Laki-laki di Bangku Trotoar Tua
Oleh Lian Lubis
Hari masih pagi. Tak terdengar suara burung-burung yang bernyanyi, padahal pohon-pohon di kota ini banyak yang rindang. Dari atas pesawat tadi, kota bahkan terlihat seperti hamparan hutan belantara. Hanya ada lalat yang berterbangan dengan suara sayap yang berdengung-dengung dan cericit tikus-tikus got yang tidak lagi takut pada manusia. Tikus-tikus itu berkeliaran dimana-mana, saling berebut sisa makanan yang dilemparkan begitu saja ke sembarang tempat oleh manusia di kota ini.
Orang-orang di kota ini nampaknya sudah terbiasa dengan kehadiran tikus-tikus seperti layaknya hewan peliharaan atau binatang yang telah didomestikasi. Seorang anak perempuan kecil yang sedang berjalan bersama ibunya, sesekali melemparkan cuilan-culian roti di tangannya kepada tikus-tikus yang sedang bergerombol. Mereka saling berebut cuilan roti anak itu seperti merpati di taman-taman kota. Semementara, serombongan tikus lain melintasi jalan raya bagai sekawanan itik yang sedang menyeberangi sungai, memacetkan lalu lintas. Aku terpana menyaksikan kejadian ini.
Seorang laki-laki paruh baya, perkiraanku berusia sekitar 45 tahun, duduk termangu di salah satu bangku trotoar, di pinggir jalan yang bising oleh deru mesin dan suara kenalpot kendaraan. Tujuh ekor tikus sebesar kucing persia dewasa berputar-putar di sekelilingnya, diantara kedua kakinya. Sesekali menjilati ujung sepatunya. Beberapa ekor tengadah kepadanya, seperti meminta sesuatu. Dia diam tak bergeming, mengabaikan semua gerak gerik tikus-tikus itu.
Laki-laki paruh baya itu mulai memegangi perutnya seperti merasakan sesuatu, tiba-tiba sebongkah muntah kental berair tersembur dari mulutnya bersama suara ledakan yang mengejutkan tikus-tikus dan para pengendara di jalan. Sekawanan tikus yang berputar-putar di sekelilingnya pun saling berebut memakan muntahan yang berserakan di atas trotoar. Dia semakin mencengkram perutnya, seperti ingin memeras lambungnya. Sebongkah muntah tersembur lagi dari mulutnya diiringi suara letupan kentut dan ledakan dari mulutnya yang hampir sama keras dengan yang pertama. Serombongan tikus yang sedang menyeberangi jalan seketika berbalik arah, berlomba berlarian ke arahnya dan berebut muntahan yang berhamburan di atas trotoar. Wajah laki-laki itu pucat dan matanya berair.
Laki-laki terkulai lemas di atas bangku trotoar. Perutnya masih dia pegangi, tapi tidak dicengkram sekuat tadi. Muntahan ketiga tak lagi tersembur dari mulutnya, tapi keluar begitu saja dari mulutnya seperti lava yang meleleh dari puncak kepundan. Seekor tikus yang sebesar kucing persia melompat ke atas bangku trotoar. Menaiki badannya, menjilati muntahan di mulut terus ke baju dan dasinya. Aku bergidik. Jijik.
Hanya dalam hitungan detik seluruh muntah yang berhamburan berceceran di atas trotoar dan yang keluar dari mulutnya dan meleleh ke baju serta dasinya habis dilahap tikus-tikus itu. Benar-benar tak ada yang tersisa. Bersih seperti tak pernah ada muntah yang telah diledakkan.Tikus-tikus itu lalu pergi meninggalkannya yang terkulai lemas dengan wajah yang semakin pucat. Orang-orang yang tadi ramai mengerumini dan menonton laki-laki itu, satu persatu pun meninggalkannya. Ku hampiri dia. Bau comberan menyengat hidungku.
Aku ingin bertanya padanya, tapi begitu banyak kalimat tanya berjejalan di kepalaku hingga macet di tenggorokan dan tersangkut di anak lidahku; tak bisa membuat pita suaraku bergetar. Bola matanya berputar beberapa kali kemudian berhenti dan memandang ke arahku dengan sorot mata yang lemah. Laki-laki itu mencoba tersenyum dan seperti ingin mengatakan sesuatu. Buru-buru kutawari dia air mineral dalam botol yang ku genggam –Beberapa saat yang lalu segel botol ini baru ku buka, tapi tak jadi ku minum isinya saat melihat dia meledakkan muntahnya– Dia menggangguk.
