Anugerah atau Malapetaka?
Reformasi tahun 1998 menghasilkan banyak perubahan terutama dalam struktur bernegara dan hubungan antara pusat-daerah. Sebagai antitesa dari Orde baru yang selama 32 tahun sangat sentralistik maka bangun relasi pusat daerah dituntut menjadi sangat longgar, desentralisasi menjadi suatu keniscayaan. Wacana federalisme sempat mencuat, namun pola ini menjadi tidak popular, dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Bagaimanapun semangat daerah otonom menjadi dasar perkembangan selanjutnya dalam penataan kelembagaan di daerah. Dengan dikeluarkannya Undang-undang (UU) No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004, membuka peluang kepada daerah provinsi, kabupaten dan kota untuk melakukan pemekaran daerahnya. Pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 129 tahun 2000, direvisi menjadi PP No. 78 tahun 2007 tentang Kriteria Pemekaran dan Persyaratan Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.
Di luar masalah politik, isu kesejahteraan adalah argument yang paling sering dipakai sebagai alasan pemekaran. Luas wilayah yang begitu besar mejadikan rentang kendali pusat kekuasaan daerah terlalu jauh dari kota-kota yang tumbuh menjadi pusat kegiatan ekonomi baru. Akibat kurangnya perhatian pusat itu menyebabkan kesenjangan ekonomi, seperti minimnya anggaran pembangunan. Nah kondisi itulah yang kemudian mendorong daerah bersemangat untuk memekarkan diri. Dengan asumsi dapat mendekatkan diri dengan pusat kekuasaan daerah, sehingga perhatian akan daerah tersebut menjadi lebih tinggi.
Kesejahteraan melalui Pemekaran
Desentralisasi dan otonomi, adalah alat yang acapkali digunakan oleh bangsa-bangsa dengan karakter geografi dan demografi yang besar dan heterogen, dalam rangka meraih kemajuan, kesejahteraan, dan pembangunan bangsa-bangsa. (Irfan R. Maksum, 2011:Paradoks Otonom). Bangsa Indonesia menetapkan tujuan bernegara seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 adalah, “..untuk memajukan kesejahteraan umum,…”. Negara kemudian mendelegasikan kewenangan tersebut pada pemerintahan daerah, mengingat luas wilayah yang sedemikian besar. Pemerintahan daerah memajukan kesejahteraan melalui pelayanan publik yang berkeadilan dan dilakukan secara demokratis.
Sementara, pemekaran daerah dari perspektif neo-liberal berarti melakukan efisiensi administrasi, membangkitkan kompetisi lokal, dan diharapkan menjadi insentif fiscal. Sedangkan dari perspektif sosialisme adalah kesempatan memperluas partisipasi masyarakat, dan alat untuk melakukan check & balance. Pemekaran juga dianggap sesuai dengan prinsip subsidiaritas, semakin dekat pemerintahan dengan masyarakat semakin tinggi daya tanggap pemerintahan.
Dengan kondisi seperti diatas maka, menjadi tidak aneh kalau daerah berlomba-lomba memekarkan diri, ditambah lagi dengan persyaratan pendirian provinsi hanya membutuhkan 5 kabupaten/kota dan peryaratan pendirian kabupaten hanya membutuhkan 5 kecamatan serta persyaratan pendirian kota hanya membutuhkan 4 kecamatan, dimana pendirian kecamatan, kelurahan dan desa dapat dilakukan melalui perda yang sulit dipantau oleh pemerintah.
Dilema Pemekaran
Sejak keluarnya UU No.22 Tahun 1999 dan PP Pemekaran Daerah tahun 2000, jumlah daerah otonom kabupaten/kota meningkat dari 306 menjadi 507 di tahun 2012. Banyaknya daerah otonom ini memunculkan banyak permasalahan, akibat semakin besarnya beban pendanaan otonomi daerah dan rendahnya pencapaian tujuan pemekaran daerah. Rendahnya tingkat pencapaian tujuan pemekaran disebabkan, antara lain oleh longgarnya instrumen persyaratan pembentukan daerah otonom baru.
