Budaya Urban dan Industrialisasi Keramik Plered
“Abdi ngiriman ieu cau raja, cau emas, cau batu, kopi amis, kopi pahit jeung cerutu ka luluhur urang supados meuleum tiasa sae kalayan lancar; mugi katampi ku Pangeran Panjunan. Nyuhunkeun berkah salamet kalayan lancar dina pangicalanana”.
Jujun (42) salah seorang keturunan perajin keramik di Desa Anjun-Plered menuturkan, doa tersebut selalu dirapalkan secara turun-temurun itu pada saat akan membakar keramik; biasanya dilakukan pada malam Selasa Kliwon atau malam Jum’at Kliwon. Sesajen atau dalam bahasa lokal (Sunda) disebut “rujakan” yang berisikan beberapa jenis buah-buahan seperti pisang raja, pisang batu, pisang mas serta kopi manis, kopi pahit dan cerutu, yang diyakini menjadi kegemaran roh karuhun pun disajikan dalam talam keramik dan diletakkan di depan pintu tungku pembakaran. Setelah do’a selesai dipanjatkan, api kemudian disulut yang menandakan pembakaran keramik dimulai. Namun, do’a dan sesajen tersebut kini jarang terdengar
Yadi (43) teman segenerasi Jujun, membenarkan apa yang dikatakan Jujun. Ditambahkannya, meskipun doa tersebut sudah sangat jarang dirapalkan dan ‘rujakan’ pun hanya sesekali disajikan, tapi para perajin keramik di Plered masih memegang teguh ‘pantangan karuhun’ untuk tidak bermain judi dan melakukan hubungan suami istri selama proses pembakaran keramik berlangsung. Cara dan teknik pembakaran keramik Plered pun masih mengikuti tata cara yang masih diajarkan dan diturunkan leluhur.
Dengan nada bangga Yadi mengatakan, kualitas keramiki Plered bisa diuji dengan keramik dari daerah lain di Indonesia. Waktu pembakaran keramik di Plered relatif lebih lama dari daerah lain. Sebagai perbandingan, di Jogjakarta waktu pembakaran keramik hanya dilakukan rata-rata 8 jam, sementara di Plered bisa mencapai 24 jam. Yadi yang merupakan cucu dari Ki Darma Kapal, salah satu tokoh pembuat keramik Plered disamping Ki Dasjan, Ki Sarkun, Ki Aspi, dan Ki Entas, mengatakan kakek dan teman segenerasi kakeknya sudah . membuat keramik kasar untuk kebutuhan alat rumah tangga seperti kendi dan tempayan. Bahkan sekitar Desa Anjun (Panjunan) pada Tahun 1935 tembikar/gerabah kemudian menjadi seperti industri rumah tangga di kawasan ini. Dalam catatan sejarah, pada tahun yang sama di daerah ini berdiri satu perusahaan Pemerintah Kolonial Belanda bernama Hendrik De Boa di Warungkandang- Plered yang memproduksi keramik.
Yang menarik dalam doa tersebut adalah disebutkannya nama Pangeran Panjunan. Pangeran Panjunan ini juga disebut baik di Babad Cirebon. Beliau hidup sejaman dengan Sunan Gunung Djati. Mengingat bahwa Pangeran Panjunan pernah hidup sejaman dengan Sunan Gunung Djati yaitu di sekitar abad ke-15. Hal ini memberikan indikasi bahwa tradisi pembuatan keramik di beberapa sentra di Jawa Barat, juga termasuk di kawasan Plered telah ada jauh sebelum kedatangan bangsa Belanda. Pangeran Panjunan yang bernama asli Maulana Abdurrahman, menyebarluaskan agama Islam ke berbagai daerah di Jawa Barat, sambil mengajarkan keahliannya membuat barang-barang keramik kepada para pengikutnya di daerah yang ia kunjungi.
