Connect with us

Perlunya Memperkuat Reforma Agraria Jokowi

foto; fb Antok Suryaden

 

 

Oleh Dr. Tri Chandra Aprianto*)

Sebagaimana telah banyak dipublikasikan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla telah menetapkan Reforma Agraria menjadi salah satu program prioritas nasional sejak Rencana Kerja Pemerintah tahun 2017 (RKP 2017). Sehingga Reforma Agraria telah resmi menjadi program pemerintah yang harus dijalankan, sejak ditetapkan dalam RKP 2017 tersebut. Program tersebut masih menjadi program prioritas nasional pada tahun 2018.

Untuk mencapai target yang telah dicanangkan oleh Presiden Jokowi, dalam pelaksanaan program tersebut dipilih dua skema. Skema pertama adalah legalisasi dan redistribusi lahan yang keseluruhan mencapai keseluasan 9 juta hektar. Untuk legalisasi seluas 4,5 juta hektar terletak di area transmigrasi seluas 0,6 juta hektar yang belum disertifikasi, dan 3,9 juta hektar masuk dalam program prona ATR/BPN. Sedangkan untuk redistribusi lahan terdapat seluas 0,4 juta hektar tanah HGU terlantar, dan 4,1 juta hektar diantarnya berasal dari pelepasan kawasan hutan.

Sementara itu untuk skema kedua adalah melalui pelaksanan program Perhutanan sosial dengan memberikan akses terhadap masyarakat miskin seluas 12,7 juta ha. Alur pikir ini menjelaskan substansi reforma agraria mencakup perhutanan sosial yang hanya memberikan izin akses pengelolaan hutan negara atau pengakuan hak atas hutan adat. Khusus untuk izin akses pengelolaan hutan oleh masyarakat desa hutan dalam jangka waktu 35 tahun, dengan setiap 5 tahun terdapat proses evaluasi.

Pertanyaannya adalah bagaimana strategi mendaratkan gagasan tersebut agar pelaksanaannya berjalan dengan baik? Perangkat apa saja yang dibutuhkan oleh negara dalam upaya pencapaian target hingga tahun 2019.

Strategi Percepatan Program

Untuk percepatan program tersebut dikeluarkan SK Menteri Koordinator Perekonomian nomor 73 tahun 2017 dengan membentuk organisasi Tim Reforma Agraria. Menko Perekonomian menjadi Ketua dengan anggota Menteri Dalam Negeri, Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri BUMN, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, serta Kantor Staf Presiden.

 Selanjutnya dibentuklah tiga kelompok kerja (pokja) yang diharapkan mampu mempercepat program prioritas nasional tersebut, yaitu Pokja Pelepasan Kawasan Hutan dan Perhutanan Sosial dipimpin oleh Kementerian LHK. Pokja Legalisasi dan Redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria oleh Kementerian ATR/BPN, dan Pokja Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat oleh Kemendesa PDTT.

 Tim di atas diharapankan dapat mempercepat jalannya program prioritas nasional hingga tahun 2019, serta meminimalisasi berbagai kendala. Setidaknya terdapat tiga kendala utama yang dihadapi: (i) belum tersedia data yang bisa dijadikan acuan bersama; (ii) belum tersosialisasi secara massif mengenai program prioritas ini yang menyebabkan lambatnya pemerintah daerah merespon dan tidak terkonsolidasinya dana pendukung; dan (iii) masih kuatnya dominasi korporasi yang memegang hak konsesi dan lemahnya partisipasi masyarakat sipil.

 Melihat perjalanannya sepanjang 2017, pelaksanaan program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial tersebut jauh dari harapan. Berangkat dari pemahaman ini, strategi mendaratkan program prioritas nasional (semata-mata) pada birokrasi dalam pelaksanaannya perlu ditinjau ulang. Hal itu dikarenakan terdapat beberapa beberapa praktek birokrasi yang lamban dalam upaya percepatan yang diinginkan presiden. Kelambanan tersebut terjadi karena faktor ekstriksik dan instrinsik dalam diri brokrasi itu sendiri.

 Birokrasi sebagai pelaksana sering kali “menjebakkan” dirinya pada tugas rutin yang telah disusun pada tahun sebelumnya. Bahkan untuk program prioritas nasional (reforma agraria dan perhutanan sosial) yang telah digariskan presiden pun bisa tidak diindahkan oleh kalangan birokrasi.

 Memang secara teoritik pelaksana program ini tidak bisa diletakkan pada birokrasi yang sifatnya reguler dan kerjanya sudah rutin. Selain alasan tupoksi, kalangan birokrasi sudah sangat terbiasa menyederhanakan pemahaman yang mendasar dalam logika mereka sendiri. Mereka tidak mau repot memahami. Dengan mudah mereka memasukkan tema-tema apapun dalam template kegiatan mereka. Akibatnya dapat mengaburkan makna dasar, hingga terjadilah sesat pikir dan ujungnya adalah program yang mendasar berubah menjadi program biasa yang tanpa makna. Tidak terkecuali program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, sepanjang tahun 2017 banyak mengalami distorsi karena masuk dalam logika kerja rutin kalangan birokrasi.

 Ditambah lagi, program revolusi mental Presiden belum terlihat dampaknya pada kalangan birokrasi kita. Akibatnya dalam praktek lapangan pelaksanaan program pembangunan masih berada pada pseudo partisipasi. Dengan demikian berpikir strategi percepatan untuk mencapai target yang diharapkan tidak cukup dengan (semata-mata) menggunakan birokrasi yang sudah punya tugas dan fungsi, serta kerjanya sudah rutin. Perlu dipikirkan strategi lain untuk memenuhi hal itu.

15401163_1694184694226352_964605130901971162_n

Penyiapan Landasan Pendaratan

 Pertama-tama harus disepakati terlebih dulu bahwa reforma agraria adalah bukan sekedar memperkuat pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia, terutama yang tak punya tanah, baik yang tinggal di pedesaan, pinggir-pinggir hutan, pesisir-pesisir pantai, pulau-pulau kecil, maupun lereng-lereng pegunungan, sebagaimana arahan dari Kantor Staf Presiden tahun 2016. Akan tetapi reforma agraria adalah satu “upaya perombakan sosial yang dilakukan secara  sadar, guna mentrasformasikan struktur agraria ke arah  sistim agraria yang lebih sehat dan merata bagi  pengembangan pertanian dan kesejahteraan masyarakat  desa. Jadi reforma agraria pada dasarnya memang merupakan upaya  pembaharuan sosial (Setiawan, 1997).

 Dengan demikian untuk mencapai target yang diharapkan, dibutuhkan strategi tambahan, yaitu memperkuat tim pelaksana tidak semata-mata kalangan birokrasi, juga menyiapkan landasan untuk mendaratkan program tersebut di lapangan. Diperkirakan tanpa adanya tambahan strategi, maka capaian pelaksanaan program Reforma Agraria di akhir masa Pemerintahan Jokowi-JK hanya akan mencapai sekitar 10% dari target yang dicanangkan.

 Untuk memperkuat tim pelaksana perlu melibatkan unsur masyarakat sipil dan pihak keamanan. Sehingga hadir satu tim yang lengkap yang memiliki otiritas untuk bicara reforma agraria, dan bertanggung jawab langsung pada presiden. Kalangan masyarakat sipil bisa hadir dari organisasi keagamaan yang memiliki basis hingga di desa. NU misalnya, merupakan organisasi yang memiliki basis hingga di pedesaan dan lembaga pendidikan, pesantren di wilayah pedesaan. Sehingga bisa dilibatkan dalam tim pelaksana program prioritas nasional. Sementara pihak keamanan sekaligus memberi jaminan stabilitas keamanan sosial.

 Pelibatan kalangan masyarakat sipil sekaligus memperkuat tindakan dari banyak organisasi rakyat yang secara mandiri di berbagai pedesaan di Indonesia telah mengusahakan pelaksanaan Reforma Agraria dari bawah (by leverage). Pada dasarnya ini adalah memperluas partisipasi publik saja. Pemerintahan Jokowi sendiri telah memilih membangun Indonesia dari pinggiran adalah memperluas partisipasi masyarakat.

 Ini merupakan penyiapan landasan untuk mendaratkan program sekaligus. Lagi-lagi NU menjadi contohnya, NU tidak saja memiliki warga yang tinggal di pedesaan, termasuk di pinggir tapi juga ada yang dalam hutan, bahkan ada yang berada dalam daerah-daerah konflik agraria yang berkepanjangan. Sekaligus akan berlangsung kerja sama antara kalangan birokrasi dan masyarakat sipil hingga di level yang paling bawah, yaitu desa.

 Dengan adanya landasan seperti itu, pada titik tersebut gagasan desa membangun menemukan bentuknya. Skema penggunaan dana desa dapat berjalan optimal melalui program Reforma Agraria ini, tidak saja pada proses pelakanaan tapi juga penyiapan kelembagaan ekonomi yang memberi keuntungan pada masyarakat desa. Di samping kelembagaan masyarakat desa juga diperkuat oleh dukungan dari kalangan masyarakat sipil tersebut.

 Dengan adanya strategi baru tersebut pemerintah tinggal menyiapkan kerja-kerja intervensi yang berkaitan dengan skema pendanaan seperti pada saat pemetaan, proses produksi hingga penyiapan distribusi pasarnya. Artinya partisipasi masyarakat secara sangat aktif dapat dilihat di sini.

*)Penulis Adalah Sejarawan Universitas Jember, Ketua Dewan Pengurus Sajogyo Institute dan Sekjen Masyarakat Republik.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Reuni Alumni 212 Jelas Kapitalisasi Agama demi Kepentingan Politik

Oleh

Fakta News
Reuni Alumni 212

Jakarta – Reuni Alumni 212 yang bakal digelar awal Desember di Lapangan Monas Jakarta dianggap bentuk kapitalisasi agama demi kepentingan politik. Reuni tersebut seharusnya tidak diadakan lantaran tuntutan aksi 212 sudah diakomodasi.

Hal tersebut diungkapkan pengamat politik Lingkar Madani. Ia menilai kegiatan alumni 212 ini bukan murni kegiatan agama, melainkan kegiatan politik. Ia juga keheranan mengapa harus ada acara tersebut. Pasalnya, tuntutan aksi 212 sudah dipenuhi dengan Basuki Tjahaja Purnama dipenjara.

“Itu sudah jelas politik, enggak ada hubungannya lagi dengan agama, enggak ada hubungannya dengan dakwah, apa yang mereka tuntut sudah dipenjara kok. Apalagi gunanya, itu politik murni politik, murni untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah. Saya pikir mereka hanya mau mengapitalisasi agama ini. Mengapitalisasi agama terus-menerus untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah,” kata Ray kepada wartawan di D’Hotel, Jalan Sultan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (21/11).

Ray pun mengaku masih belum paham apa sebenarnya tujuan acara reuni alumni 212. Ia membandingkan dengan demonstrasi 1998 untuk menggulingkan rezim Soeharto dan Orde Baru. Usai berhasil menggulingkan, tak ada perkumpulan alumni maupun acara reuninya.

“Yang saya juga enggak mengerti tujuannya apa? Masak demonstrasi pakai alumni, alumni pakai reuni. Ada-ada saja. Yang besar sekali pun perjuangan 98 itu ya berhenti di 98. Waktu jatuh ya jatuh. Bahwa anggotanya membentuk kelompok-kelompok tertentu ya silakan saja. Enggak ada reuni 98 yang jatuhin soeharto, enggak ada,” imbuhnya.

Baca Juga:

Baca Selengkapnya

BERITA

Kubu Jokowi Anggap Amien Rais Tidak Dewasa dalam Berpolitik

Oleh

Fakta News
Bersikap toleran
Amien Rais.(Istimewa)
asasasasa

Jakarta – Kubu Joko Widodo-Maruf Amin menilai, pernyataan Amien Rais yang memaksa Muhammadiyah untuk memihak salah satu calon di pemilihan presiden menunjukkan sikap Amien Rais yang tidak dewasa dalam berpolitik.

Hal tersebut diungkapkan Juru Bicara Tim Kampanye Jokowi-Maruf Amin Ace Hasan Syadzily. Selain menunjukkan Amin Rais tidak dewasa, pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa sosok Amien Rais bukan negarawan tulen.

“Hanya karena beliau pendukung Prabowo-Sandi mau mendikte Muhamamdiyah mendukung paslon tertentu. Itu menunjukkan ketidakdewasaan politik sebagai politisi yang dikenal selalu menjaga demokrasi,” jelas Ace, seperti dikutip dari Merdeka.com, Rabu (21/11).

Justru, dengan paksaan dan desakan tersebut, suara Muhammadiyah malah enggan memilih Prabowo-Sandi. “Kalau terus menerus seperti itu, saya tidak yakin Prabowo mendapatkan dukungan dari Muhammadiyah,” tegasnya.

Sikap tersebut sama sekali tidak mencerminkan sosok negarawan. Politikus Partai Golkar ini menambahkan, sebagai negarawan, seharusnya Amien Rais menjaga agar ormas, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, tidak diseret ke ranah politik praktis.

“Sebetulnya secara organisasi Muhammadiyah dan NU tidak menunjukkan dukungan secara tegas, itu perlu terus dijaga bahwa citra ormas Islam tidak terseret ke dalam politik praktis hanya untuk kekuasaan semata,” tegasnya lagi.

Baca Juga:

Baca Selengkapnya

BERITA

Penggunaan Teknologi VAR di Liga Champions Dipercepat?

Oleh

Fakta News
var
Ilustrasi.(Foto: Istimewa)

Jakarta – Setelah sukses digunakan dalam beberapa turnamen FIFA, ternyata kehadiran teknologi Video Assistant Refree (VAR) disambut baik oleh sejumlah klub Eropa.

Video Asisten Wasit (VAR) kemungkinan besar akan segera diterapkan di ajang Liga Champions, tepatnya ketika memasuki babak knock out alias fase gugur di musim ini. Wacana tersebut langsung berasal dari Presiden UEFA Aleksander Ceferin dan Ketua Asosiasi Klub Eropa Andrea Agnelli.

Dilansir dari Soccerway, Selasa (20/11), sebelumnya VAR sendiri akan diberlakukan di Liga Champions mulai musim depan, namun belakangan wacana tersebut akan dipercepat dalam rangka untuk proses pengujian teknologi tersebut.

“Kami sudah mulai melakukan semua persiapan. [Kepala wasit UEFA] Roberto Rosetti dan timnya sangat bagus. Ada sudut pandang penting – wasit dan semua aspek teknis,” kata Ceferin dalam konferensi pers di Brussels.

“Saya mengharapkan laporan dalam seminggu atau lebih dan kemudian kita akan melihat kapan kita dapat menerapkannya. Pada musim depan yang terbaru,” sambungnya.

Senada dengan Ceferin, Agnelli yang notabene merupakan pemilik Juventus siap mendukung wacana UEFA untuk mempercepat penerapan VAR di ajang Liga Champions.

Baca Juga:

Baca Selengkapnya