Berdasarkan catatan Kementerian Dalam Negeri (Kemnedagri), sejak tahun 1999 telah terbentuk 205 daerah otonom baru. terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 Kota. Artinya, meningkat 64% dari jumlah daerah otonom tahun 1998, atau rata rata dalam satu tahun lahir 20 daerah otonom baru. Banyaknya daerah otonom baru tersebut berimplikasi terhadap semakin besarnya dana pembangunan daerah otonom baru yang dialokasikan dari APBN. Pada tahun 2002 dialokasikan Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp 1,33 triliun, tahun 2003 sebesar Rp 2,6 triliun dan pada tahun 2010 mencapai Rp 47,9 triliun.
Beberapa daerah otonom baru ternyata memiliki jumlah penduduk sangat sedikit. Bahkan ada sebuah daerah otonom kabupaten baru hanya berpenduduk kurang dari 12.000 jiwa. Fakta lain, jumlah dan kualitas SDM sebagai personil Pemerintah Daerah sangat minim, kurang tersedianya prasarana dan sarana pemerintahan, serta munculnya berbagai konflik masyarakat lokal menyangkut batas wilayah.
Banyaknya permasalahan diatas menimbulkan pertanyaan sejauh apa pemekaran wilayah mendekatkan kita pada tujuan awal bernegara. Harapan insentif fiskal dengan pemekaran terbukti hanya menambah beban anggaran pada belanja pegawai, yang secara langsung berakibat belanja modal yang diharapkan mendorong sektor riil menjadi sangat kecil. Akibatnya, kemampuan daerah untuk mandiri secara keuangan melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD) semakin sulit direalisasikan. Rasio ketergantungan keuangan daerah, yang merupakan perbandingan DAU terhadap total pendapatan APBD, akan semakin tinggi. Tentu saja kesejahteraan semakin jauh, dan otonomi dapat dianggap gagal.
Berdasarkan laporan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), tahun 2012 terindikasi 302 daerah menghabiskan lebih dari 50% anggaran untuk belanja pegawai. Sebelas diantaranya menggunakan 70% anggaran untuk belanja pegawai.
Pada akhirnya pemekaran daerah ini lebih terlihat sebagai hajatan politik. Pendekatan neo-liberal bahwa pemekaran akan berdampak pada efiisiensi dan menjadikan pelayanan publik semakin baik, justru jadi tersebaliknya. Pasalnya, dana yang seharusnya dipergunakan untuk kesejahteraan terpakai untuk membiayai pegawai pemerintah daerah yang semakin membengkak. Minimnya sumberdaya manusia daerah, menjadikan perekrutan pimpinan daerah menjadi mahal dan sarat politik uang.
Kembali ke Tujuan Awal:
Melihat perkembangan ini, pemerintah pusat pada tahun 2010 membuat moratorium untuk menghentikan sementara pembahasan pemekaran wilayah. Diharapkan dapat disusun suatu mekanisme yang lebih baik dalam menata kembali daerah otonom yang sudah ada dan secara khusus menetapkan strategi untuk menangani usulan daerah otonom baru. Persyaratan teknis pemekaran meliputi parameter dan indikator yang harus dipenuhi, dengan mengacu pada pengalaman pemekaran sebelumnya. Persyaratan wilayah (remote area), jumlah penduduk dan proyeksi PAD saja tidaklah cukup menjadi dasar dalam penetapan pemekaran daerah.
Mendeteksi potensi daerah yang akan menjadi keunggulan dan daya saing daerah, menjadi penting sehingga daerah pemekaran mampu menyusun peta jalan yang jelas dan terukur. Potensi ini tidak akan berguna tanpa kapasitas sumber daya manusia yang handal. Kehadiran perguruan tinggi sebagai pusat inovasi unggulan berdasarkan potensi daerah bersangkutan, menjadi sesuatu yang mutlak sebagai kunci sukses pemekaran daerah.
Tentunya pemerintah daerah hasil pemekaran, tidak dapat melakukan semuanya tanpa hadirnya entrepreneur handal, baik untuk menggerakkan pusat-pusat ekonomi baru maupun untuk mengimplementasikan inovasi unggulan dalam mengembangkan potensi yang ada, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan aktivitas ekonomi, yang mampu meningkatkan pendapatan daerah. Dengan kata lain pembanguan dalam arti pemenuhan pelayanan publik dan peningkatan kesejahteraan tidak akan dapat dipenuhi tanpa melibatkan unsur perguruan tinggi dan swasta (Triple Helix Concept). Mekanisme pengawasan dan evaluasi juga perlu dikembangkan. Jika ini bisa diwujudkan maka anugerah merupakan suatu keniscayaan.
