedang gencar kita lakukan. Hal ini identik dengan istilah perang terhadap sindikat. Indonesia kan sudah lama menyatakan perang melawan narkoba, kan? Tapi itu konotasinya kepada pemasok sindikat narkoba.

Tapi kalau bicara Indonesia darurat narkoba, itu menolong, menyembuhkan, memulihkan.  Berarti melindungi yang belum terkena atau menolong yang sudah kena. Itu baru konotasi dari darurat. Dua istilah ini berbeda dan harus ditekankan bahwa menyatakan perang konotasinya perang tehadap sindikat, bukan kepada penyalahguna. Darurat berarti ayo kita tolong, yang belum kita lindungi.

Soal Rehabilitasi, menurut Anda kita sudah mencukupi?

Harus diakui, jujur, rehabilitasi hanya mampu menampung 50 ribu korban dalam setahun, sedangkan sekarang jumlah korbannya 6 juta. Berarti butuh berapa tahun? Apalagi setiap hari bertambah. Maka pilihan saya, edukasi. Edukasi ini merupakan tindakan paling murah.

Kita tinggal buat satu, update datanya terus menerus, ajak anak-anak sekolah datang. Perlu diketahui juga, kita ini sekarang sampai kewalahan menangani pengunjung. Artinya ini memang sangat penting.

Kalau rehabilitasi pasti sembuh?

Tidak. 70 persen kemungkinan bisa kembali kalau akar masalahnya tidak diselesaikan. Contoh, dia tinggal di gang ini, si anak ini suka ‘pakai’ di pos ronda. Selesai rehab, balik lagi ke rumah itu. Pada saat dia galau, dia lewat daerah itu, dia cari bandarnya lagi.

Maka dari itu sebagai orangtua jangan otoriter, Jangan katakan tidak, harus, tapi gunakan kata lain. Jangan main pukul. Akar masalah ini yang penting. Jangan juga hanya memberi uang. Aritnya orangtua di sini juga perlu ‘direhab’. Bagaimana dia mengurus anaknya, termasuk bagaimana ia mengajari keagamaannya. Kalau itu jalan, dia bisa menolaknya.

Sulitkah membuat rumah edukasi ini?

Tidak perlu gedung baru, bahkan bisa memanfaatkan bekas gudang. Yang paling penting, kita harus tekankan bahwa ini media paling efektif untuk menyentuh rakyat, khususnya para ibu.

Para Ibu?

Ya, pernah dalam perjalanan Manado ke Jakarta, saat di pesawat, saya bertemu seorang ibu. Dia menghampiri saya, lalu bilang, Pak terima kasih sudah membuat rumah edukasi. Saya pernah bawa anak saya ke sana, lalu dia cerita ke teman-temannya, bahwa narkoba itu begini begitu. Saya senang sekali. Dia sering cerita juga ke teman-temannya, hati-hati lho, modus ini begini, barang itu begitu. Saya senang anak saya bisa menyerap apa yang menjadi pesan dari tempat itu. Mendengar cerita ibu itu saya tersentuh sekali. Sekaligus membuktikan bahwa Ini memang sudah kebutuhan.

Oke, ini untuk yang belum memakai. Bagaimana untuk yang sudah terlanjur terjerumus?

Ini perlu digaribawahi juga. Saya sering menghadapi para orangtua yang anaknya terjerumus. Dari situ kita bisa mapping, kapan dia ‘pakai’, dapatnya dari mana, jenisnya apa, apakah kurang perhatian, mengapa, dan lain-lain. Dari situ akar masalahnya pun ketemu, yakni kurangnya kehangatan dari keluarga.

Kami setuju. Kebanyakan pemuda terjerumus karena kurangnya perhatian keluarga….

Betul. Ketika dia sedang mencari jati diri dalam pergaulan, kemudian ditawari sesuatu. Ini klasik. Tapi ingat juga, sekarang ini modifikasinya sudah dengan kemasan aneh-aneh, sudah lebih rawan lagi. Tidak hanya bentuknya yang baru, tapi kemasannya itu ada yang berupa suplemen juga. Misalnya anak kita mau ujian, lalu ditawari suplemen agar fit, bisa konsentrasi penuh. Ini banyak yang tergiur.

Benteng pertahanan bernama keluarga inilah yang harus terus diperkuat. Dengan apa? Pengetahuan dan komunikasi. Jangan hanya diberi uang tapi lantas tanpa pengawasan. Berilah aktivitas, olahraga, seni, atau apapun yang produktif dan positif.

Ada contoh di Kebayoran. Di sebuah pesta ulang tahun. Saat waiter mau mengantar minuman, pelaku lalu memberi tips besar ke waiter dan meminta minuman itu dimasukkan zat tertentu. Karena uangnya banyak, waiter pun bersedia. Lalu tinggal tunggu reaksi korban setelah meminumnya. Ajak ngobrol, tukar nomor handphone, dan berlanjut. Orangtua harus tau juga modus-modus ini. Kita harus tahu bahwa penjahat narkoba itu tak segan-segan berinvestasi, apalagi bila target diketahui anak orang kaya.

