Drama Pencalonan Presiden Indonesia 2019-2024
Eskalasi gelombang radikalisme keagamaan dalam peta perpolitikan Nasional, terjadi saat Ahok, Basuki Tjahaja Purnama, diajukan sebagai calon Gubernur DKI 2017-2022 kemarin. Sejak saat itu, issue Islam dan Non Islam menemukan celahnya dalam propaganda keberpihakan pemilik suara Indonesia. Pembubaran organisasi HTI yang dianggap bertentangan dengan dasar negara kita, juga berlangsung setelahnya. Sebab, setelah ‘berhasil mengalahkan‘ Ahok dalam kontestasi pemilihan Gubernur DKI kemarin — bahkan hingga menjebloskannya ke penjara — gerakan mereka kemudian bergeser pada upaya-upaya untuk merongrong pemerintahan yang sah. Dalam berbagai kesempatan, mereka bahkan terang-terangan mengumandangkan keinginan untuk mendirikan negara khilafah.
Pemerintah kemudian bertindak tegas dengan mengoreksi kekeliruan pada UU Organisasi Kemasyarakatan. Kekeliruan itu tak sekedar ada. Tapi telah memberi celah terhadap kehadiran dan perkembangan radikalisme di tengah kita.
Meskipun kemudian dilarang, peran dan pengaruh radikalisme itu sempat merasuk ke tengah kehidupan sebagian masyarakat. Hasutan tentang pemerintahan Joko Widodo yang tak berpihak pada ulama dan agama Islam terlanjur berkembang liar. Bahkan hingga di tengah lingkungan kaum terpelajar dan birokrasi pemerintahan yang sah.
Fenomena itu kemudian dikapitalisasi sejumlah pihak untuk kepentingan politiknya. Lalu, berkembanglah pendapat seolah tokoh ulama menjadi alternatif yang layak dipilih untuk memimpin bangsa ini. Salah satunya dipropagandakan sebagai alternatif wakil yang mendampingi pencalonan Jokowi sebagai Presiden RI pada periode mendatang.
Bagi sebagian kalangan, gagasan untuk mengedepankan tokoh ulama Islam sebagai calon Wakil Presiden yang akan dipasangkan kepada Joko Widodo, mungkin seolah-olah terlihat relevan. Strategi tersebut mungkin tak hanya menawar, tapi juga dapat mengambil hati pemilih yang sempat terhasut soal ketidak berpihakan Jokowi terhadap umat Islam dan ulamanya.
Tapi, hal yang sesungguhnya paling dibutuhkan Joko Widodo untuk mendampinginya pada periode 2019-2024 mendatang, adalah sosok yang memiliki wawasan ekonomi dan kemampuan manajerial yang hebat. Pada kedua hal tersebutlah Indonesia harus memusatkan perhatiannya. Agar dapat memanfaatkan hasil kerja yang dilakukan Jokowi pada periode pertama kali ini, mengejar ketertinggalan sekaligus memperkuat fondasinya sebagai bangsa yang maju.
Dengan kata lain, upaya menawar hati pemilih yang sempat terhasut soal keberpihakan Jokowi terhadap umat Islam dan tokoh-tokoh ulamanya memang perlu. Tapi jika tak disertai dengan wawasan ekonomi dan kemampuan manajerial mumpuni untuk mengawal Revolusi Mental dan tekad Nawacita yang tertunda, hasil kerja mereka pada akhirnya mungkin tak cukup optimal. Sementara keberlangsungan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang berdaulat, harus terus berlanjut, paska berakhirnya masa tugas mereka nanti.
BERITA
Reuni Alumni 212 Jelas Kapitalisasi Agama demi Kepentingan Politik
Jakarta – Reuni Alumni 212 yang bakal digelar awal Desember di Lapangan Monas Jakarta dianggap bentuk kapitalisasi agama demi kepentingan politik. Reuni tersebut seharusnya tidak diadakan lantaran tuntutan aksi 212 sudah diakomodasi.
Hal tersebut diungkapkan pengamat politik Lingkar Madani. Ia menilai kegiatan alumni 212 ini bukan murni kegiatan agama, melainkan kegiatan politik. Ia juga keheranan mengapa harus ada acara tersebut. Pasalnya, tuntutan aksi 212 sudah dipenuhi dengan Basuki Tjahaja Purnama dipenjara.