Penulis: Ammarsjah Purba
BERITA
Kendati Rupiah Menguat, Pemerintah dan BI Harus Tetap Antisipatif
Kendati nilai tukar rupiah menguat sejak awal pekan ketiga November 2018, pemerintah dan BI (Bank Indonesia) harus tetap antisipatif. Nilai tukar valuta masih akan fluktuatif, karena pasar uang terus dibayang-bayangi oleh rencana bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (Fed), menaikkan suku bunga acuannya, Fed Fund Rate (FFR), hingga tahun 2019 mendatang.
Akhir pekan kedua November 2018, rupiah digambarkan sebagai valuta paling perkasa di Asia karena mengalami penguatan sampai 70 poin, atau 0,48% terhadap dolar AS. Pada Jumat (16/11), nilai tukar rupiah sudah memasuki level Rp 14.595 dan Rp 14.665.
Proses penguatan nilai tukar rupiah saat ini tentu tak bisa dilepaskan dari langkah BI menaikkan bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6%, belum lama ini. Namun, proses penguatan rupiah saat ini diasumsikan temporer.
Rupiah – dolar AS, pada dasarnya belum menemukan keseimbangan baru. Terutama karena Fed masih akan menaikkan bunga acuan ke level 3,25 persen hingga 2019, dari posisi dua persen saat ini.
BERITA
Mencaci Maki Sekulerisme Tanpa Memahami Maknanya
Sudah terjadi berlangsung lama kesalahan dalam pemahaman tentang apa makna sekulerisme. Namun sebagian justru memelesetkan pengertian sekuler dan menjelaskan pada orang yang nggak mengerti. Sekulerisme seolah-olah ingin membuat orang Islam tidak berpolitik. Hal ini tidaklah benar.
Sekulerisme itu adalah konsep yang memisahkan agama dengan kekuasaan politik atau negara, khususnya pada negara bangsa (nation state). Kalau di negara teokrasi mungkin agama dan politik kekuasaan negara bisa saja disatukan. Sayang negara agama yang murni di dunia itu tidak ada.
Islam pada waktu Nabi hidup dan kekhalifahan paska wafatnya Nabi mungkin bisa disebut “negara agama atau negara Islam”. Namun setelah itu “Eksperimen Kekuasaan di Madinah” dianggap gagal. Di Turki dicoba lagi dan juga gagal.
Negara Arab Saudi sendiri mengambil bentuk negaranya sebagai kerajaan dan bukan negara Islam, karena yang disebut dalam Quran adalah kerajaan. Pengertian khilafah berdasar Quran itu dimensi dan skalanya individual bukan dalam skala negara. Dan tatkala Nabi menjalankan eksperimen struktur kenegaraan di Madinah, luas Madinah sebenarnya hanya sebesar 2 kali Kecamatan Mampang.
Sekularisme tersebut dalam sub pemahamannya sering diartikan, yakni berarti pemisahan ambisi berkuasa/berpolitik (dalam kontek kekuasaan negara) dengan kewajiban orang dalam beragama. Nah kalau, dalam kontek negara, orang ingin agama dan kekuasaan disatukan itu tidak bisa dikatakan sekuler atau tidak sekuler. Tetapi penyatuan agama dengan politik (kenegaraan) demikian disebut totaliterianisme agama. Inilah yang dianut HTI, karena itu mereka juga anti demokrasi!
BERITA
Gus Yaqut: Dosakah Membakar Bendera HTI?
Berikut tulisan Ayik Heriansyah yang diberi judul Gus Yaqut: Dosakah Membakar Bendera HTI. Tulisan Ayik ini mencoba menafsirkan perspektif Gus Yaqut terkait video yang beredar di media sosial.
Seperti diberitakan, GP Ansor, induk dari Banser, angkat bicara soal itu. Ia menyatakan pembakaran sebenarnya dilakukan pada bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sekaligus untuk menjaga kalimat tauhid.
Baca Juga:
- DPR Semakin Terbuka dan Merakyat
- Tulisan Gus Dur: Harlah, Natal dan Maulid
- Pemerintah Harus Menaruh Perhatian Ekstra pada Sektor Tanaman Pangan
Gus Yaqut alias Yaqut Cholil Qoumas selaku Ketua Umum PP GP Ansor menyampaikan persepktifnya terkait kejadian ini. Ia bilang anggotanya melihat bendera tersebut sebagai simbol bendera HTI, ormas yang sudah dibubarkan pemerintah.
Gus Yaqut: Dosakah Membakar Bendera HTI ?
Bendera hitam putih yang kerap dibawa aktivis HTI merupakan simbol gerakan pemberontakan (bughat) terhadap daulah Islamiyah (NKRI). Itulah bendera Khilafah ala HTI yang terinspirasi oleh hadits-hadits Nabi Saw tentang liwa rayah. Liwa rayah merupakan bendera simbol kenegaraan kaum muslimin pada hubungan internasional saat itu. Di Indonesia umat Islam sepakat menggunakan bendera Merah Putih sebagai simbol kenegaraan mereka. Itulah liwa rayah kaum muslimin di Indonesia. Bendera pemersatu umat dari Sabang sampai Merauke.
Sebagai muslim/muslimah yang memiliki KTP, SIM dan Buku Nikah NKRI, makan minum, menggunakan mata uang Indonesia fasilitas jalan, bandara, pelabuhan, sekolah, rumah sakit, dsb udah seharusnya aktivis HTI mengusung bendera Merah Putih. Liwa rayah kita semua. Toh Nabi Saw sendiri tidak memerintahkan umatnya menggunakan liwa rayah hitam putih yang bertuliskan dua kalimat syahadat. Bukankah semua hadits tentang liwa rayah hanya bersifat khabariyah informatif tanpa ada qarinah (indikasi) wajib menggunakannya. Sesungguhnya Nabi Saw sudah tau, perihal bendera negara diserahkan kepada sepenuhnya kesepakatan umatnya.
Aksi pamer bendera HTI di wilayah NKRI menimbulkan kegaduhan, fitnah dan memecah belah umat Islam. Bukan hanya NU, Ansor dan Banser, ormas Islam lainnya pembentuk NKRI risih dengan bendera HTI. Sudah pasti tujuan HTI mendirikan Khilafah Tahririyah termasuk bughat. Setiap kegiatan dan atribut yang mengarah kepada bughat dihukumi haram. Sesuai kaidah ushul fiqih yang juga diadopsi HTI yang berbunyi: al-washilatu ila harami muharramah aw haramun.
Langkah-langkah Banser menindak peragaan bendera HTI tidak lain dan tidak bukan demi menjaga persatuan dan kesatuan umat, bangsa dan negara. Yang demikian itu sesuai dengan maqashidusy syariah yakni hifdzul umat, mujtama wa daulah. Inilah esensi dari penerapan syariah.
*Utsman Membakar al-Qur’an*
Pada saat terjadi perang irminiyah dan perang adzrabiijaan, Hudzaifah Ibnul Yaman yang saat itu ikut dalam dua perang tersebut melihat perbedaan yang sangat banyak pada wajah qiraah beberapa sahabat. Sebagiannya bercampur dengan bacaan yanag salah. Melihat kondisi para sahabat yang beselisih, maka ia melaporkannya kedapa Utsman radhiyallahu ‘anhu. Mendengar kondisi yang seperti itu, Utsman radhiyalahu ‘anhu lalu mengumpulkan manusia untuk membaca dengan qiraah yang tsabit dalam satu huruf (yang sesuai dengan kodifikasi Utsman). (lihat mabaahits fi ‘ulumil Qur’an karya Manna’ al Qaththan: 128-129. Cetakan masnyuratul ashr al hadits).
Setelah Utsman radhiyallahu ‘anhu memerintahkan kepada sahabat untuk menulis ulang al Qur’an, beliau kemudian mengirimkan al Qur’an tersebut ke seluruh penjuru negri dan memerintahkan kepada manusia untuk membakar al Qur’an yang tidak sesuai dengan kodifikasi beliau. (lihat Shahih Bukhari, kitab Fadhailul Qur’an bab jam’ul Qur’an, al Maktabah Syamilah)