Oya, Anda bilang modus-modus seperti ini ada juga di rumah edukasi…

Tentu saja. Semua dari mulai modus-modus klasik sampai yang terbaru. Termasuk bagaimana intrik-intrik mereka dalam merekrut kurir. Baik yang melalui pertemuan langsung atau bahkan tidak langsung seperti lewat media sosial, semua ada.

Bagaimana rumah edukasi ini agar tidak ketinggalan mengingat jenis baru begitu cepat muncul?

Jadi begini, narkotika sintetis beredar lalu tertangkap, BNN mengajukan ke Kemenkes, keluarlah peraturan Menkes bahwa jenis ini sudah masuk. Ini sudah peraturan Menkes yang kedua, sekarang ini 43 jenis sudah masuk. Untuk mengatasi masalah kecepatan perkembangan itu, kemarin kita sudah mengadakan seminar nasional, sebaiknya kita mengadopsi Jepang. Kita adopsi struktur atau rumus kimianya, jadi kalau ‘nambah kaki’, ‘ngurangi kaki’, itu masih tetap masuk. Perkembangan narkoba itu sangat cepat, jadi kita harus cepat juga, termasuk teknologinya.

Maka dari itu saya selalu dorong ke pemandu (rumah edukasi) agar tiap hari membuka internet, media nasional, internasional. Cari info tentang penangkapan terbaru, termasuk narkotika sintetis yang terbaru. Sehingga ketika dia menjelaskan ke pengunjung bisa cerita, meskipun di papan belum ada. Harus bisa mengikuti perkembangan. Termasuk juga memperbarui hasil survei.

Ada info mengenai sindikat dan jalur narkoba?

Ya, kita tampilkan juga datanya. Soal ini juga berkembang. Dulu kan sempat Iran terus. Habis ditangkepin mulai berubah, Dia ‘ambil’ orang India, lalu orang kita jemput di India. Lalu ditangkep lagi, sekarang mulai lewat jalur laut. Sekarang 80 persen sudah lewat jalur laut. Kontainer kan yang diperiksa baru 15 persennya. Bahkan tangkapan narkoba sekarang itu paling hanya 10 persen saja.

Jadi tepat Presiden Joko Widodo bilang sudah darurat?

Tepat, darurat dalam konteks menolong yang sudah kena, mencegah atau melindungi yang belum. Jadi jangan hanya bicara perang, perang, dan perang, tapi daruratnya tidak didorong.

Sebenanrya arahan soal darurat dan perang memang belum sepenuhnya dijalankan. Saya lihat,  lakukan upaya pencegahan lebih gencar dari pusat ke daerah, terukur, dan berkelanjutan. Rumah edukasi ini merupakan cara terbaik dan termurah dalam hal terukur dan berkelanjutan. Selain informasi dan sertifikat kita juga punya program Pendekar Anti Narkoba.

Pendekar Anti Narkoba?

Ya, ini program agar mereka tak cuma puas dengan mendapatkan sertifikat. Mereka kita latih karate, lengkap dengan ban putih, hitam. Kita ajarkan juga bagaimana melumpuhkan orang. Baik bersenjata tajam maupun tangan kosong. habis itu kita ajarkan hukum, menurut KUHAP, dalam tertangkap tangan, semua orang boleh ‘nangkap’ lagi transaksi. Diamati, foto, barang bukti serahkan polisi. Kita ajarin SOP-nya, barang bukti bagaimana, nangkap jangan sendirian, minimal dua orang. Ini kita bekali.

Ini partisipan masyarakat dalam bidang pemberantasan. Mereka juga bisa ceramah juga, jelasin tentang masalah narkoba. Enggak hanya beladiri, kita ajarkan juga musik dan lainnya, supaya nanti mereka juga kemana pun sosialisasi. Intinya, visi kita tak sekadar melindungi yang belum terjerumus, tapi juga mencetak pemuda masa depan yang benar-benar anti narkoba. Kalau tiap RT/RW punya pendekar antinarkoba, dijamin enggak ada yang berani jualan di situ.

Novianto

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Reuni Alumni 212 Jelas Kapitalisasi Agama demi Kepentingan Politik

Oleh

Fakta News
Reuni Alumni 212

Jakarta – Reuni Alumni 212 yang bakal digelar awal Desember di Lapangan Monas Jakarta dianggap bentuk kapitalisasi agama demi kepentingan politik. Reuni tersebut seharusnya tidak diadakan lantaran tuntutan aksi 212 sudah diakomodasi.

Hal tersebut diungkapkan pengamat politik Lingkar Madani. Ia menilai kegiatan alumni 212 ini bukan murni kegiatan agama, melainkan kegiatan politik. Ia juga keheranan mengapa harus ada acara tersebut. Pasalnya, tuntutan aksi 212 sudah dipenuhi dengan Basuki Tjahaja Purnama dipenjara.

“Itu sudah jelas politik, enggak ada hubungannya lagi dengan agama, enggak ada hubungannya dengan dakwah, apa yang mereka tuntut sudah dipenjara kok. Apalagi gunanya, itu politik murni politik, murni untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah. Saya pikir mereka hanya mau mengapitalisasi agama ini. Mengapitalisasi agama terus-menerus untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah,” kata Ray kepada wartawan di D’Hotel, Jalan Sultan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (21/11).

Ray pun mengaku masih belum paham apa sebenarnya tujuan acara reuni alumni 212. Ia membandingkan dengan demonstrasi 1998 untuk menggulingkan rezim Soeharto dan Orde Baru. Usai berhasil menggulingkan, tak ada perkumpulan alumni maupun acara reuninya.

“Yang saya juga enggak mengerti tujuannya apa? Masak demonstrasi pakai alumni, alumni pakai reuni. Ada-ada saja. Yang besar sekali pun perjuangan 98 itu ya berhenti di 98. Waktu jatuh ya jatuh. Bahwa anggotanya membentuk kelompok-kelompok tertentu ya silakan saja. Enggak ada reuni 98 yang jatuhin soeharto, enggak ada,” imbuhnya.

Baca Juga:

Baca Selengkapnya

BERITA

Kubu Jokowi Anggap Amien Rais Tidak Dewasa dalam Berpolitik

Oleh

Fakta News
Bersikap toleran
Amien Rais.(Istimewa)
asasasasa

Jakarta – Kubu Joko Widodo-Maruf Amin menilai, pernyataan Amien Rais yang memaksa Muhammadiyah untuk memihak salah satu calon di pemilihan presiden menunjukkan sikap Amien Rais yang tidak dewasa dalam berpolitik.

Hal tersebut diungkapkan Juru Bicara Tim Kampanye Jokowi-Maruf Amin Ace Hasan Syadzily. Selain menunjukkan Amin Rais tidak dewasa, pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa sosok Amien Rais bukan negarawan tulen.

“Hanya karena beliau pendukung Prabowo-Sandi mau mendikte Muhamamdiyah mendukung paslon tertentu. Itu menunjukkan ketidakdewasaan politik sebagai politisi yang dikenal selalu menjaga demokrasi,” jelas Ace, seperti dikutip dari Merdeka.com, Rabu (21/11).

Justru, dengan paksaan dan desakan tersebut, suara Muhammadiyah malah enggan memilih Prabowo-Sandi. “Kalau terus menerus seperti itu, saya tidak yakin Prabowo mendapatkan dukungan dari Muhammadiyah,” tegasnya.

Sikap tersebut sama sekali tidak mencerminkan sosok negarawan. Politikus Partai Golkar ini menambahkan, sebagai negarawan, seharusnya Amien Rais menjaga agar ormas, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, tidak diseret ke ranah politik praktis.

“Sebetulnya secara organisasi Muhammadiyah dan NU tidak menunjukkan dukungan secara tegas, itu perlu terus dijaga bahwa citra ormas Islam tidak terseret ke dalam politik praktis hanya untuk kekuasaan semata,” tegasnya lagi.

Baca Juga:

Baca Selengkapnya

BERITA

Penggunaan Teknologi VAR di Liga Champions Dipercepat?

Oleh

Fakta News
var
Ilustrasi.(Foto: Istimewa)

Jakarta – Setelah sukses digunakan dalam beberapa turnamen FIFA, ternyata kehadiran teknologi Video Assistant Refree (VAR) disambut baik oleh sejumlah klub Eropa.

Video Asisten Wasit (VAR) kemungkinan besar akan segera diterapkan di ajang Liga Champions, tepatnya ketika memasuki babak knock out alias fase gugur di musim ini. Wacana tersebut langsung berasal dari Presiden UEFA Aleksander Ceferin dan Ketua Asosiasi Klub Eropa Andrea Agnelli.

Dilansir dari Soccerway, Selasa (20/11), sebelumnya VAR sendiri akan diberlakukan di Liga Champions mulai musim depan, namun belakangan wacana tersebut akan dipercepat dalam rangka untuk proses pengujian teknologi tersebut.

“Kami sudah mulai melakukan semua persiapan. [Kepala wasit UEFA] Roberto Rosetti dan timnya sangat bagus. Ada sudut pandang penting – wasit dan semua aspek teknis,” kata Ceferin dalam konferensi pers di Brussels.

“Saya mengharapkan laporan dalam seminggu atau lebih dan kemudian kita akan melihat kapan kita dapat menerapkannya. Pada musim depan yang terbaru,” sambungnya.

Senada dengan Ceferin, Agnelli yang notabene merupakan pemilik Juventus siap mendukung wacana UEFA untuk mempercepat penerapan VAR di ajang Liga Champions.

Baca Juga:

Baca Selengkapnya