“Itu sudah jelas politik, enggak ada hubungannya lagi dengan agama, enggak ada hubungannya dengan dakwah, apa yang mereka tuntut sudah dipenjara kok. Apalagi gunanya, itu politik murni politik, murni untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah. Saya pikir mereka hanya mau mengapitalisasi agama ini. Mengapitalisasi agama terus-menerus untuk kepentingan politik. Enggak ada hubungannya dengan dakwah,” kata Ray kepada wartawan di D’Hotel, Jalan Sultan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (21/11).
Ray pun mengaku masih belum paham apa sebenarnya tujuan acara reuni alumni 212. Ia membandingkan dengan demonstrasi 1998 untuk menggulingkan rezim Soeharto dan Orde Baru. Usai berhasil menggulingkan, tak ada perkumpulan alumni maupun acara reuninya.
“Yang saya juga enggak mengerti tujuannya apa? Masak demonstrasi pakai alumni, alumni pakai reuni. Ada-ada saja. Yang besar sekali pun perjuangan 98 itu ya berhenti di 98. Waktu jatuh ya jatuh. Bahwa anggotanya membentuk kelompok-kelompok tertentu ya silakan saja. Enggak ada reuni 98 yang jatuhin soeharto, enggak ada,” imbuhnya.
Baca Juga:
BERITA
Kubu Jokowi Anggap Amien Rais Tidak Dewasa dalam Berpolitik
Jakarta – Kubu Joko Widodo-Maruf Amin menilai, pernyataan Amien Rais yang memaksa Muhammadiyah untuk memihak salah satu calon di pemilihan presiden menunjukkan sikap Amien Rais yang tidak dewasa dalam berpolitik.
Hal tersebut diungkapkan Juru Bicara Tim Kampanye Jokowi-Maruf Amin Ace Hasan Syadzily. Selain menunjukkan Amin Rais tidak dewasa, pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa sosok Amien Rais bukan negarawan tulen.
“Hanya karena beliau pendukung Prabowo-Sandi mau mendikte Muhamamdiyah mendukung paslon tertentu. Itu menunjukkan ketidakdewasaan politik sebagai politisi yang dikenal selalu menjaga demokrasi,” jelas Ace, seperti dikutip dari Merdeka.com, Rabu (21/11).
Justru, dengan paksaan dan desakan tersebut, suara Muhammadiyah malah enggan memilih Prabowo-Sandi. “Kalau terus menerus seperti itu, saya tidak yakin Prabowo mendapatkan dukungan dari Muhammadiyah,” tegasnya.
Sikap tersebut sama sekali tidak mencerminkan sosok negarawan. Politikus Partai Golkar ini menambahkan, sebagai negarawan, seharusnya Amien Rais menjaga agar ormas, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, tidak diseret ke ranah politik praktis.
“Sebetulnya secara organisasi Muhammadiyah dan NU tidak menunjukkan dukungan secara tegas, itu perlu terus dijaga bahwa citra ormas Islam tidak terseret ke dalam politik praktis hanya untuk kekuasaan semata,” tegasnya lagi.
Baca Juga:
BERITA
Penggunaan Teknologi VAR di Liga Champions Dipercepat?
Jakarta – Setelah sukses digunakan dalam beberapa turnamen FIFA, ternyata kehadiran teknologi Video Assistant Refree (VAR) disambut baik oleh sejumlah klub Eropa.
Video Asisten Wasit (VAR) kemungkinan besar akan segera diterapkan di ajang Liga Champions, tepatnya ketika memasuki babak knock out alias fase gugur di musim ini. Wacana tersebut langsung berasal dari Presiden UEFA Aleksander Ceferin dan Ketua Asosiasi Klub Eropa Andrea Agnelli.
Dilansir dari Soccerway, Selasa (20/11), sebelumnya VAR sendiri akan diberlakukan di Liga Champions mulai musim depan, namun belakangan wacana tersebut akan dipercepat dalam rangka untuk proses pengujian teknologi tersebut.
“Kami sudah mulai melakukan semua persiapan. [Kepala wasit UEFA] Roberto Rosetti dan timnya sangat bagus. Ada sudut pandang penting – wasit dan semua aspek teknis,” kata Ceferin dalam konferensi pers di Brussels.
“Saya mengharapkan laporan dalam seminggu atau lebih dan kemudian kita akan melihat kapan kita dapat menerapkannya. Pada musim depan yang terbaru,” sambungnya.
Senada dengan Ceferin, Agnelli yang notabene merupakan pemilik Juventus siap mendukung wacana UEFA untuk mempercepat penerapan VAR di ajang Liga Champions.
Baca Juga: