Lady Bird: Feminisme dalam Cerita Anak Muda
Greta mampu meramu relasi tiap karakternya menjadi unik dan spesial. Relasi Christine dan Ibunya, misalnya, digambarkan kontradiktif dan tak jarang terkesan serba salah. Dari perseteruan itu tentu ada hasilnya, penonton akan merasa lebih dekat ketika salah satu dari mereka luluh dalam bertengkar.
Sang Ibu yang diperankan Laurie Metcalf juga tak semata-mata jadi serba baik. Di film pertama Greta ini, semua orang hadir abu-abu, sebagaimana di dunia nyata. Hal semacam ini yang membuat Lady Bird tak biasa dan mengena di hati penonton.
Atau Christine dengan dua mantan pacarnya. Keduanya memiliki ‘rasa’ masing-masing yang tentunya menimbulkan perepsi emosinya tersendiri. Tak jarang persoalan yang dikaitkan adalah perkara identitas diri dan dominasi seksual. Ketika sang pria menolak untuk memegang payudara pasangannya dengan alasan menghormati atau ketika sang wanita kecewa karena ia bukan yang pertama diajak bercinta–dan kecewa karena harus berada pada posisi di atas.
Menelaah lebih awal, urusan identitas diri sejatinya memang menjadi perkara utama dalam tipikal film remaja. Christine yang menamai dan menyebut dirinya sendiri dengan panggilan Lady Bird, ia tak ingin dipanggil dengan nama pemberian orang tuanya adalah perkara sederhana yang disampaikan secara subtil dalam Lady Bird.
Setiap relasi dalam Lady Bird menghasilkan persepsi perihal identitas. Bahkan relasi Christine dengan kota yang ia sendiri tak ingin meninggalkan kesan dalam hati terdalamnya, ia amat peduli dengan kota yang sudah 17 tahun ditinggalinya itu.
Sebagai konklusi, Lady Bird tampil bukan dalam bentuk naratif yang spektakuler. Bukan dalam artian memiliki jalan cerita yang baru dan segar dalam film sejenis. Lady Bird bisa hadir dan terasa relevan bagi penontonnya karena dibangun melalui emosi dan identitas karakter utamanya.
Suara perempuan dalam Lady Bird
Bicara feminisme dalam Lady Bird bukan hanya karena disutradarai seorang perempuan atau bercerita tentang seorang perempuan. Lebih jauhnya Lady Bird bicara soal usaha perempuan melawan dominasi gender atas laki-laki.
BERITA
Penggunaan Teknologi VAR di Liga Champions Dipercepat?
Jakarta – Setelah sukses digunakan dalam beberapa turnamen FIFA, ternyata kehadiran teknologi Video Assistant Refree (VAR) disambut baik oleh sejumlah klub Eropa.
Video Asisten Wasit (VAR) kemungkinan besar akan segera diterapkan di ajang Liga Champions, tepatnya ketika memasuki babak knock out alias fase gugur di musim ini. Wacana tersebut langsung berasal dari Presiden UEFA Aleksander Ceferin dan Ketua Asosiasi Klub Eropa Andrea Agnelli.
Dilansir dari Soccerway, Selasa (20/11), sebelumnya VAR sendiri akan diberlakukan di Liga Champions mulai musim depan, namun belakangan wacana tersebut akan dipercepat dalam rangka untuk proses pengujian teknologi tersebut.
“Kami sudah mulai melakukan semua persiapan. [Kepala wasit UEFA] Roberto Rosetti dan timnya sangat bagus. Ada sudut pandang penting – wasit dan semua aspek teknis,” kata Ceferin dalam konferensi pers di Brussels.
“Saya mengharapkan laporan dalam seminggu atau lebih dan kemudian kita akan melihat kapan kita dapat menerapkannya. Pada musim depan yang terbaru,” sambungnya.
Senada dengan Ceferin, Agnelli yang notabene merupakan pemilik Juventus siap mendukung wacana UEFA untuk mempercepat penerapan VAR di ajang Liga Champions.
