Connect with us

Di Desanya Cinta Juga Begitu

Di sini tidak membutuhkan cerita sastra, Navis. Apalagi puisimu yang mendayu-dayu itu. Bulan keemasan yang kau tuliskan bercadar awan adalah bulan yang tertutup awan sebagian. Di sini, kata diucapkan tegas dan lugas, tidak kata bersayap. Apalagi kata-kata yang membuat hatimu menjadi melankolik.

Cinta yang kau puisikan tanpa kata cinta, tapi menuliskannya dengan kisah dan kejadian menyayat hati akan membuatmu seperti manusia cengeng yang mencintai kesedihan dari cinta.Kau harus memahami bahwa kata cinta telah bermetamorfosis. Ibarat telur yang berubah menjadi kepompong, dia tidak lagi menjadi kupu-kupu, tapi menjadi elang yang akan menyambar kelinci di padang rumput. Begitulah cinta di kota!

Kau lihat laki-laki itu, yang bersama perempuan berbaju merah di sisi kirinya. Dalam cerita cinta sastramu pastilah  si pria  sedang memuja si wanita dan si wanita malu-malu. Di sini tidak demikian, Navis! Mereka sedang bertransaksi. Laki-laki itu, yang entah masih perjaka atau sudah mempunyai bini, sedang menawar cinta yang dijual murah oleh perempuan itu. Di gubug-gubug liar pinggir rel yang berderet-deret itu, cinta akan bermetamorfosis menjadi syahwat!

Navis terpana menatap Rusdi. Bibirnya tidak terkatup rapat; menganga. Bola matanya tajam melihat bibir Rusdi yang terus bicara, sampai akhirnya Rusdi menepuk keningnya; kepala Navis terdorong ke belakang. Navis tersadarkan.

“Navis, apa yang kau perhatikan di mukaku? Kau seperti melihat setan di wajahku”.

“Rusdi, indah sekali kata-kata dalam rangkaian kalimat yang mengalir dari bibimu”. Navis masih menatap Rusdi.

Rusdi  bingung dan keheranan.

“Ada apa dengan kau, Navis?” Rusdi mendekati Navis, meneliti wajahnya dan melihat ke dalam mata Navis.

“Rusdi, kata-kata yang keluar dari mulutmu  ibarat….” Navis tak bisa melanjutkan kalimatnya, keburu dipenggal Rusdi.

“Kau gila, Navis!”

Tiba-tiba roda-roda besi kereta api rangkaian listrik yang berputar cepat melindas rel di depan mereka. Gemuruhnya melenyapkan bunyi vokal dan konsonan yang keluar dari mulut Rusdi. Mulut Rusdi yang terus berbicara jadi terlihat seperti sedang berkomat kamit saja; menyemburkan percikan ludah ke wajah Navis. Navis mengusap muka dengan tangan kanannya, layaknya orang yang membasuh muka saat mengambil air sembahyang.

Kereta api telah lewat. Kata-kata Rusdi  pun berlalu. Suasana di pinggiran rel kembali temaram. Perempuan-perempuan yang bersolek seronok kembali berdiri di pinggir-pinggir rel, menanti pembeli cinta. Purnama  menggantung di atas tiang listrik. Laki-laki dan perempuan yang berbaju merah itu beranjak dari tempat mereka duduk, berjalan beriringan menuju salah satu gubug liar yang diterangi sepotong lilin. Mata Navis tak lepas memperhatikan mereka; Rusdi memperhatikan Navis, lalu sekali lagi menepuk kening Navis; kepala Navis kembali terdorong ke belakang. Rusdi tertawa karena Navis terkejut.

***

Di desanya, Navis dipanggil orang dengan sebutan ‘pujangga cinta’; bahkan banyak yang lupa dengan namanya. Di kaki gunung itu, di desa yang dibelah sungai berair jernih dan yang berselimut kabut kala pagi hari,  Navis selalu diminta memberikan petuah dan nasihat  tentang cinta bagi setiap mempelai yang akan  dinikahkan. Padahal Navis sendiri belum menikah walau usianya hampir mendekati empat puluh. Logikanya, mana mungkin Navis  paham tentang cinta  apalagi memberikan nasihat dan petuah tentang perkawinan. Tapi, bagi penduduk desa itu kata-kata Navis adalah mutiara cinta; petuah dan nasihatnya  adalah intan berlian yang ingin mereka simpan.

Navis si bujang lapuk, sang pujangga cinta, bukan tak ingin menikah; keiginannya untuk beristri sudah tak terperikan lagi. Seperti si pecandu, bila keinginan itu telah sampai keubun-ubunnya dia akan sakaw1; keringat dingin merembes dari seluruh pori-pori, panas dingin seluruh tubuhnya. Solehah, Hindun, Zubaedah, dan entah siapa lagi  gadis di desanya pernah menyodorkan cinta ketika dia meratapi malam; memberikan penawar sakawnya, tapi cinta terlalu agung bagi Navis; tak bisa diserahkan begitu saja tanpa prosesi pernikahan yang sakral. “Tidakkah kalian iri pada rembulan? Beribu kali telah dirayu dan dan dipinang, tapi bulan tetap perawan”. Pipi mereka pun memerah semerah saga; mereka berlari dan malu pada rembulan.

Navis adalah sang pujangga cinta yang pandai menyembunyikan rahasia malam. Dia tahu banyak mempelai wanita di desanya yang telah menyerahkan cinta pada kekasihnya yang pandai menghiba dan merayu di gelap malam, tapi mawar tetap indah dan melati tetap mewangi walau kumbang telah menghisap madunya katanya dalam petuah dan nasihat di hari pernikahan mereka. Air mata pun menitik di sudut-sudut mata mempelai perempuan dan mempelai laki-laki tertunduk dalam. Nasihat Navis bagaikan embun pagi hari yang menyentuh  tubuh dan wajah mereka.

***

“Sebentar lagi, api lilin itu akan padam dihembus nafas mereka yang menderu-deru. Laki-laki dan perempuan berbaju merah itupun akan hilang ditelan gelap”, Rusdi  bermonolog. Navis tercenung, kalimat-kalimat Rusdi sekarang seperti bait-bait dalam prosa lirik?2. Seingat Navis, Rusdi waktu di sekolah –mereka kawan sebangku sejak di sekolah dasar hingga menengah atas– adalah murid yang sangat tidak menyukai bahkan membenci pelajaran sastra. Bagi Rusdi, lebih baik dia disuruh guru mengerjakan soal-soal matematika yang sangat sulit dari pada harus menciptakan puisi atau mengarang cerita.

Rusdi lah pujangga kehidupan; pujangga yang bisa berkisah tentang cinta sebenarnya, Navis membatin. Sedang dirinya, pecundang yang mengagungkan cinta; laki-laki yang selalu meratapi malam gelap dan bercinta dengan keasedihan cinta itu sendiri. Malam ini dia merasa diperolok-olok orang-orang di desanya dengan memanggilnya sang pujangga cinta. Lamunan Navis dibuyarkan oleh seorang perempuan yang datang mengjampiri. –Sejak tadi sebelum kereta lewat, perempuan itu selalu mengawasi Navis, seperti predator yang sabar mengintai mangsanya—

“Aku ikutan duduk, ya bang. Dari tadi ku lihat abang ngobrol berdua saja”.

Navis mengangguk dan bergeser sedikit, memberikan ruang untuk perempuan itu duduk. Perempuan itu merekahkan senyum pada Navis. Lentik bulu matanya yang dikedipkan mencoba memacu degup jantung Navis.

Rusdi yang duduk di hadapan Navis beranjak perlahan. Diam-diam menghilang di keremangan, di antara gubug-gubug pinggiran rel.

Di bawah sinar bulan di pinggiran rel, terbayang olehnya rupa Solehah yang elok, tubuh Hindun yang indah kala cahaya purnama menimpanya, suara Zubaedah yang manja ketika merayu menyebut namanya dan entah siapa lagi gadis-gadis di desanya. Wajah mereka terbingkai rapih dalam angannya.

Navis mulai sakaw;  keringat dingin merembes dari seluruh pori-pori, panas dingin seluruh tubuhnya. Perempuan itu merapatkan tubuhnya dan merebahkan kepala di bahu Navis.; berbisik lembut di telinganya, “Aku punya penawar sakawmu”. Cinta yang disodorkan pun tak bisa lagi ditepiskan.

Terngiang kata-kata Rusdi beberapa menit yang lalu, “Di gubug-gubug liar pinggir rel yang berderet-deret itu, cinta akan bermetamorfosis menjadi syahwat!” Wajah Hindun, perempun yang sangat diimpikan menjadi istrinya; yang pernah akan menyerahkan cinta padanya, tergambar di wajah perempuan yang tengah digenggamnya. Begitu nyata wajah itu hingga menghantam jantung Navis dan menghentak-hentakannya. Api lilin pun padam dihembus nafas Navis yang menderu-deru.

Desa Mekar Manik, April 2015.

Penulis: Lian Lubis

Catatan:

  1. Sakaw: keadaan seseorang mengalami rasa gelisah atau gangguan psikis/psikologis akibat kencanduan putau (narkoba); rasa ingin mengkonsumsi putau yang muncul (amat sangat). Kamusslang.com
  2. Salah satu bentuk karya sastra dalam ragam prosa yang ditulis dan diungkapkan menggunakan unsur puisi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Kendati Rupiah Menguat, Pemerintah dan BI Harus Tetap Antisipatif

Oleh

Fakta News
Pemerintah dan BI
Rupiah menguat perkasa(Ilustrasi)

Kendati nilai tukar rupiah menguat sejak awal pekan ketiga November 2018, pemerintah dan BI (Bank Indonesia) harus tetap antisipatif. Nilai tukar valuta masih akan fluktuatif, karena pasar uang terus dibayang-bayangi oleh rencana bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (Fed), menaikkan suku bunga acuannya, Fed Fund Rate (FFR), hingga tahun 2019 mendatang.

Akhir pekan kedua November 2018, rupiah digambarkan sebagai valuta paling perkasa di Asia karena mengalami penguatan sampai 70 poin, atau 0,48% terhadap dolar AS. Pada Jumat (16/11), nilai tukar rupiah sudah memasuki level Rp 14.595 dan Rp 14.665.

Proses penguatan nilai tukar rupiah saat ini tentu tak bisa dilepaskan dari langkah BI menaikkan bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6%, belum lama ini. Namun, proses penguatan rupiah saat ini diasumsikan temporer.

Rupiah – dolar AS, pada dasarnya belum menemukan keseimbangan baru. Terutama karena Fed masih akan menaikkan bunga acuan ke level 3,25 persen hingga 2019, dari posisi dua persen saat ini.

Baca Selengkapnya

BERITA

Mencaci Maki Sekulerisme Tanpa Memahami Maknanya

Oleh

Fakta News

Sudah terjadi berlangsung lama kesalahan dalam pemahaman tentang apa makna sekulerisme. Namun sebagian justru memelesetkan pengertian sekuler dan menjelaskan pada orang yang nggak mengerti. Sekulerisme seolah-olah ingin membuat orang Islam tidak berpolitik. Hal ini tidaklah benar.

Sekulerisme itu adalah konsep yang memisahkan agama dengan kekuasaan politik atau negara, khususnya pada negara bangsa (nation state). Kalau di negara teokrasi mungkin agama dan politik kekuasaan negara bisa saja disatukan. Sayang negara agama yang murni di dunia itu tidak ada.

Islam pada waktu Nabi hidup dan kekhalifahan paska wafatnya Nabi mungkin bisa disebut “negara agama atau negara Islam”. Namun setelah itu “Eksperimen Kekuasaan di Madinah” dianggap gagal. Di Turki dicoba lagi dan juga gagal.

Negara Arab Saudi sendiri mengambil bentuk negaranya sebagai kerajaan dan bukan negara Islam, karena yang disebut dalam Quran adalah kerajaan. Pengertian khilafah berdasar Quran itu dimensi dan skalanya individual bukan dalam skala negara. Dan tatkala Nabi menjalankan eksperimen struktur kenegaraan di Madinah, luas Madinah sebenarnya hanya sebesar 2 kali Kecamatan Mampang.

Sekularisme tersebut dalam sub pemahamannya sering diartikan, yakni berarti pemisahan ambisi berkuasa/berpolitik (dalam kontek kekuasaan negara) dengan kewajiban orang dalam beragama. Nah kalau, dalam kontek negara, orang ingin agama dan kekuasaan disatukan itu tidak bisa dikatakan sekuler atau tidak sekuler. Tetapi penyatuan agama dengan politik (kenegaraan) demikian disebut totaliterianisme agama. Inilah yang dianut HTI, karena itu mereka juga anti demokrasi!

Baca Selengkapnya

BERITA

Gus Yaqut: Dosakah Membakar Bendera HTI?

Oleh

Fakta News
Gus Yaqut: Dosakah Membakar Bendera HTI ?
Gus Yaqut(Foto: Istimewa)

Berikut tulisan Ayik Heriansyah yang diberi judul Gus Yaqut: Dosakah Membakar Bendera HTI. Tulisan Ayik ini mencoba menafsirkan perspektif Gus Yaqut terkait video yang beredar di media sosial.