Sementara itu, dalam catatan sejarah Pemerintah Kolonial Belanda industri keramik di kawasan Plered sudah ada sejak tahun 1795. Pada saat itu, disekitar Desa Citalang Purwakarta banyak berdiri Lio-Lio (tempat pembuatan genteng dan batu-bata, gentong, dan tempayan dan alat-alat kebutuhan rumah tangga); sejak itu banyak rumah-rumah penduduk yang semula beratap injuk, sirap, daun kelapa dan alang-alang berganti menjadi genteng. Namun sumber lain menyebutkan, sejarah Plered dan keramiknya dimulai sejak jaman Neolitikum; bukti-bukti sejarah dari penggalian adalah banyak ditemukan benda purbakala peralatan rumah tangga berupa belanga serta periuk dari tanah liat.
Pendil dan Kendi
Kearifan lokal berupa do’a karuhun, rujakan dan ‘pantangan karuhun’ dalam pembuatan keramik Plered barangkali cukup sukar dipahami. Di dunia akademis keramik bahkan hanya dipandang sebagai produk seni dan kriya; eksperimen dalam pembuatan bahan baku dan teknik pembakaran dilakukan tanpa mengenal batasan atau suatu pantangan. Namun tidak demikian dengan Jujun. Meskipun pekerjaaannya sebagai peneliti di UPT Litbang Keramik DISKOPINDAG Kabupaten Purwakarta menuntutnya untuk memandang logis dalam pembuatan keramik sebagai produk dari industri, dia tetap memperlakukan dan memandang keramik sebagai suatu yang sakral.
Telah cukup banyak eksperimen bahan dan teknik pembakaran yang dia lakukan –Produk yang terakhir dia buat adalah Keremik Brintik; Jujun bereksperimen dengan teknik pelapisan dan pembakaran sehingga didapat tekstur keramik yang menyerupai sisik atau kulit yang terkelupas–. Namun jiwanya tetap bergetar bila melihat keramik; ‘muringkak bulu punduk’ kata Jujun setiap kali memulai proses pembuatan keramik; mulai dari ide, meramu bahan, rekayasa bentuk, pengeringan/penjemuran hingga proses pembakaran.
Jujun pun meyakini bahwa keramik Plered pada dasarnya mengacu hanya pada dua bentuk saja: pendil dan kendi. Bentuk lainnya adalah turunan atau rekayasa dari dua bentuk dasar itu. Ibarat Kelahiran dan kematian, Pendil dan Kensi bagi masyarakat Desa Anjun melambangkan dua kejadian sakral tersebut. Pendil atau Dalung adalah bentuk keramik keramik yang melambangkan permulaan dari kehidupan di dunia atau kelahiran. Di dalam pendil ini biasanya ari-ari dari bayi yang baru lahir ditempatkan atau dimasukkan untuk kemudian dilarung ke sungai atau dikuburkan di halaman dekat rumah dan diberikan penerangan dari lampu cempor minyak tanah.
Kendi ini tentu bukan melambangkan kematian, melainkan ‘menghormatan’ bagi jasad atau arah dari makam yang dikunjungi. Kendi biasanya selalu menyertai pada saat ‘nyekar’ atau ziarah ke makam dan kendi tersebut sering diletakkan di sisi nisan di atas makam. Di dalam kendi tersebut diisikan air yang telah didoakan sebelumnya; hal ini tentu lebih kepada ritual budaya tradisional dari pada ritual keagaaman. Dalam adat teradisi budaya Sunda, termasuk di Plered-Purwakarta, kendi juga sering digunakan dalam acara adat seperti acara pernikahan, peringatan hari ulang tahun yang disebut dengan ‘nakol’ atau ‘injek’ atau minum dari air kendi.