Baca Juga:
BERITA
Film Bali Tentang Gamelan Dapat Pujian Sineas Dunia
Jakarta – Nama Indonesia, khususnya Bali kembali harum di pentas Internasional. Adalah film Bali: Beat The Paradise karya sutradara Tanah Air Livi Zheng yang dipuji para sineas mancanegara.
Bahkan tiket premier film tersebut sold out di New York, Amerika Serikat. Film Bali: Beats of Paradise sangat kental dengan budaya Bali, khususnya gamelan. Tak heran, berita ini menjadi angin segar bagi Indonesia.
Pemutaran premier Bali: Beats of Paradise dilakukan di Academy of Motion Picture Arts and Sciences. Atau lebih dikenal sebagai Headquarter Oscar. Film ini sudah diterima panitia Oscar dan sedang berjuang untuk masuk dalam salah satu nominator peraih Piala Oscar.
Kehadiran Bali: Beats of Paradise mampu menyita perhatian praktisi dan sineas dunia. Bahkan mereka ramai-ramai memuji film ini.
Stuart Brazell dari salah satu Stuart Says memuji karya dari Livi Zheng, sutradara asli Indonesia. “Bali: Beats of Paradise adalah film dokumenter yang sangat bagus. Sangat keren dan penuh dengan cerita kehidupan,” papar Stuart dalam keterangan tertulis dari Kementerian Pariwisata, Selasa (20/11/2018).
Pujian juga dilayangkan oleh Yorma Madus dari Cinemacy. Ia mengaku kagum akan kualitas suara film Bali: Beats of Paradise.
“Sebuah karya yang memadukan suara dan warna yang sempurna,” katanya.
Sementara Myrah dari MamaCita mengatakan bahwa Bali: Beats of Paradise menjadi inspirasi bagi film-film dokumenter lain. Ada juga praktisi film Amerika Nicole Rucci yang hadir dan mengatakan Bali: Beats of Paradise bagus karena telah dipersiapkan dengan maksimal.
Baca Juga:
BERITA
Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald, Di Bawah Ekspektasi
Fantastic Beasts and Where To Find Them pada 2016 lalu telah menarik hati Potterhead yang rindu pada seri Harry Potter. Kini, Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald ingin mengulangi sukses yang sama.
Cerita kali ini dimulai beberapa bulan setelah Newt Scamander menangkap Gellert Grindelwald dan berhasil menahannya. Namun penyihir jahat tersebut berhasil melarikan diri dan siap bikin kekacauan lagi. Misinya satu, memecah belah para penyihir darah murni.
Di cerita kali ini ia kembali mengincar Credence untuk memanfaatkannya. Sementara, semua orang memburu mereka, Credence masih aja mempertanyakan soal asal usulnya.
Baca Juga:
- Suzzanna: Bernapas dalam Kubur, Bukti Kualitas Luna Maya
- Mile 22: Ketika Aktor Indonesia Jadi Pemeran Utama di Film Hollywood
- The Nun: Sensasi Horor Bersama Valak
Nah, sebelum mengulas lebih jauh, perlu diketahui dulu, Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald ini prekuel dari seri Harry Potter. Namun beberapa kritikus justru menilai sekuel kali ini tidak mencapai ekspektasi.
Plot yang disampaikan benar-benar padat, jadi terkesan tak efektif. Materi juga terlampau banyak, hingga malah mengorbankan adegan-adegan penting.
Padahal film sebenarnya dimulai dengan baik dan cukup memanaskan adrenalin. Nah yang disayangkan, tak ada pertempuran dahysat baik antara Grindelwald dengan Scamander.
Fokus film ini justru cuma pada kejahatan Gridelwald saja. Meskipun sebenarnya memang baik untuk menjadi jembatan untuk film-film selanjutnya.
Bahkan gegara fokus pada Gridelwald, keberadaan Credence yang juga menarik justru tak terlalu terangkat.
Sederhananya, alur cerita sekuel ini jadi penuh dengan pertanyaan. Artinya untuk yang bukan Potterhead, tentu akan bingung dan bertanya-tanya.
Namun bagi penggemarnya, ada keseruan tersendiri lantaran terungkap hal-hal baru yang bersinggungan dengan cerita Harry Potter. Termasuk soal hubungan Albus Dumbledore dengan Grindelwald.