Seperti diberitakan, GP Ansor, induk dari Banser, angkat bicara soal itu. Ia menyatakan pembakaran sebenarnya dilakukan pada bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sekaligus untuk menjaga kalimat tauhid.

Baca Juga:

Gus Yaqut alias Yaqut Cholil Qoumas selaku Ketua Umum PP GP Ansor menyampaikan persepktifnya terkait kejadian ini. Ia bilang anggotanya melihat bendera tersebut sebagai simbol bendera HTI, ormas yang sudah dibubarkan pemerintah.

Gus Yaqut: Dosakah Membakar Bendera HTI ?

Bendera hitam putih yang kerap dibawa aktivis HTI merupakan simbol gerakan pemberontakan (bughat) terhadap daulah Islamiyah (NKRI). Itulah bendera Khilafah ala HTI yang terinspirasi oleh hadits-hadits Nabi Saw tentang liwa rayah. Liwa rayah merupakan bendera simbol kenegaraan kaum muslimin pada hubungan internasional saat itu. Di Indonesia umat Islam sepakat menggunakan bendera Merah Putih sebagai simbol kenegaraan mereka. Itulah liwa rayah kaum muslimin di Indonesia. Bendera pemersatu umat dari Sabang sampai Merauke.

Sebagai muslim/muslimah yang memiliki KTP, SIM dan Buku Nikah NKRI, makan minum, menggunakan mata uang Indonesia fasilitas jalan, bandara, pelabuhan, sekolah, rumah sakit, dsb udah seharusnya aktivis HTI mengusung bendera Merah Putih. Liwa rayah kita semua. Toh Nabi Saw sendiri tidak memerintahkan umatnya menggunakan liwa rayah hitam putih yang bertuliskan dua kalimat syahadat. Bukankah semua hadits tentang liwa rayah hanya bersifat khabariyah informatif tanpa ada qarinah (indikasi) wajib menggunakannya. Sesungguhnya Nabi Saw sudah tau, perihal bendera negara diserahkan kepada sepenuhnya kesepakatan umatnya.

Aksi pamer bendera HTI di wilayah NKRI menimbulkan kegaduhan, fitnah dan memecah belah umat Islam. Bukan hanya NU, Ansor dan Banser, ormas Islam lainnya pembentuk NKRI risih dengan bendera HTI. Sudah pasti tujuan HTI mendirikan Khilafah Tahririyah termasuk bughat. Setiap kegiatan dan atribut yang mengarah kepada bughat dihukumi haram. Sesuai kaidah ushul fiqih yang juga diadopsi HTI yang berbunyi: al-washilatu ila harami muharramah aw haramun.

Langkah-langkah Banser menindak peragaan bendera HTI tidak lain dan tidak bukan demi menjaga persatuan dan kesatuan umat, bangsa dan negara. Yang demikian itu sesuai dengan maqashidusy syariah yakni hifdzul umat, mujtama wa daulah. Inilah esensi dari penerapan syariah.

*Utsman Membakar al-Qur’an*
Pada saat terjadi perang irminiyah  dan perang adzrabiijaan, Hudzaifah Ibnul Yaman yang saat itu ikut dalam dua perang tersebut melihat perbedaan yang sangat banyak pada wajah qiraah beberapa sahabat. Sebagiannya bercampur dengan bacaan yanag salah. Melihat kondisi para sahabat yang beselisih, maka ia melaporkannya kedapa Utsman radhiyallahu ‘anhu. Mendengar kondisi yang seperti itu, Utsman radhiyalahu ‘anhu lalu mengumpulkan manusia untuk membaca dengan qiraah yang tsabit dalam satu huruf (yang sesuai dengan kodifikasi Utsman). (lihat mabaahits fi ‘ulumil Qur’an karya Manna’ al Qaththan: 128-129. Cetakan masnyuratul ashr al hadits).

Setelah Utsman radhiyallahu ‘anhu memerintahkan kepada sahabat untuk menulis ulang al Qur’an, beliau kemudian mengirimkan al Qur’an tersebut ke seluruh penjuru negri dan  memerintahkan kepada manusia untuk membakar al Qur’an yang tidak sesuai dengan kodifikasi beliau. (lihat Shahih Bukhari, kitab Fadhailul Qur’an bab jam’ul Qur’an, al Maktabah Syamilah)

Baca Selengkapnya