Dalam hal ragam hias dan warna, keramik Plered khususnya kendi, pada dasarnya hanya memiliki atau ragam hias berupa padi dan kapas dan hampir tidak pernah berubah hingga kini. Padi melambangkan kebutuhan dasar manusia akan pangan sedangkan kapas melambangkan kebutuhan dasar manusia akan sandang. Warna keramik Plered pun hanya terdiri dari empat warna dasar saja yaitu warna merah, kuning, hitam dan putih. Keempat warna tersebut tentu tidak muncul secara kontras karena adanya pengaruh dari warna terakota tanah liat itu sendiri; warna putih bahkan mengalami ‘mutasi’ menjadi oranye atau jingga karena adanya perpaduan dengan warna terakota dari dasar keramik.
Budaya Urban dan Industrialisasi
Pada jaman penjajahan Pemerintah Jepang, kerajinan dan industri rumahan keramik di Plered mengalami kemunduran. Para perajin dan penduduk di daerah ini hampir seluruhnya bekerja sebagai romusha, terutama mereka yang berada di sekitar Ciganea dan Gunung Cupu. Pabrik Keramik De Boa milik Pemerintah Kolonial Belanda pun dikuasai dan berganti nama menjadi Toki Kojo. Pada masa itu produksi keramik di daerah ini nyaris terhenti; selain sebagai pekerja romusha, banyak perajin tembikar/gerabah ikut maju ke medan peperangan bersama pasukan rakyat di barisan Banteng di Hisbullah menyerbu ke Front Padalarang, Tagog Apu atau Front Warung Jeruk.
Pasca proklamasi setelah keadaan berangsur membaik, produksi keramik Plered perlahan mulai menggeliat. Tahun 1950 bisa dikatakan tahun kebangkitan kerajinan dan industri rumahan keramik di kawasan ini; ketika Bung Hatta Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia membuka resmi induk keramik yang gedungnya dekat Gonggo-Plered. Pada masa itu dari Jakarta mulai didatangkan mesin-mesin untuk menghaluskan tanah liat dari Jerman dan konon pada masa itu merupakan masa kejayaan keramik Plered karena produksinya yang relatif tinggi.
Bagaimana dengan produsi keramik saat ini? Berdasarkan data dari UPTD Litbang Keramik DISKOPINDAG Purwakarta, pada Tahun 2009/2012 di Sentra Industi Kecil Keramik Plered terdapat 286 Unit usaha UMKM dengan jumlah pekerja sekitar 3.000-an orang. Menurut Jujun dan Yadi, para pengusaha kecil keramik di Plered ini saat ini sedang mengalami krisis atau kekurangan tukang ‘putar’; perajin keramik yang memiliki keahlian menggunakan alat putar tangan (hand wheel) atau alat putar kaki (kick wheel). Saat ini usia perajin yang cakap dibidang ketrampilan ini rata-rata sudah berusia hampir diatas usia produktif; mereka rata-rata bersusia di atas 60 tahun. Hanya beberapa orang saja yang dibawah usia 40-an tahun.
Neni (45) misalnya, ibu yang memiliki 5 (lima) orang cucu dari 5 (lima) orang anaknya, mengatakan tidak satu pun dari keturunannya memiliki ketrampilan ‘memutar’ keramik seperti dia dan tidak satu pun diantara mereka yang ingin atau berminat meneruskan usahanya. “Anak-anak sekarang lebih menyukai kerja sebagai buruh pabrik sekitar Purwakarta atau bekerja di bidang lain daripada meneruskan usaha membuat keramik”, katanya pada suatu siang sambil memutar kendi keramiknya. Neni dan suaminya barangkali adalah pemegang tongkat estafet terakhir usaha keramik keluarganya yang turun temurun.
Lain lagi dengan Shinta (27), yang juga warga Desa Anjun dan secara turun temurun keluarganya memiliki usaha keramik. Shinta sangat trampil ‘memutar keramik’, tapi bagi Shinta memutar keramik bukanlah pekerjaan utama. Shinta hanya membuat dan memutar keramik bila ada pesanan yang cukup besar. Sehari-harinya, Shinta banyak membantu UPTD Litbang Keramik bila ada pelatihan membuat keramik atau mendemontrasikan cara membuat menggunakan alat putar tangan (hand wheel) atau alat putar kaki (kick wheel) bila ada kunjungan anak-anak seklolah ke litbang tersebut. Shinta telah belajar membuat keramik sejak usia 9 tahun atau kelas 3 (tiga) sekolah dasar.
Di desa Anjun, setiap anak di Desa Anjun hampir rata-rata mempunyai kemampuan dan trampil membuat keramik, kata Shinta. Barangkali karena pekerjaan ini sudah dilakukan turun temurun, tambahnya. Namun diakuinya, setelah dewasa banyak diantara anak-anak di desanya memilih bekerja di bidang lain seperti menjadi buruh pabrik atau bekerja di kota lainnya. Hanya sebagian kecil yang melanjutkan usaha keluarga dalam membuatkeramik. Anak muda Plered yang sekolah di perguruan tinggi dan telah menjadi sarjana banyak yang enggan menjadi pengrajin keramik. Membuat keramik saat ini bukanlah pekerjaan menjajikan dan tidak cukup bergengsi karena ‘berlepotan’ dengan tanah dan lumpur. Dengan bercanda Shinta mengatakan, membuat keramik menjadikan anak-anak sekarang sulit memegang HP (handphone) dan takut tangannya atau HP-nya kotor.
Masih menurut Shinta, yang juga dibenarkan Jujun, para perajin dewasa yang cakap dan trampil pun kini banyak bekerja di luar Plered dan Purwakarta. Mereka bekerja di bidang yang sama, direkrut oleh pengusaha keramik di tempat lain. Biasanya, bila usaha keluarganya mendapat pesanan besar atau order yang cukup besar untuk eksport atau permintaan dalam negeri, baru mereka pulang sebentar ke desannya membantu usaha keluarga memenuhi order atau pesanan tersebut. Setelah itu, kembali lagi bekerja di tempat lain. Hal seperti ini adalah keadaan yang lumrah terjadi di Desa Anjun- Plered, kata Shinta.
Krisis tenaga cakap dan trampil di dalam membuat keramik di Plered memang tidak bisa dihindari. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Salah satunya, seperti yang dituturkan Yadi, karena adanya disparitas harga yang sangat mencolok antara perajin dengan penjual keramik di kota sangat tinggai. Sebuah kendi, misalnya. Dari tangan Yadi dan Neni, sebuah kendi hanya dihargai Rp. 3.000,. sementara bila sampai ke kota, penjual keramik bisa menjualnya hingga di atas Rp. 20.000 rupiah. Harga yang relatif sangat murah dari para perajin ini membuat banyak perajin sukar bertahan untuk tetap berproduksi sehingga mulai berpikir mencari pekerjaan lain atau menjadi buruh pekerja keramik di industri-industi keramik atau di daerah lain yang membutuhkan keahliannya.
Kalaupun ada permintaan eksport, Yadi menambahkan, harga yang ditetapkan eksportir sebenarnya tidak terlalu menggiurkan atau memberikan keuntungan besar. Yang cukup bernilai atau memberikan keuntungan yang relatif besar, justru penjualan dari pasar lokal atau domestik seperti dari pengusaha hotel atau interior design yang memerlukan keramik. Jadi barangkali pasar domestik inilah harus dikembangkan maksimal, Yadi menyarankan.
Tidak ada data pasti berapa sebenarnya jumlah generasi produktif yang memilih profesi lain selain sebagai perajin keramik di Desa Anjun dan desa-desa lainnya di Plered Purwakarta yang merupakan desa sentra keramik. Juga tidak ada survey yang dapat menjelaskan seberapa besar sebenarnya minat generasi muda Plered untuk meneruskan usaha keluarga yang turun temurun ini. Fenomena yang terlihat, nampaknya para gernerasi muda atau generasi produktif di Plered cenderung memilih bekerja di pabrik-pabrik yang ada di sekitar Purwakarta, Karawangn dan Bekasi atau daerah lainnya. Apa yang dialami Neni serta yang diceritakan Shinta, Jujun dan Yedi secara kualitatif mungkin dapat menggambarkan fenomena tersebut. Budaya urban generasi mudanya dan industrialisasi yang terjadi di kawasan ini secara perlahan merenggut para perajin keramik dan generasi muda plered dari budaya kerajinan keramiknya.
Pertanyaan yang barangkali patut untuk dikemukakan adalah apakah mungkin Desa Anjun dan desa-desa lainnya penghasil keramik di Plered ini bisa bertahan sebagai desa perajin keramik? Satu hal yang harus diperhatikan adalah meskipun menurut kepercayaan masyarakat Anjun Plered tanah liat di kawasan ini tidak akan pernah habis walupun telah diambil terus menerus, seperti dikisahkan bahwa tanah liat Plered adalah jelmaan dari nasi-nya Dayang Sumbi, tapi alih fungsi lahan menjadi lokasi perumahan, industri atau yang lainnya dapat membatasi masyarakat perajin mengambil tanah liat Dari dalam aseupan Dayang Sumbi yang telah berubah menjadi gunung itu barangkali memang akan terus keluar nasi yang berubah menjadi tanah liat, tapi bisa jadi suatu saat masyarakat tidak dapat lagi mengambil tanah liat itu karena aseupannya telah ada yang memiliki.
Desa Anjun saat tidak jauh berbeda dengan kawasan permukiman padat di perkotaan. Desa yang merupakan kawasan perkampungan organik dengan jalan-jalan sempit yang berbelok-belok memiliki arsitekur bangunan pun sama dan serupa dengan arsitektur bangunan di kawasan permukiman perkotaan di Jawa Barat lainnya. Yang membedakannya adalah hampir di setiap rumah ada aktifitas membuat keramik dan di beberapa lokasi terdapat tungku-tungku pembakaran keramik secara turun temurun dengan halaman yang tidak begitu luas, tapi cukup untuk menjemur keramik sebelum dibakar.
Namun, di Jalan Arteri Plered, outlet keramik rakyat yang tadinya berderet-deret, 10 tahun terakhir telah banyak berubah. Kini outlet keramik itu telah banyak yang berganti rupa menjadi bengkel, toko bangunan atau rumah makan. Do’a dalam budaya untuk menghormati karuhun saat keramik mulai dibakar nampaknya harus dipanjatkan dan ‘rujakan’ kembali disajikan agar kawasan keramik Plered ramai dikunjungi wisatawan untuk membelinya.
*Lian Lubis, Urban Designer.
BERITA
Reuni Alumni 212 Jelas Kapitalisasi Agama demi Kepentingan Politik
Jakarta – Reuni Alumni 212 yang bakal digelar awal Desember di Lapangan Monas Jakarta dianggap bentuk kapitalisasi agama demi kepentingan politik. Reuni tersebut seharusnya tidak diadakan lantaran tuntutan aksi 212 sudah diakomodasi.
Hal tersebut diungkapkan pengamat politik Lingkar Madani. Ia menilai kegiatan alumni 212 ini bukan murni kegiatan agama, melainkan kegiatan politik. Ia juga keheranan mengapa harus ada acara tersebut. Pasalnya, tuntutan aksi 212 sudah dipenuhi dengan Basuki Tjahaja Purnama dipenjara.
“Itu sudah jelas politik, enggak ada hubungannya lagi dengan agama, enggak ada hubungannya dengan dakwah, apa yang mereka tuntut sudah dipenjara kok. Apalagi gunanya, itu politik murni politik, murni untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah. Saya pikir mereka hanya mau mengapitalisasi agama ini. Mengapitalisasi agama terus-menerus untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah,” kata Ray kepada wartawan di D’Hotel, Jalan Sultan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (21/11).
Ray pun mengaku masih belum paham apa sebenarnya tujuan acara reuni alumni 212. Ia membandingkan dengan demonstrasi 1998 untuk menggulingkan rezim Soeharto dan Orde Baru. Usai berhasil menggulingkan, tak ada perkumpulan alumni maupun acara reuninya.