Hanya beberapa teguk ditelannya air dalam botol. Aku mencoba beradaptasi dengan bau comberan, seperti bau dari tubuh-tubuh tikus got yang tadi menjilati dan memakan muntahnya. Aku tak ingin menyinggung perasaannya karena terus berdiri, aku pun ikut duduk di bangku trotoar, di ujung salah satunya. Beberapa ekor tikus dan orang kembali kulihat menyeberang jalan; melintas diantara mobil dan motor yang macet tak bergerak.
“Aku baru menandatangi kontrak salah satu proyek di kota ini”. Dia tiba-tiba berkata dengan suara pelan. Badannya disenderkan pada sandaran bangku trotoar dengan kepala ditengadahkan ke langit. Seperti sehelai daun, dibiarkannya sinar matahari pagi menerpa wajahnya. Perlahan wajah pucat itu mulai memerah. “Tapi, tikus-tikus itu….”. Dia berhenti, tidak melanjutkan kalimatnya. Botol air mineral yang digenggamnya diremas kuat hingga memuncratkan isinya. Wajahnya kini benar-benar merah.
“Kenapa tikus-tikus itu, bung? Tadi kulihat mereka menjilati muntah bung. Maaf, aku jijik dan hampir muntah juga ketika melihat salah satu dari mereka naik ke badan bung dan menjilati muntah di mulut, baju dan dasi bung”. Dia melihat tajam ke mukaku. Kalimat yang hampir keluar lagi dari mulutku, ku tahan di ujung lidah. Aku menyesal menimpali kata-katanya seperti itu. Seharusnya aku diam saja. Aku mecoba tersenyum, tapi terasa sangat hambar.
“Maaf kalau kata-kataku menyinggung, bung. Aku baru tiba di kota ini. Sebaiknya aku mencari hotel untuk menginap dulu”. Aku bangkit dari duduk. Kalau aku terus di sini, bukan tidak mungkin akan berkonflik dengannya, pikirku. Lagi pula bau comberan masih terus menyengat hidungku. Hidungku tidak bisa beradaptasi dengan bau itu.
“Tetaplah duduk dengan ku sebentar. Di kota ini tikus memang banyak sekali. Saking banyaknya, satu persatu kucing telah pergi meninggalkan kota; tinggal yang tua renta dan kurus yang masih bertahan. Hidup dari sisa makanan yang tidak sempat dihabiskan tikus-tikus itu karena mereka sibuk berkelahi memperebutkan sisa makanan”.
Kuurungkan niat meninggalkannya. Bokong ku letakkan kembali di bangku trotoar tempat dia duduk, di ujung lainnya. Tiga ekor tikus mendekati kakiku. mengendus-endus ujung sepatuku. Ku angkat kedua kaki ke atas, tapi laki laki itu segera memintaku untuk menurunkan kembali pelan-pelan. Refleks, turuti kata-katanya.
“Tikus-tikus itu tidak akan mengganggumu. Biarkan dia mengendus ujung sepatumu.Tak akan lama mereka melakukan itu. Jika kau naikkan kaki seperti tadi atau mengusirnya, mereka tak akan pergi. Kawanan lainnya akan datang lebih banyak lagi dan sesuatu yang kita tidak tahu akan terjadi karena ulah tikus-tikus itu”.
Benar saja, baru saja dia menyudahi kalimatnya, ketiga tikus itu telah pergi menjauh meninggalkan kakiku.
“Aku baru menandatangi kontrak salah satu proyek di kota ini”.
Laki-laki itu mengulangi kalimat pertamanya tadi. Tak kutanggapi kata-katanya. Aku menunggu apa yang akan dia katakan selanjutnya. Dia terdiam. Aku mulai tak sabar, ingin segera pergi. Sebenarnya, tak ada pentingnya bagiku menunggu kalimat dia dan meneruskan pembicaraannya dengannya. Aku ke kota ini karena suatu urusan bukan untuk mendengar seseorang berkeluh kesah atau menceritakan dirinya. Aku makin menyesal telah menghampirinya dan menawarinya minum.
“Selamat, bung. Anda tentu senang dengan kontrak baru Anda itu”.
Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku; aku was-was menunggu reaksinya. Dia tersenyum.
“Bung sakit? Bung tadi muntah hebat sekali”
Dia menghela nafas.
“Entahlah. Aku merasa tidak sakit. Tikus-tikus itu merampas pekerjaan yang telah kumenangkan dan tidak menyisakannya”.
Dia seperti enggan membicarakan tentang muntahnya, semenatara aku tak ingin tahu tentang kontrak pekerjaan yang dimenangkannya. Matahari semakin tinggi. Sinar ultaviolet mulai membakar kulit. Entah siapa yang mendesain trotoar seperti ini dengan bangku taman yang terpapar matahari. Seperti gadis desa yang berdandan ala idola koreanya, kota ini juga sedang mengalami disorientasi rupa; kota tropis yang ingin bermetamorfosis menjadi kota eropa1 dan aku terjebak dalam disorientasi dialog dengan laki-laki yang ku hampiri di bangku trotoar kota.
“Bung, aku mohon maaf harus meninggalkan bung sekarang. Aku mesti mencari hotel, sore ini ada urusan yang harus kuselesaikan”. Aku menyudahi disorientasi dialog.
“Silakan”. Dia tersenyum. Mengangguk.
Aku begegas meninggalkannya. Seekor tikus hampir terinjak olehku.
***
15.15 rapat seharusnya sudah dimulai. Sekarang 16.10, jadi hampir satu jam belum ada tanda-tanda akan dimulai juga. Katanya, menunggu pimpinan yang masih dipanggil gubernur. Diperkirakan sekitar pukul 17.00 baru bisa dimulai. Dari tadi dong seharusnya diberitahu. Dasar pegawai-pegawai tidak profesional. Aku memaki dalam hati. Sebenarnya sekretarisku telah mengingatkan, rapat dengan orang-orang pemerintahan tidak ada jadual yang bisa dipegang. Mungkin karena mereka yang memegang otoritas, jadi merasa bisa seenaknya? Selalu saja ada alasan yang mereka berikan bila jadual mulur dan mau tidak mau harus diterima. Begitu katanya seperti menasihati. Aku tersernyum, tadinya aku tidak begitu memperayainya.
16.20 akhirnya rapat baru dimulai. Pimpinan tersenyum sumringah saat membuka rapat. Tidak tidak ada rasa bersalah sedikit pun di wajahnya, hanya mulutnya mengucapkan permintaan maaf yang basa-basi. Hampir dua puluh menit rapat diawali dengan cerita kenapa dia dipanggil gubernur yang menurutku tak perlu kudengar. Aku mulai tak sabar. Rasanya ingin meledakkan muntah saja ke tengah-tengah meja rapat, seperti laki-laki paruh baya yang kutemui di bangku trotoar pagi tadi.
Sebentar lagi adzan maghrib Rapat harus di”break” sekitar satu jam karena setelah sholat magrib dilanjutkan dengan makan malam dahulu. Jadi, sekitar pukul tujuh malam rapat yang sebenarnya baru dimulai. Mulur empat jam! Gila!
Aku terkejut. Laki-laki paruh baya di trotoar kota memasuki ruang rapat beriringan dengan pimpinan. Dia sama terkejutnya denganku. Kami sama-sama mencoba saling tersenyum dan menggangguk. Pimpinan yang juga kepala dinas di kantor ini memperkenalkan laki-laki itu pada peserta rapat.
“Bapak ibu, saya perkenalkan ini Bapak Yanto mitra kita juga. Saya sudah beberapa kali meminta dan mengundang beliau untuk menghadiri rapat yang sangat terbatas ini. Untunglah ditengah kesibukan beliau, akhirnya beliau bersedia datang mengikuti rapat kita ini. Saya rasa sudah lengkap sermua hadir: saya sebagai pengguna anggaran, saudara kuasa pengguna anggaran juga merangkap pejabat pembuat komitmen, saudari bendahara, saudara pejabat pelaksana teknis kegiatan2. Ibu Ningrum perwakilan mitra lama kita serta Bapak Yanto. Sayang sekali, bapak direktur utama mitra lama kita berhalangan hadir. Kemarin malam beliau sudah memberitahu kepada saya via telephone akan mengirimkan utusan yang merupakan orang kepercayaan beliau, Ibu Ningrum”.
Semua mata tertuju kepadaku. Aku mengangguk dan tersenyum. Sekedar basa-basi kusampaikan salam dari direktur utama tempatku bekerja dan menyampaikan permohonan maafnya karena bertepatan dengan waktu rapat ini, pak direktur utamaku dipanggil pak menteri. Semua yang hadir tersenyum dan memaklumi. Hanya laki-laki itu saja yang mengangguk-angguk, tidak tersenyum. Aku pun memperkenalkan diri sekedarnya. Ku katakan juga bahwa aku baru seminggu bergabung dengan perusahaan ini. Sebelumnya aku cukup lama bekerja di luar negeri. Aku telah terlalu lama bekerja untuk negeri orang saatnya pulang membangun negeri, kataku semakin basa basi.
“Ibu Ningrum sangat patriotik. Saya bangga pada Anda. Paman Anda beruntung mempunyai kepokanan seperti Anda. Pantas Anda menjadi orang kepercayaan beliau’. Pempinan rapat berkata di luar dugaanku. Aku mencoba tersenyum walau terasa hambar. Semua mata semakin memperhatikanku, kecuali laki-laki itu yang terus mengangguk-angguk.
“Baik. Terima kasih Bu Ningrum. Untuk mempersingkat waktu, bagaimana kalau kita langsung pada inti dari rapat ini. Saya rasa bapak dan ibu setuju. Lagi pula rapat kita sudah mulur terlalu lama. Bagaimana Pak Yanto? Ibu Ningrum?”
Aku menganguk hampir bersamaan dengan laki-laki di bangku trotoar yang baru kutahu bernama Yanto.
“Pak Yanto, seperti yang sudah saya sampaikan kepada Pak Yanto sebelumnya, karena ada “kesalahan” koordinasi dengan panitia lelang, lelang yang telah dilaksanakan hasilnya di luar perkiraan kami. Dimenangkan oleh perusahaan Pak Yanto. Sebenarnya kami telah mengatur segala sesuatunya agar perusahaan Bu Ningrum ini yang mememenangkan lelang itu, tapi seperti yang saya katakan tadi ada salah kordinasi atau barangkali ada panitia lelang yang main mata sehingga perusahaan Pak Yanto yang memenangkannya.
Aku melirik pada Pak Yanto. Dia masih mengangguk-angguk.
“Dengan kebesaran hati Pak Yanto, seperti yang sudah saya bicarakan sebelumnya dengan Pak Yanto, pekerjaan ini akan dilaksanakan oleh perusahaan Ibu Ningrum. Kebetulan juga perusahaan Ibu Ningrum, maksud saya paman dari Ibu Ningrum, sudah membiayai sebagian besar pekerjaan sebelum pekerjaan ini di lelang. Jadi secara administrasi pekerjaan tetap atas nama perusaan Pak Yanto, tapi secara teknis dikerjakan oleh perusahaan Ibu Ningrum. Sebagai ucapan terima kasih, kami mengganti semua biaya yang telah Pak Yanto keluarkan selama mengikuti lelang dan memberikan “fee” pinjam bendera untuk perusahaan Pak Yanto. Setelah dipotong pajak”.
Seketika muntah bener-benar meledak dari mulutku disertai suara yang sangat keras dan letupan kentutku. Serombongan tikus entah dari mana menyerbu ruang rapat kami. Memakan dan menjilati muntah yang telah tersembur tak bisa kutahan. Diantara tikus-tikus itu, kulihat ada dua ekor yang wajahnya mirip pemimpin rapat dan pamanku. Aku bergidik lalu terkulai di bangku rapat. Pak Yanto mengambil segelas air mineral yang ada di atas meja rapat dan memberikannya padaku. Laki-laki di bangku trotoar itu tersenyum.
*Desa Mekarmanik, April 2015.
Catatan:
1. Seperti ditulis Zahnd (1999), seorang arsitek perancang kota, “Pada saat ini telah ada pembanjiran impor pola-pola perkotaan (desain) yang tidak tepat untuk dipakai di dalam lingkungan Asia Tenggara (Indonesia).
2. Pejabat dalam struktur organisasi keproyekan (program kegiatan) pemerintah di Indonesia: Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), bendahara, dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)
BERITA
Kendati Rupiah Menguat, Pemerintah dan BI Harus Tetap Antisipatif
Kendati nilai tukar rupiah menguat sejak awal pekan ketiga November 2018, pemerintah dan BI (Bank Indonesia) harus tetap antisipatif. Nilai tukar valuta masih akan fluktuatif, karena pasar uang terus dibayang-bayangi oleh rencana bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (Fed), menaikkan suku bunga acuannya, Fed Fund Rate (FFR), hingga tahun 2019 mendatang.
Akhir pekan kedua November 2018, rupiah digambarkan sebagai valuta paling perkasa di Asia karena mengalami penguatan sampai 70 poin, atau 0,48% terhadap dolar AS. Pada Jumat (16/11), nilai tukar rupiah sudah memasuki level Rp 14.595 dan Rp 14.665.
Proses penguatan nilai tukar rupiah saat ini tentu tak bisa dilepaskan dari langkah BI menaikkan bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6%, belum lama ini. Namun, proses penguatan rupiah saat ini diasumsikan temporer.
Rupiah – dolar AS, pada dasarnya belum menemukan keseimbangan baru. Terutama karena Fed masih akan menaikkan bunga acuan ke level 3,25 persen hingga 2019, dari posisi dua persen saat ini.
BERITA
Mencaci Maki Sekulerisme Tanpa Memahami Maknanya
Sudah terjadi berlangsung lama kesalahan dalam pemahaman tentang apa makna sekulerisme. Namun sebagian justru memelesetkan pengertian sekuler dan menjelaskan pada orang yang nggak mengerti. Sekulerisme seolah-olah ingin membuat orang Islam tidak berpolitik. Hal ini tidaklah benar.
Sekulerisme itu adalah konsep yang memisahkan agama dengan kekuasaan politik atau negara, khususnya pada negara bangsa (nation state). Kalau di negara teokrasi mungkin agama dan politik kekuasaan negara bisa saja disatukan. Sayang negara agama yang murni di dunia itu tidak ada.
Islam pada waktu Nabi hidup dan kekhalifahan paska wafatnya Nabi mungkin bisa disebut “negara agama atau negara Islam”. Namun setelah itu “Eksperimen Kekuasaan di Madinah” dianggap gagal. Di Turki dicoba lagi dan juga gagal.
Negara Arab Saudi sendiri mengambil bentuk negaranya sebagai kerajaan dan bukan negara Islam, karena yang disebut dalam Quran adalah kerajaan. Pengertian khilafah berdasar Quran itu dimensi dan skalanya individual bukan dalam skala negara. Dan tatkala Nabi menjalankan eksperimen struktur kenegaraan di Madinah, luas Madinah sebenarnya hanya sebesar 2 kali Kecamatan Mampang.
Sekularisme tersebut dalam sub pemahamannya sering diartikan, yakni berarti pemisahan ambisi berkuasa/berpolitik (dalam kontek kekuasaan negara) dengan kewajiban orang dalam beragama. Nah kalau, dalam kontek negara, orang ingin agama dan kekuasaan disatukan itu tidak bisa dikatakan sekuler atau tidak sekuler. Tetapi penyatuan agama dengan politik (kenegaraan) demikian disebut totaliterianisme agama. Inilah yang dianut HTI, karena itu mereka juga anti demokrasi!
BERITA
Gus Yaqut: Dosakah Membakar Bendera HTI?
Berikut tulisan Ayik Heriansyah yang diberi judul Gus Yaqut: Dosakah Membakar Bendera HTI. Tulisan Ayik ini mencoba menafsirkan perspektif Gus Yaqut terkait video yang beredar di media sosial.
Seperti diberitakan, GP Ansor, induk dari Banser, angkat bicara soal itu. Ia menyatakan pembakaran sebenarnya dilakukan pada bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sekaligus untuk menjaga kalimat tauhid.
Baca Juga:
- DPR Semakin Terbuka dan Merakyat
- Tulisan Gus Dur: Harlah, Natal dan Maulid
- Pemerintah Harus Menaruh Perhatian Ekstra pada Sektor Tanaman Pangan
Gus Yaqut alias Yaqut Cholil Qoumas selaku Ketua Umum PP GP Ansor menyampaikan persepktifnya terkait kejadian ini. Ia bilang anggotanya melihat bendera tersebut sebagai simbol bendera HTI, ormas yang sudah dibubarkan pemerintah.
Gus Yaqut: Dosakah Membakar Bendera HTI ?
Bendera hitam putih yang kerap dibawa aktivis HTI merupakan simbol gerakan pemberontakan (bughat) terhadap daulah Islamiyah (NKRI). Itulah bendera Khilafah ala HTI yang terinspirasi oleh hadits-hadits Nabi Saw tentang liwa rayah. Liwa rayah merupakan bendera simbol kenegaraan kaum muslimin pada hubungan internasional saat itu. Di Indonesia umat Islam sepakat menggunakan bendera Merah Putih sebagai simbol kenegaraan mereka. Itulah liwa rayah kaum muslimin di Indonesia. Bendera pemersatu umat dari Sabang sampai Merauke.
Sebagai muslim/muslimah yang memiliki KTP, SIM dan Buku Nikah NKRI, makan minum, menggunakan mata uang Indonesia fasilitas jalan, bandara, pelabuhan, sekolah, rumah sakit, dsb udah seharusnya aktivis HTI mengusung bendera Merah Putih. Liwa rayah kita semua. Toh Nabi Saw sendiri tidak memerintahkan umatnya menggunakan liwa rayah hitam putih yang bertuliskan dua kalimat syahadat. Bukankah semua hadits tentang liwa rayah hanya bersifat khabariyah informatif tanpa ada qarinah (indikasi) wajib menggunakannya. Sesungguhnya Nabi Saw sudah tau, perihal bendera negara diserahkan kepada sepenuhnya kesepakatan umatnya.
Aksi pamer bendera HTI di wilayah NKRI menimbulkan kegaduhan, fitnah dan memecah belah umat Islam. Bukan hanya NU, Ansor dan Banser, ormas Islam lainnya pembentuk NKRI risih dengan bendera HTI. Sudah pasti tujuan HTI mendirikan Khilafah Tahririyah termasuk bughat. Setiap kegiatan dan atribut yang mengarah kepada bughat dihukumi haram. Sesuai kaidah ushul fiqih yang juga diadopsi HTI yang berbunyi: al-washilatu ila harami muharramah aw haramun.
Langkah-langkah Banser menindak peragaan bendera HTI tidak lain dan tidak bukan demi menjaga persatuan dan kesatuan umat, bangsa dan negara. Yang demikian itu sesuai dengan maqashidusy syariah yakni hifdzul umat, mujtama wa daulah. Inilah esensi dari penerapan syariah.
*Utsman Membakar al-Qur’an*
Pada saat terjadi perang irminiyah dan perang adzrabiijaan, Hudzaifah Ibnul Yaman yang saat itu ikut dalam dua perang tersebut melihat perbedaan yang sangat banyak pada wajah qiraah beberapa sahabat. Sebagiannya bercampur dengan bacaan yanag salah. Melihat kondisi para sahabat yang beselisih, maka ia melaporkannya kedapa Utsman radhiyallahu ‘anhu. Mendengar kondisi yang seperti itu, Utsman radhiyalahu ‘anhu lalu mengumpulkan manusia untuk membaca dengan qiraah yang tsabit dalam satu huruf (yang sesuai dengan kodifikasi Utsman). (lihat mabaahits fi ‘ulumil Qur’an karya Manna’ al Qaththan: 128-129. Cetakan masnyuratul ashr al hadits).
Setelah Utsman radhiyallahu ‘anhu memerintahkan kepada sahabat untuk menulis ulang al Qur’an, beliau kemudian mengirimkan al Qur’an tersebut ke seluruh penjuru negri dan memerintahkan kepada manusia untuk membakar al Qur’an yang tidak sesuai dengan kodifikasi beliau. (lihat Shahih Bukhari, kitab Fadhailul Qur’an bab jam’ul Qur’an, al Maktabah Syamilah)