“Yang saya juga enggak mengerti tujuannya apa? Masak demonstrasi pakai alumni, alumni pakai reuni. Ada-ada saja. Yang besar sekali pun perjuangan 98 itu ya berhenti di 98. Waktu jatuh ya jatuh. Bahwa anggotanya membentuk kelompok-kelompok tertentu ya silakan saja. Enggak ada reuni 98 yang jatuhin soeharto, enggak ada,” imbuhnya.
Baca Juga:
BERITA
Kubu Jokowi Anggap Amien Rais Tidak Dewasa dalam Berpolitik
Jakarta – Kubu Joko Widodo-Maruf Amin menilai, pernyataan Amien Rais yang memaksa Muhammadiyah untuk memihak salah satu calon di pemilihan presiden menunjukkan sikap Amien Rais yang tidak dewasa dalam berpolitik.
Hal tersebut diungkapkan Juru Bicara Tim Kampanye Jokowi-Maruf Amin Ace Hasan Syadzily. Selain menunjukkan Amin Rais tidak dewasa, pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa sosok Amien Rais bukan negarawan tulen.
“Hanya karena beliau pendukung Prabowo-Sandi mau mendikte Muhamamdiyah mendukung paslon tertentu. Itu menunjukkan ketidakdewasaan politik sebagai politisi yang dikenal selalu menjaga demokrasi,” jelas Ace, seperti dikutip dari Merdeka.com, Rabu (21/11).
Justru, dengan paksaan dan desakan tersebut, suara Muhammadiyah malah enggan memilih Prabowo-Sandi. “Kalau terus menerus seperti itu, saya tidak yakin Prabowo mendapatkan dukungan dari Muhammadiyah,” tegasnya.
Sikap tersebut sama sekali tidak mencerminkan sosok negarawan. Politikus Partai Golkar ini menambahkan, sebagai negarawan, seharusnya Amien Rais menjaga agar ormas, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, tidak diseret ke ranah politik praktis.
“Sebetulnya secara organisasi Muhammadiyah dan NU tidak menunjukkan dukungan secara tegas, itu perlu terus dijaga bahwa citra ormas Islam tidak terseret ke dalam politik praktis hanya untuk kekuasaan semata,” tegasnya lagi.
Baca Juga:
BERITA
Penggunaan Teknologi VAR di Liga Champions Dipercepat?
Jakarta – Setelah sukses digunakan dalam beberapa turnamen FIFA, ternyata kehadiran teknologi Video Assistant Refree (VAR) disambut baik oleh sejumlah klub Eropa.
Video Asisten Wasit (VAR) kemungkinan besar akan segera diterapkan di ajang Liga Champions, tepatnya ketika memasuki babak knock out alias fase gugur di musim ini. Wacana tersebut langsung berasal dari Presiden UEFA Aleksander Ceferin dan Ketua Asosiasi Klub Eropa Andrea Agnelli.
Dilansir dari Soccerway, Selasa (20/11), sebelumnya VAR sendiri akan diberlakukan di Liga Champions mulai musim depan, namun belakangan wacana tersebut akan dipercepat dalam rangka untuk proses pengujian teknologi tersebut.
“Kami sudah mulai melakukan semua persiapan. [Kepala wasit UEFA] Roberto Rosetti dan timnya sangat bagus. Ada sudut pandang penting – wasit dan semua aspek teknis,” kata Ceferin dalam konferensi pers di Brussels.
“Saya mengharapkan laporan dalam seminggu atau lebih dan kemudian kita akan melihat kapan kita dapat menerapkannya. Pada musim depan yang terbaru,” sambungnya.
Senada dengan Ceferin, Agnelli yang notabene merupakan pemilik Juventus siap mendukung wacana UEFA untuk mempercepat penerapan VAR di ajang Liga Champions.
Baca Juga: